Mengadili Keadilan Praperadilan

Sumber Gambar: Liputan6.com
Ada yang unik dari Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 24/Pid/Pra/2018/PN. Jkt. Sel., yang mengabulkan permohonan praperadilan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
Letak keunikannya, selain karena menyangkut nasib Boediono (mantan Wapres 2009-20014) juga pertama kalinya amar putusan perihal permohonan praperadilan dapat menginstruksikan penyelidik/penyidik cq KPK, bukan hanya mewajibkan untuk melakukan penyidikan, namun menjadi wajib pula untuk menetapkan tersangka baru.
Terkuaknya kembali nama Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede, Dkk, pasca putusan Pengadilan Negeri a quo memunculkan dua legal issue yang menarik untuk didiskusikan.
Pertama, dalam ihwal telah terbuktinya perbuatan korupsi atas nama Budi Mulya yang diduga keras turut bersama-sama dengan Boediono Dkk, terhadap fakta hukum yang menyatakan kalau pengucuran dan penggelontoran bantuan kepada Bank Century yang berujung pada perbuatan korupsi: Apakah dengan serta-merta Boediono sudah include untuk dinyatakan memenuhi bukti permulaan yang cukup, sehingganya menjadi wajar untuk ditetapkan sebagai tersangka sebagaimana perintah dari amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta selatan?
Kedua, kendatipun putusan tersebut banyak disambut meriah oleh para pegiat anti korupsi, apakah perintah penetapan tersangka tidak menjadi potensial untuk memunculkan permohonan praperadilan baru di masa mendatang? Ini besar kemungkinannya terjadi jika KPK dikemudian hari berani untuk menindaklanjuti putusan tersebut, dengan menetapkan Boediono Dkk, dalam status tersangka.
Alat Bukti
Tidak akan menjadi soal, andaikata putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya memerintahkan kepada KPK untuk melakukan penyidikan saja atas dugaan korupsi dalam pengucuran dana Bank Century, bagi Boediono, dkk. Hal itu disebabkan, selain memang berdasar hukum suatu tindakan penghentian penyidikan (materil) dinyatakan tidak sah, juga memenuhi perlakuan hukum secara equal, bagi setiap orang agar diperiksa dalam tingkat penyelidikan dan penyidikan jika berada dalam dugaan turut serta mewujudkan suatu perbuatan pidana.
Namun justru akan bertentangan dengan ratio legis dari legal evidence, ketika baru dipermohonan praperadilan, hakim juga sudah menarik konklusi terhadap seorang yang diduga turut bersama-sama itu menjadi wajib untuk ditetapkan sebagai tersangka.
Berdasarkan penalaran hukum yang wajar, rasional, dan objektif perihal penetapan tersangka sudah dikunci mati harus terkoordinasi maksimal dua alat bukti yang cukup. Yang demikian sudah merupakan rekomendasi final and binding, erga omnes, Putusan MK Nomor: 21/PUU-XII/2014 atas perluasan objek praperadilan mengenai keabsahan penetapan tersangka. Oleh karena itu, memerintahkan KPK untuk menetapkan tersangka terhadap Boediono Dkk, sama saja dengan menuntut komisi anti rasuah, agar mengikuti bahwa alat bukti permulaan yang cukup sudah memenuhi. Padahal, ruang itu merupakan otoritas sepenuhnya bagi KPK dalam menyimpulkan terpenuhi atau tidaknya alat bukti permulaan yang cukup tersebut.
Selain itu, menjadi penting pula untuk dipahami bersama, bahwa tidak selamanya perbuatan turut serta, mutatis-mutandis semua pelakunya turut bersalah dalam perbuatan tindak pidana. Dalam suatu ilustrasi yang pernah dicontohkan oleh Eddy O.S. Hiariej (2014), “Di sebuah perusahaan, dewan direksi terdiri atas direktur utama dan tiga direktur. Direktur utama menaruh kepercayaan penuh terhadap ketiga direkturnya. Di luar pengetahuan direktur utama, ketiga direktur bermufakat jahat mengelabui direktur utama dengan data tak benar dan kemudian berdasarkan data itu direktur utama mengeluarkan kebijakan yang lalu disalahgunakan ketiga direkturnya sebagai rangkaian tindak pidana.”
Peristiwa demikian pada sesungguhnya dapat terbukti sebagai perbuatan penyertaan (deelneming). Akan tetapi turut sertanya direktur utama, tidak dengan sendirinya dapat dikatakan kalau perbuatan tersebut memenuhi unsur kesalahan dan sifat melawan hukum pidananya. Jika kejahatan ditakar berdasarkan niat (kehendak batin) yang terwujud dalam serangkaian perbuatan, direktur utama tidak memiliki niat jahat (means rea) dan perbuatan jahat (actus reus), sebab tindakannya diakibatkan oleh kesesatan fakta (fetelijke dwalling) dan hanya berada dalam kedudukan sebagai instrument/alat untuk melakukan kejahatan (manus ministra).
Mengadili Keadilan
Jadi, putusan atas permohonan praperadilan yang memerintahkan penetapan tersangka. Adalah sangat riskan adanya untuk dikualifisir sebagai putusan yang menyimpangi asas kepastian hukum. Tidak pasti seseorang ditetapkan sebagai tersangka kalau tidak memenuhi dua alat bukti yang cukup (kuantitas, kualitas, dan kausalitas). Tidak pasti seseorang dapat ditetapkan tersangka dalam praduga bersalah (presumption of guilty) meskipun terlibat dalam perbuatan turut serta (deelneming).
Implikasinya, tentu berlanjut pada proses hukum selanjutnya. In qasu, Boediono Dkk kemudian ditetapkan sebagai tersangka misalnya oleh KPK. Lalu insidentil, mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan yang sama. Sudah pasti pengadilan bersangkutan akan mengadili pula kembali putusan sebelumnya.
Dalam situasi yang seperti itu, potensial terjadi putusan pengadilan yang berbeda atau tumpang tindih. Syukur saja kalau penetapan tersangka itu memenuhi alat bukti yang cukup dan perbuatan penyertaannya terkualifikasi sebagai perbuatan jahat. Akan tetapi kalau yang terjadi, adalah sebaliknya, itulah yang saya sebut hakim mengadili keadilan praperadilan.*