HAM, Hak Dasar dan Remisi Koruptor

Perlu diketahui bersama bahwa sesungguhnya seorang Napi meski setelah melalui putusan pengadilan yang inkra, kemudian terbukti dan dinyatakan bersalah. Tidak dengan serta merta haknya itu hilang. Hak yang penulis maksud adalah hak dasar, bukan hak asasi karena hak asasi berbicara dalam ruang yang sudah ada sejak orang dilahirkan, tanpa hukum memberikannya atau dikatakan sebagai hak yang adikodrati. Sedangkan hak dasar nanti lahir ketika hukum memberikannya sebagai suatu hak yang harus juga diakui.

Maka hak-hak yang diberikan kepada tersangka, terdakwa hingga berubah status sebagai terpidana, harus diperlakukan sebagai subjek, bukan objek yang dapat dipaksa (inquisitoir). Agar memberi pengakuan bersalah secepatnya, merupakan pelanggaran terhadap hak asasi si tersangka, meski diakui hukum juga tidak membenarkan cara-cara memperoleh keterangan dengan jalan kekerasan itulah hak dasar. Bahkan dengan pemberlakuan hukum pidana secara tersirat dengan melakukan upaya paksa seperti penangkapan, penahan, penggeledahan dan penyitaan itu juga adalah bahagian dari pelanggaran hak asasi manusia. Supaya tidak melangar KUHAP telah menentukan tata cara pembatasan atas hak-hak sitersangka itu.

Di sinilah posisi hukum dengan betapa mulianya memperlakukan seseorang yang nyata-nyata. Meski sudah melanggar hak asasi orang, seperti mencuri memang harus diakui itu adalah pelanggaran hak orang lain, yakni hak miliknya telah diambil alih dengan cara yang tidak benar. Tetapi hukum tetap memberi batasan-batasan hak asasi yang harus dilindungi, jadi dari hak asasi kemudian ada perlindungan hak dasar dari Negara sebagai institusi yang bertindak berdasarkan kepentingan umum.

Sumber: yustisi.com

Sumber: yustisi.com

Bagi yang diambil haknya tersebut, tidak juga langsung dapat menggunakan kekuasaannya, dapat merampas dengan perwujudan kekerasan terhadap si pencuri itu. Biarkan hukum yang berbicara, bagaimana memperlakukan orang yang telah melakukan kejahatan itu, sesuai dengan prosedur hukum yang benar (due process of law). Karena hukum merupakan pengejawantahan kekerasan dengan gaya mulia (Budi Hardiman: 2002)

Dalam konteks ini, dengan menganalogikan antara pencuri dan koruptor. Pencuri, hak yang dilanggar bisa jadi hak secara perorangan saja, tetapi koruptor karena mengambil kekayaan Negara maka diartikan telah merebut hak-hak orang dalam jumlah yang banyak, merupakan pelanggaran hak secara kolektif. Itulah dibutuhkan cara yang luar biasa dalam pencegahan hingga penindakannya. Tapi jauh dari itu sebenarnya yang paling penting dalam penindakan korupsi, adalah bagaimana bisa mengembalikan aset Negara yang telah dikorupsi.

Remisi

Pertanyaan kemudian, dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 yang membatasi hak remisi bagi koruptor, apakah perlu dicabut hak-hak asasinyanya untuk tidak hidup lagi? jawabannya bisa saja, jika ia dipidana dengan hukuman mati. Ini dalam konteks kita berbicara benar-benar HAM yang dicabut oleh Negara, yang berdasarkan pada undang-undang, bukan dengan PP.

Filosofi pembatasan hak harus dilakukan secara hati-hati, maka untuk pembatasan dan pengaturannya wajib dengan undang-undang, karena ini menyangkut hak asasi sekaligus hak dasar yang mau diatur. Tidak bisa dengan PP, karena dikhawatirkan PP menyimpang dari apa yang diinginkan oleh undang-undang. Sebelumnya, undang-undang itu lahir dari pemikiran orang yang banyak, dan sasaran utamanya adalah memikirkan sematang mungkin semua kepentingan yang akan diatur. Berbeda halanya dengan PP, langsung dapat dibentuk oleh pemerintah (pejabat eksekutif) sebagai pelaksana undang-undang.

Semestinya orang yang bersalah, karena telah melanggar hak orang lain. Tidak berarti di situ berhenti hak asasinya, tetap ada, tetapi oleh undang-undang dilakukan pembatasan-pembatasan. Remisi yang sudah diatur dalam Undang-undang  No 12/ 1995 tentang Lembaga Pemasyarakat (LP) pada Pasal 14 merupakan hak yang diberikan sebagai hak dasar, sebagai rangkaian dari hak asasi yaitu untuk tetap memperlakukan napi dengan cara yang wajar, dengan cara yang layak, karena Napi bukan binatang yang sama sekali memang tidak punya hak (Romli Artasasmita: 2013/ Sindo). Maka ssebuah pendapat yang keliru ketika ada yang mengatakan hak napi bukan HAM (Zamrony: 2013/Sindo).

Terkait dengan pengetatan remisi terhadap koruptor. Oleh karena dianggap telah merusak sendi perekonomian Negara, telah menimbulkan efek luar biasa yang dirugikan itu. Pertanyaannya, apakah korupsi sebagai kejahatan extra sejauh itu penindakannya sampai di lembaga pemasyarakatan perlu lagi pembatasan atas remisi koruptor? Saya kira tidak perlu, karena sebuah pertanyaan lain pasti kembali akan muncul, apakah koruptor tidak bisa sadar lagi selayaknya dengan penjahat-penjahat yang lainnya?

Kalau diperhatikan pada esensi sesungguhnya perbuatan korupsi adalah merugikan keuangan Negara, cara yang paling tepat dan hal itu sudah diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, harta kekayaannya bisa disita untuk kepentingan Negara, termasuk harus membayar kerugian Negara. Tentunya, akan muncul lagi pertanyaan lain, tidakkah dari perbuatan korupsi dimungkinkan juga menimbulkan korban bagi rakyat, bahkan bisa membawa kematian. Untuk hal tersebut, sudah jelas cara memberinya sanski, yaitu dengan pidana mati, jadi kalau dapat dibuktikan melalui persidangan perbuatan korupsinya, misalnya dalam perbuatn korupsi untuk bantuan bencana alam, dengan tidak main-main siterdakwa dapat saja divonis dengan pidana mati.

Standar

Persoalan kemudian yang sering menjadi perdebatan, bahwa banyak napi korupsi yang bebas dengan cepat, karena pemotongan remisi hingga berkali-kali, lazim disebut terjadi “hujan remisi” buat koruptor. Hal itu terjadi bukan karena tidak adanya pengetatan remisi, boleh jadi pejabat yang memberi remisi yang tidak tepat pemberian remisinya, standar dan syarat-syarat yang ditentukan disimpangi oleh pejabat tersebut.

Pasal 14 ayat (1) UU LP menegaskan bahwa salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Tafsir  Pasal 14 ayat (1), hak tersebut tidak serta-merta dapat diberikan kepada narapidana. Ada syarat-syarat dan tata cara yang wajib dipenuhi. Walaupun syarat remisi itu sebagai kewenangan atributif yang diberikan kepada pemerintah untuk mengaturnya dalam PP. Hak remisi bisa diperoleh jika syarat dan tata cara dipenuhi oleh narapidana. Jika tidak, narapidana tidak akan pernah memperoleh hak tersebut.

Jadi, bukan pada persoalan tidak adanya pengetatan remisi koruptor, tapi pejabat yang hendak memberikan remisi itu kemungkinan dia disogok oleh napi, dia punya kedekatan hingga hubungan emosonal sehingga dicari dalil-dalil, napi korupsi itu telah layak untuk diberikan remisi. Yang perlu diperbaiki sebenarnya adalah pejabatnya yang akan memberi remisi, maka dari itu butuh pengawasan terhadap pejabat pemberi remisi, syarat-syarat kemudian orang dapat diberikan remisi harus dilakukan secara transparan hingga publik dapat mengaksesnya kalau ada napi yang diberikan remisi.

Hemat penulis ke depannya, tidak perlu diperbaharui PP seperti pada PP No 99 Tahun 2012 hanya dalam rangka pengetatan remisi koruptor. Kementerian Hukum dan HAM yang patut dilakukan bukan dengan melakukan pengetatan terhadap remisi koruptornya, sehingga seolah-olah koruptor langsung ingin dituju, sebagai salah satu bagian dari penindakan yang memberi efek terapi bagi terpidana korupsi. Tetapi mengefektivkan pengawasan terhadap pejabat pemberi remisi, serta dijelaskan kepada public, apa saja standar sehingga napi tersebut diberikan remisi sehingga dikategorikan telah berkelakuan baik. Kalau ada standarnya yang bisa dilihat publik, dan hal itu dirasa adil, misalnya menaati tata tertib lapas, rajin beribadah, telah mengikuti pembinaan di masyarakat, pernah dilibatkan dalam perbaikan dan pembangunan sarana milik umum (seperti jelan raya, jembatan, mesjid dsb). Apa salahnya manusia yang sudah dibina dan menjadi baik, diberikan remisi. Dan selanjutnya pemberian remisi itu adil dan tidaknya publik bisa menilainya. ***

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...