Adikuasa Mahkamah Konstitusi
Pasca penangkapan Akil Mochtar, boleh dikatakan MK tak hentinya dirundung masalah. Pertama, Penerbitan Perppu No. 1 Tahun 2013 oleh Presiden atas penilaian sekaligus hak subjektifnya menilai MK dalam keadaan genting/ darurat. Kedua, MK banyak yang menilai tidak konsisten dalam menjatuhkan putusan terkait uji UU Pilpres yang menjatuhkan kostitusionalitas pemilu serentak, namun hanya dapat berlaku pada Pemilu 2019, putusan itu bahkan dianggap sarat kepentingan karena pembacaan putusannya terkesan diulur-ulur. Ketiga, adalah putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 perihal Pengujian UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 yang mengubah beberapa ketentuan UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan membatalkan seluruh ketentuan Perppu tersebut, terkesan MK membuat putusan, hanya “menguntungkan” dirinya sendiri.
Sebenarnya, kalau mau ditarik benang merahnya, masalah yang “mengguncang” MK. Semua titik persoalannya, bermuara pada Operasi Tangkap Tangan Akil Mochtar oleh KPK, dalam kasus suap sengketa pilkada Gunung Mas dan Lebak Banten. Terlepas dari itu, apapun masalah yang menimpa MK saat ini, semuanya butuh penelahaan yang cermat dan hati yang “bersih” untuk mendudukan perkaranya secara jernih. Terlebih pembatalan Perppu tentang MK. Dan Kini kita bisa menarik kesimpulan bahwa apa yang pernah dikerjakan oleh Presiden (menerbitkan Perppu) dan DPR (mengesahkan Perppu menjadi UU) hanyalah pekerjaan sia-sia, yang menghabiskan waktu, tenaga, energi, dan finansial semata. Karena nyatanya, kita harus kembali pada UU MK sebelumnya. Pada titik ini, kesimpulan sementarapun, dapat terbangun bahwa sesungguhnya MK memiliki adikuasa, yang mana satupun kekuasaan tidak ada yang dapat menandinginya.
Adikuasa MK
Tidak ada persoalan sebelumnya yang cukup memusingkan kepala para ahli hukum tata Negara terhadap segala persoalan yang terjadi di MK. Namun pembatalan Perppu No. 1 Tahun 2013, semua ahli hukum “pusing tujuh keliling” mencermati, solusi apa yang mesti ditawarkan agar MK “jumawa” kalau dirinya juga harus mendapat pengawasan dalam menjalankan kinerjanya sebagai guardian of constitution.
Terdapat tiga substansi dasar yang termuat dalam Perppu No. 1 Tahun 2013, diantaranya; Pertama, kriteria untuk menjadi hakim konstitusi, harus tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi. Kedua, mekanisme pengangkatan hakim MK, dengan melibatkan KY melalui Panel Ahli untuk menyeleksi calon hakim konstitusi harus diajukan oleh tiga lembaga negara; pemerintah (Presiden), DPR (legislatif), dan MA (yudikatif). Ketiga, pengawasan hakim konstitusi melalui Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang sifatnya permanen dengan tetap menghormati independensi hakim konstitusi.
Satu persatu hal substansial tersebut, kemudian menjadi “mentah” dengan beberapa analogi konstitusi yang dibangun oleh MK. Terkait dengan pelarangan untuk menjadi hakim konstitusi karena berasal dari keanggotaan partai politik, MK menilai merupakan pendapat yang keliru, karena mengatakan Parpol koruptif berdasarkan stigma yang dibuat masyarakat, hal tersebut “diskriminasi” terhadap Parpol, dan sejatinya bertentangan dengan konstitusi. Sementara pembentukan Panel Ahli oleh KY dianggap telah mengambil alih wewenang DPR, Presiden, dan MA yang ditentukan konstitusi sebagai lembaga yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusi. Kemudian, melibatkan KY dalam pembentukan MKH akan mengganggu independensi MK sebagai lembaga peradilan, sebagaimana hal tersebut telah dimuat dalam putusan sebelumnya, yaitu lingkup kewenangan KY adalah terkait dengan hakim di lingkungan MA serta sifat kewenangannya adalah untuk menjaga martabat dan kehormatan hakim, bukan sebagai pengawas lembaga peradilan.
Mari kita berbaik sangka kalau memang alasan malakukan pengetatan terhadap pengangkatan hakim konstitusi yang berasal dari keanggotaan partai politik tidak menjadi soal, termasuk pula pengajuan hakim konstitusi oleh tiga cabang kekuasaan (Presiden, DPR dan MA). Tetapi pertanyaannya, bagaimana dapat mengawal integritas, kepribadian yang tidak tercela, hingga kenegarawanan hakim konstitusi terpilih, kalau tanpa ada satupun lembaga yang independen (bukan dari unsur MK) melakukan pengawasan ? Bukankah pula yang diawasi tidak mengacu pada putusan sang hakimnya, tetapi perilaku, harkat dan martabat hakim yang dapat menjerumuskannya, pada “tidak adilnya” merumuskan putusan.
Di Negara manapun di dunia, yang mengakui “state based law (rechstaat)” tidak ada satupun lembaga Negara yang lepas dari unsur pengawasan. Bahkan kalau mau ditilik lebih lanjut dalam Pasal 24 B ayat 1 UUD 1945 menegaskan “Komisi Yudisial … mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Di pasal itu tidak ada “pintu tafsir” terkait dengan masalah hakim yang dapat diawasi oleh KY, bahwa hanya hakim agung saja. Persoalan term “agung” dan “konstitusi” dibelakang penamaan “hakim” tersebut, hanyalah embel-embel yang membedakannya dari objek sengketa yang diadilinya, namun pada dasarnya semua adalah lembaga judicial yang butuh pengawasan.
Rupanya, kedigdayaan MK hingga menjadi lembaga adikuasa, kita harus menelanjangi kembali sembari memutar arah jarum jam, surut kebelakang. Sistem pemerintahan di negeri ini yang mengadopsi Separation of Power-nya Montesqieu, yang berlandaskan pada konstitusi tertulis mencapai klimaksnya pada satu lembaga yang bernama MK. Akhirnya tidak satupun ada lembaga infrastruktur politik maupun suprastruktur politik, dapat “memaksa” MK agar berjalan di ruang bercahaya, sarat akan kemajuan berdasarkan kosntitusionalitas “hidup” atas dasar hati nurani.
Cegah Adikuasa
Melalui pengalaman “buruk” yang melanda kita saat ini, tentunya tidak boleh meratapi nasib, dan selalu beradalih bahwa inilah konsekuensi dari sistem pemerintahan yang “menuhankan” konstitusi. Perlu disadari kalau hakim bukan “Tuhan” yang tak butuh pengawasan, tetapi adalah “wakil” Tuhan yang diberi amanah dan kepercayaan. Berarti, sosok manusianya yang dikendalikan oleh “nafsu” membutuhkan orang atau lembaga yang sekiranya dapat mengingatkan, agar tetap berjalan di koridor yang benar.
Jadi, MK harus sadar diri, tanpa ada pengawasan yang mengawal selama menjalankan kinerjanya. Kini berjalan tanpa ada “malaikat” yang mengawasinya. Dan seolah-olah menasbihkan dirinya sebagai “Tuhan” yang paling sempurna.
Kalau MK, masih selalu berdalih, bahwa demikian konstitusi menegaskannya. Pun tidak ada pilihan lain mencegah adi kuasa MK. Kitab suci yang bernama UUD NRI 1945, sudah waktunya di revisi, agar MK tidak lagi selalu berlindung dibalik UUD, yang selalu mengatakan dirinya paling maha sempurna. (*)
Artikel Ini Juga Muat Diharian Fajar Makassar Edisi 21 Februari 2014