Menaksir Hukuman Terbit Rencana Peranginangin

DR AMIR ILYAS, SH., M.H. (DOSEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNHAS)
Baru-baru ini Polda Sumatera Utara menetapkan Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Peranginangin (TRP) sebagai tersangka dalam kasus kerangkeng manusia. Sebagaimana sebelumnya, TRP juga sudah pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus suap sekaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa tahun 2020-2022 di pemerintahan Kabupaten Langkat.
Dalam kasus kerangkeng manusia yang melibatkan nama TRP, ia disangkakan melanggar beberapa ketentuan pidana diantaranya Pasal 2 ayat 1 dan 2, Pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 Juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan atau Pasal 333 ayat 1, 2, 3 dan 4 dan atau Pasal 170 ayat 1, 2, 3 dan 4, dan atau Pasal 351 ayat 1, 2, 3 dan atau Pasal 353 ayat 1 ,2, 3 KUHP Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 dan ke 2 KUHP. Sementara dalam kasus korupsi, beliau disangkakan dengan Pasal 11, Pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Banyak kemudian kalangan berspekulasi, sedianya nanti TRP akan menanggung hukuman berat, karena selain kasusnya dalam peristiwa kerangkeng manusia, juga akan menerima hukuman dari kasus korupsi yang menyeretnya. Namun sedetil bagaimanapun tindak pidana yang disangkakan kepadanya, kita tidak dapat menaksir secara pasti jumlah ancaman pidana penjara yang harus dijalaninya nanti.
Mengapa demikian? Karena sederet tindak pidana yang disangkakannya itu, diantaranya tidak ada pemberlakuan ancaman pidana penjara secara kostan, mutlak, dan pasti (bukan defenite sentence). Keadaannya, yaitu hanya terdapat stelsel ancaman pidana maksimun khusus atau minimum khusus (indefenite sentence) dan stelsel alternatif antara batas-batas pidana minimum dan pidana maksimum (indeterminite sentence).
Dalam kasus TRP, tindak pidana khusus yang disangkakan kepadanya seperti Tipikor dan TPPO terkualifikasi sebagai penerapan stelsel pemidanaan indeterminate sentence. Sedangkan tindak pidana umum yang disangkakannya, seperti kekerasan terhadap orang secara bersama-sama, perampasan kemerdekaan pribadi, dan penganiayaan, dengan secara keseluruhan sebagai delik yang diatur dalam KUHP terkualifikasi sebagai penerapan stelsel pemidanaan indefenite sentence.
Baik indefenite sentence maupun determinate sentence pada hakikatnya memberikan kesempatan diskresi bagi hakim dalam menentukan jumlah ancaman pidana penjara yang akan dijalani bagi terpidana. Itulah sebabnya dalam kasus suap yang menjerat TRP, ia setidak-tidaknya hanya dapat dihukum penjara dengan batas antara 4 sd. 20 tahun. Demikian pula dengan TPPO yang disangkakannya, dalam batas ancaman pidana penjara antara 5 tahun sd seumur hidup.
Tidak mungkin TRP dikenakan pidana penjara hingga 25 tahun dengan cara menjumlahkan ancaman pidana suap dan ancaman pidana TPPO yang disangkakannya sekarang. Hal itu disebabkan dalam batas-batas yang wajar, limit pengenaaan pidana penjara hanya sampai dengan 20 tahun.
Dan terlepas dari itu, kasus TRP ini menjadi pengecualian antara kasus suap dan kasus kerangkeng manusia yang melibatkannya, tidak mungkin bisa diperiksa sekaligus dalam satu persidangan pidana. Tidak mungkin majelis hakim Tipikor yang mengadili kasus suapnya berikut akan memeriksa pula kasusnya yang turut serta dalam perbuatan TPPO di kasus kerangkeng manusia. Penyebabnya, karena suap merupakan materi perkara yang diperiksa melalui pengadilan khusus Tipikor.
Berbeda dengan TPPO, merupakan tindak pidana yang berada dalam kompetensi peradilan umum, sehingga pembarengan tindak pidana umum lainnya (seperti penganiayaan yang menyebabkan kematian) dapat diperiksa secara sekaligus.
Masih terbuka pilihan bagi majelis hakim yang kelak akan memeriksa kasus TPPO TRP untuk memberlakukan pemberatan pidana penjara. Caranya yaitu dengan menerapkan ancaman pidana Pasal 2 UU TPPO, dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun ditambah 1/3 sehingga berjumlah 20 tahun. Sistem ini dikenal sebagai sistem verscherpingsstelsel atau exasperatiestelsel atau sistem pemberatan hukuman yang terberat.
Namun cara pemberatan ini, akan menjadi bias karena antara kasus Tipikor dan TPPO yang disangkakan kepada TRP berada dalam pemeriksaan persidangan yang berbeda. Andaikata misalnya hakim Tipikor menjatuhkan hukuman penjara kepada TRP sebanyak 6 tahun, maka pemberatan itu tidak dapat diberlakukan, karena tidak mungkin TRP menjalani hukuman penjara selama 21 tahun.
Kalau hakimnya mau berpikir sederhana, tanpa lagi mau terikat dengan stelsel pengenaan pidana bagi TRP. Langsung saja ia menerapkan pidana penjara seumur hidup kepada TRP, dengan catatan Pasal 7 ayat 2 TPPO, yaitu akibat perbuatan yang menangguk keuntungan dari manusia yang dikerangkengnya, telah menimbulkan kematian, dapat terbukti dengan terang sebagai pelaku nyata dan turut serta.*
Oleh: Amir Ilyas
Dosen Ilmu Hukum Unhas