Dr. Mulyadi: “PTTUN Tidak Mengerti UU” Ini Tanggapan Balik Kuasa Hukum Appi Cicu

Dr. Mulyadi, M.Si : Pakar Hukum Pemerintahan
Pasca putusan Sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan dengan nomor register 6/G/Pilkada/2018/PT.TU. Mks antara Paslon No. 1 selaku Penggugat dengan KPU Kota Makassar selaku Tergugat, begitu banyak pihak yang kemudian memberikan pandangan dan pendapatnya soal Putusan a quo. Saat sidang pembacaan Putusan pada tangal 21 Maret 2018, Majelis Hakim memutuskan dengan suara bulat mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya. Namun, dari sekian banyak pendapat ada satu pendapat yang ternyata cukup mendapat perhatian baik dari kalangan akademisi maupun dari kalangan praktisi. Bagaimana tidak, pendapat tersebut disampaikan oleh seorang Dosen Fakultas Sosial Politik yang juga disebut sebagai Pakar Ilmu Pemerintahan yang tentu korelasi keilmuannya tidak berkaitan langsung dengan ilmu hukum. Setelah membaca dan mempelajari secara seksama ternyata sebagian besar dari pendapat tersebut adalah pendapat hukum, atas dasar hal itu penulis kemudian merasa perlu untuk menanggapi pendapat tersebut, agar pendapat tersebut dapat dilihat secara jelas dan terang dengan menggunakan pendekatan hukum.
Pertama, dalam pendapatnya Dr. Mulyadi, M.Si menyatakan bahwa “(1) PTTUN harusnya memahami prosedur penanganan masalah hukum dalam Pillkada”. Adanya frase/kata “harusnya” dalam pernyataan ini tentu dapat dipahami bahwa makna eksplisit dari pernyataan ini adalah bahwa PTTUN tidak memahami prosedur penanganan masalah hukum dalam Pilkada. Sayangnya beliau tidak menjelaskan lebih rinci prosedur yang mana? Dan masalah hukum yang seperti apa?.
Kedua, terkait pernyataan “(2) Meski UU Pilkada terdapat kerancuan dalam pengaturan sengketa Pilkada: antara sengketa biasa dan sengketa TUN. Tapi MA sendiri tidak konsisten dengan hukum acaranya. Lihat peraturan MA No. 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Sengketa TUN. Dalam Perma 11/2016, Pemohon Sengketa TUN adalah Pasangan yang tidak diloloskan oleh KPU sebagai peserta Pilkada. Namun, dalam praktiknya, MA juga menerima permohonan sengketa dari Paslon Peserta Pilkada… Aneh kan?”. Pada bagian ini perlu diluruskan dulu bahwa UU Pilkada (UU No. 1 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2015 dan terakhir diubah dengan UU No. 10 Tahun 2016) tidak ada satupun ketentuan yang mengatur bahwa sengketa pilkada dikategorikan dalam sengketa biasa dan sengketa TUN, sehingga penulis merasa bingung darimana istilah tersebut didapatkan Untuk sengketa yang menjadi kewenangan PTTUN sendiri telah diatur secara limitative oleh UU Pilkada yang pada pokoknya menyatakan bahwa PTTUN hanya berwenang memeriksa dan mengadili sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan (Vide Pasal 153, jo 154 UU Pilkada, Jo Pasal 5 Perma No. 11 Tahun 2016, jo Pasal 93 PKPU No. 15 Tahun 2017). Jadi jelas bahwa UU Pilkada tidak mengenal kategori sengketa biasa dan sengketa TUN seperti pendapat beliau. Selanjutnya, beliau menyampaikan bahwa MA sendiri tidak konsisten dengan hukum acaranya dengan merujuk pada perma. Bahkan, beliau memberikan Batasan bahwa Pemohon Sengketa TUN adalah pasangan yang tidak diloloskan oleh KPU dan bukan paslon peserta pilkada sehingga beliau menganggap hal tersebut aneh. Pada poin ini juga menurut penulis perlu diluruskan terlebih dahulu, karena UU Pilkada sendiri telah menjelaskan bahwa sengketa TUN Pemilihan adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara pemilihan antara calon kepada daerah dengan KPU sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU (Vide Pasal 153 ayat 1 jo Pasal 154 ayat 1 UU Pilkada). Demikian juga pada Perma No. 11 Tahun 2016 khususnya pada Pasal 3 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Penggugat merupakan Pasangan Calon Kepala Daerah yang keberatan terhadap Keputusan KPU tentang penetapan pasangan calon kepala daerah. Jadi jelas bahwa Paslon peserta pilkada berhak untuk mengajukan gugatan TUN Pemilihan dan menurut penulis tidak terdapat keanehan dalam ketentuan norma a quo.
Ketiga, terkait pernyataan “(3) dalam penyelesaian sengketa (Kasus Makassar), yang bersengketa adalah Paslon Peserta Pilkada vs KPU, tapi kok korbannya justru Paslon Peserta Pilkada lain yang tidak memiliki posisi untuk membela diri…aneh kan?”. Pernyataan ini justru semakin memperlihatkan bahwa ada kekeliruan pemahaman terhadap subtansi persoalan. Dalam sengketa TUN Pemilihan Makassar sangat jelas bahwa objek yang disengketakan adalah Keputusan KPU soal Penetapan Paslon, sehingga apapun putusan hakim pasti akibat hukumnya juga berdampak pada Paslon peserta Pilkada. Apalagi yang menjadi pokok persoalannya adalah soal adanya cacat subtansi pada keputusan a quo. Soal Paslon lain yang dianggap tidak memiliki posisi untuk membela diri sehingga dianggap sebagai sebuah keanehan, penulis sendiri berpandangan bahwa tidak terlibatnya Paslon yang dimaksud dalam sengketa a quo adalah merupakan pilihan hukum Paslon tersebut yang memilih untuk tidak mengajukan diri sebagai pihak terkait (intervensi), padahal menurut penulis hal tersebut dimungkinkan oleh UU (Vide Pasal 83 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 51 Tahun 2009). Oleh karena, Paslon tersebut tidak pernah mengajukan diri sebagai pihak terkait, maka secara hukum Paslon Tersebut telah siap dengan segala konskwensi hukum dari putusan sengketa a quo.
Keempat, terkait pernyataan “(4) memang hukum acara PTUN membolehkan intervensi dari pihak terkait. Tapi, pihak terkait tidak boleh melakukan kasasi untuk membela haknya. Yang berhak untuk kasasi adalah KPU Makassar. Jadinya si korban tidak bias bela diri… Aneh lagi kan?”. Untuk kalimat pertama sudah jelas diatur pada ketentuan Pasal 83 ayat 1 UU PTUN. Namun, larangan kasasi yang dimaksud pada kalimat selanjutnya ini yang membingungkan karena beliau tidak merujuk pada ketentuan peraturan hukum yang mana yang melarang? Atau jika hal tersebut adalah doktrin hukum, maka doktrin hukum siapa?. Sepanjang yang penulis ketahui, bahwa setiap pihak dalam sengketa TUN Pemilihan berhak melakukan kasasi. Pertanyaannya, apakah Paslon yang dimaksud pada pernyataan tersebut adalah pihak dalam perkara a quo?. Faktanya sudah jelas bahwa Paslon tersebut bukanlah salah satu pihak dalam sengketa a quo sehingga secara hukum tentu tidak memiliki kedudukan hukum “legal standing” untuk mengajukan upaya hukum kasasi. Jadi menurut penulis tidak ada keanehan dalam norma hukum a quo.
Kelima, terkait pernyataan “(5) Awal kerancuannya adalah: a). secara normatif permohonan sengketa itu boleh saja diproses dan mekanisme penyelesaian sengketa. Kalau memenuhi syarat formil sengketa diterima, kalau tidak memenuhi syarat formil, ya tidak diterima; b). kalau memenuhi syarat formil langkah berikut adalah mengkategorikan sengketa: sengketa pemilihan atau sengketa TUN Pemilihan. Disinilah salahnya PTUN”. Pernyataan pada huruf (a) dan (b) di atas kemungkinan ditujukan pada proses dismissal yang umum dilakukan dalam sengketa TUN. Akan tetapi, penulis tidak menjelaskan lebih lanjut kesalahan yang mana yang dilakukan PTUN (mungkin maksudnya PTTUN) terkait dengan hal tersebut. Karena objek sengketa pada sengketa pemilihan adalah objek yang sama yang disengketakan pada sengketa TUN Pemilihan. Istilan sengketa pemilihan digunakan saat sengketa tersebut berada pada proses musyawarah di Bawaslu atau Panwas dan istilah sengketa TUN Pemilihan digunakan saat sengketa tersebut telah beralih ke PTTUN. Jadi tidak menurut penulis tidak ada kerancuan terkait hal ini, apalagi sampai pada tuduhan bahwa PTUN (mungkin maksudnya PTTUN) salah.
Untuk sementara, inilah yang dapat penulis tanggapi terkait dengan pendapat Dr. Mulyadi, M.Si. InsyaAllah akan penulis lanjutkan pada tulisan selanjutnya. Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan bilamana ada yang tidak atau kurang sependapat dengan pendapat penulis, penulis terbuka dengan semua pendapat tersebut sepanjang disampaikan dengan cara baik dan logis. Terimakasih.
Makassar, 28 Maret 2018
Oleh:
Habibi, S.H (Kuasa Hukum Appi-Cicu) –
Praktisi Hukum & Alumni FH Unhas