Caleg Mantan Napi Sudah Final

Mantan Napi Korupsi Wa Ode Nurhayati yang mencoba kembali peruntungannya di pencalonan anggota Legislatif (tribunnews.com)
Dikabulkannya permohonan sejumlah calon anggota legislatif mantan napi korupsi oleh beberapa Bawaslu di daerah-daerah. Sebagaimana sebelumnya telah dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) oleh KPU, memantik perdebatan perihal siapakah sesungguhnya yang salah di balik persoalan ini?
Singkat kata, mayoritas kalangan menuding Bawaslu tidak memiliki semangat anti korupsi, mereka prokoruptor. Bawaslu telah salah langkah, didaulat hanya untuk mengontrol pelaksanaan Peraturan KPU, namun melebihi dari itu semua, fungsinya seolah menerbitkan wewenang baru untuk menafsirkan peraturan pelaksanaan dalam regim derogasi. Bawaslu kini dicurigai sebagai mahkamah judicial yang menguji peraturan di bawah undang-undang.
Bawaslu tidak diam dengan segala tuduhan-tuduhan kejam itu. Baginya menjalankan fungsi demikian dibenarkan dengan dalil menegakkan tujuan hukum dalam asas kepastiannya. Suatu pencabutan hak politik melalui peraturan pelaksanaan, lalu Undang-undang tidak membenarkannya, maka tunaikanlah ketentuan hukum yang lebih tinggi (lex superior). Dan terakhir, MA memang telah menyatakan kalau pencabutan status hak napi dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 memang tidak berdasar dan bertentangan dengan UU Pemilu.
Caleg Napi
Diskursus mengenai dispensasi mantan napi memenuhi syarat sebagai calon pejabat publik yang dipilih (official elected) seharusnya sudah final. Persoalannya, sudah enam kali putusan pengujian undang-undang di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK) zakelijk menyatakan kalau mereka dapat mengajukan diri baik sebagai calon anggota legislatif maupun sebagai calon kepala daerah sepanjang didahului dengan mendeklarasikan dirinya sebagai mantan napi.
Menaruh harapan dengan merevisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 bahwa perlu mantan napi, diantaranya: napi kejahatan seksual anak, napi narkoba, dan napi korupsi dicabut hak politiknya dalam ketentuannya, sama saja sebagai perbuatan yang sia-sia belaka.
Memang restriktif Pasal 28 J UUD NRI 1945 memperkenankan pembatasan hak melalui undang-undang. Namun sekalipun Undang-undang Pemilu mencantumkannya, selain hal itu akan menimbulkan kontradiksi ketentuan, dipastikan regulasi dengan limitasi hak politik mantan napi akan mentah lagi di Mahkamah Konstitusi.
Soal lainnya lagi, breakthrougt PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 yang memunculkan ketentuan tentang pencabutan hak politik napi korupsi dalam jabatan anggota DPD dan anggota DPRD. Dalam alasan yuridis, bukan satu scope dengan syarat bakal calon anggota legislatif berstatus mantan napi yang diancam pidana paling lama 5 (lima) tahun, prasyarat wajib mengumumkan status dirinya.
Lagi dan lagi, alasan hukumnya tidak tepat dan mempertontonkan sebagai kekeliruan yang nyata. Putusan MK Nomor: 79/PUU-X/2012 sebagai historisitas jilid IV perjuangan mantan napi, terdapat salah satu pemohon yang berstatus mantan napi korupsi. Juga dalam putusan itu dinyatakan oleh mahkamah dapat mengajukan diri dalam jabatan publik yang dipilih beserta dengan syarat-syarat yang harus ditunaikannya, sekalipun mantan napi korupsi.
Pelaku Residivis
Ada yang terlupakan diseputaran polemik calon anggota legislatif berstatus mantan napi. Pada sesungguhnya dari enam putusan Mahkamah Konstitusi berkali-kali mempertegas kalau pelaku tindak pidana berulang (residivis) tidak sama statusnya dengan mantan napi yang cukup mengumumkan status dirinya. Jelas yang dimaksudkan di situ, adalah sekalipun sama-sama mantan napi, tapi karena sudah dua kali terlibat dalam kejahatan yang diancam pidana paling lama 5 (lima) tahun, pintu “hak poliitik” baginya sudah terkunci rapat.
Mengapa DPR dalam fungsi legislasinya tidak mengatur yang demikian? Bahwa syarat-syarat bakal calon anggota DPR dan calon anggota DPD salah satunya bukan tindak pidana berulang. Mengapa pula KPU, kalau memang mengkhawatirkan mantan napi korupsi akan berulah sama lagi di kemudian hari, tidak mengaturnya dalam formulasi pencabutan hak politik bagi mantan napi pelaku berstatus residivis?
Bungkam mulut para aktivis anti korupsi, satu kalipun tidak pernah mengingatkan pembentuk perundang-undangan pemilu, jangan memberi ruang bagi mantan napi dari pelaku tindak pidana berulang. Akibatnya, pelaku tindak pidana korupsi yang pada sesungguhnya sudah dua kali terseret dalam pusaran rasuah, melenggang dengan kesempatan emas yang terbuka lebar sebagai calon anggota legislatif. Bebannya, hanya diwajibkan mengumumkan status dirinya sebagai mantan napi.
Sudah Final
Membebani parpol harus mengajukan calon anggota legislatif bukan mantan napi korupsi, bukan solusi jitu yang tidak akan menimbulkan kekacauan hukum di kemudian hari. Sama saja, tetap bertentangan dengan syarat bakal calon dalam Undang-undang Pemilu yang sedari awali sebagai tindak lanjut putusan mahkamah, membolehkan mantan napi menduduki suatu jabatan yang pengisiannya dalam mekanisme pemilihan.
Sekuat apapun gelombang dan arus publik menghantam “peluang politik” mantan napi korupsi. Tentu berlipat-lipat lagi benteng pertahanan mereka dalam meredam arus itu. Enam lapis benteng pertahanan mereka telah dibangun dengan kokoh oleh Mahkamah dari tahun 2009 hingga tahun 2018. Berani menumbangkan benteng mereka, bukannya akan tumbang, tetapi akan menjadi lapis tujuh yang kian sulit dihancurkan.
Sampai di sini, sudah cukup pengetahuan dan kesadaran kita semua. Caleg berstatus napi itu sudah final, sebagaimana finalnya putusan MK. Tiga kejahatan ekstra yang menjadi konsentrasi penyelenggara pemilu, tidak mau meloloskan para pelakunya, kita didakwa seolah menunggu turunnya hujan di tengah musim kemarau yang panjang. Nasi sudah jadi bubur, semua hakim mahkamah pasca pamitnya Jimly Asshiddiqie, mengenyampingkan hak pemilih untuk mendapatkan calon pejabat pubik yang berintegritas sebagaimana tercatut dalam Putusan MK Nomor 14-17/PUU-V/2007.
Alternatif terakhir, harapan penggulingan eks napi korupsi dari gelanggang politik hanya tersedia melalui hukuman tambahan sebagaimana yang digariskan dalam KUHPidana.
Butuh keberanian hakim pengadilan Tipikor sekelas Artidjo Alkostar untuk mencabut hak politik aktif (right to be elected) para pelaku rasuah. Sekali hak politik mereka dicabut melalui putusan pengadilan inkra, tidak berlaku lagi tawar-menawar sebagai mantan napi yang cukup memberikan “pengakuan dosa” di hadapan publik.*
Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Penulis Buku “Carut-marut Pilkada Serentak 2015”