Perjanjian Arbitrase

Perjanjian arbitrase adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa dimana para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa yang sementara dihadapi atau sengketa yang mungkin terjadi di masa datang untuk diselesaikan melalui arbitrase.

Perjanjian arbitrase yang dimulai dengan adanya kesepakatan para pihak dipandang sebagai hal mendasar dan utama dari arbitrase perdagangan internasional karena prinsip dasar dari suatu arbitrase adalah adanya persetujuan antara para pihak untuk membawa sengketa mereka ke “Panggung” arbitrase. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa suatu perjanjian arbitrase harus dalam bentuk tertulis (to be in writing). Hal ini dikarenakan validitas suatu perjanjian arbitrase sangatlah ditentukan dalam bentuk apa perjanjian arbitrase dituangkan., sehingga merujuk pada validitas tersebut maka suatu Tribunal Arbitase tidak memiliki jurisdiksi untuk memutus sengketa diantara para pihak.

Disamping validitas suatu perjanjian arbitrase ditentukan oleh bentuk tertulis dari perjanjian arbitrase, hal lain yang dapat digunakan untuk mengukur validitas suatu perjanjian arbitrase adalah ketentuan hukum mana yang akan digunakan. Dalam hal ini, perjanjian arbitrase akan merujuk pada Uncitral Model Law.

Suatu perjanjian arbitrase tidak dapat memperluas lingkup permasalahan yang menjadi objek nya seperti hal-hal yang bertentangan dengan kebijakan publik. Akan tetapi, suatu perjanjian arbitrase dapat mengatur secara khusus mengenai tempat arbitrase, prosedur arbitrase yang dapat diikuti, arbitrase tribunal, dan ketentuan hukum apa yang dapat digunakan terhadap substansi sengketa yang dihadapi. Dalam hal ini para pihak dapat menyetujui untuk memilih arbitrase yang tunduk pada ketentuan International Chamber of Commerce (ICC)

 Bentuk-Bentuk Perjanjian Arbitrase

Bentuk perjanjian arbitrase yang menyerahkan sengketa pada arbitrase pada umumnya dapat dibagai atas dua, yaitu:

  1. Perjanjian yang merujuk pada keseluruhan sengketa yang akan terjadi di masa datang (future);
  2. Perjanjian yang merujuk pada sengketa-sengketa yang ada (telah terjadi).
    Perjanjian yang merujuk pada keseluruhan sengketa yang akan terjadi di masa datang (future), bentuknya akan dituangkan dalam suatu klausul (Pasal) dalam kontrak, dimana validitasnya sering diatur oleh hukum yang dapat digunakan pada substansi sengketa. Bentuk klausulnya biasanya sangat singkat (brief).

Sedangkan perjanjian yang merujuk pada sengketa-sengketa yang ada (telah terjadi) biasanya berbentuk submission dari perjanjian. Suatu submission dari perjanjian biasanya diuraikan secara detail dimana lebih mempertimbangkan aspek prosedur dan praktis dari arbitrase. Elemen-elemen dasar suatu perjanjian adalah:

  1. Pilihan tempat arbitrasi (place of arbitration). Pilihan tempat arbitrase sangat penting untuk dipertimbangkan dalam menyusun (drafting) suatu perjanjian arbitrase. Hal ini disebabkan pada umumnya para pihak memilih arbitrase internasional untuk menghindari bias yang timbul dari prosedur pengadilan nasional masing-masing pihak. Oleh karena itu, pilihan tempat arbitrase haruslah suatu tempat yang netral. Disamping itu, pilhan tempat arbitrase harus pula memberi kenyamanan bagi para pihak yang bersengketa seperti bahasa yang digunakan pada pilihan tempat arbitrase dan pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase dari konvensi-konvensi internasional.
  2. Pengangkatan Tribunal Arbitrase. Pengangkatan tribunal arbitrase (hakim arbitrase) merupakan hal lain yang memegang peranan yang sangat penting di dalam suatu perjanjian arbitrase. Di dalam arbitrase internasional pada umumnya akan memilih 3 (tiga) arbitrator untuk diangkat sebagai arbitrator. Dalam hal ini memberikan keleluasaan bagi para pihak yang bersengketa untuk menominasikan masing-masing arbitrator dan arbitrator laing (ke-3) dipilih melalui institusi arbitrase. Tentunya penentuan arbitrator yang dilakukan oleh para pihak mempertimbangkan bahwa sang arbitrator memahami dengan baik (familiar) dengan persoalan kultur dan sistem hukum para pihak.
  3. Ketentuan prosedur arbitrase adalah aturan-aturan yang mengatur prosedur dalam arbitrase yang meliputi:Tenggang waktu menyangkut dokumen; Bahasa;Pengangkatan tribunal arbitrase; dan Penghentian proses arbitrase.

Meskipun prosedur ketentuan arbitrase sebagaimana diuraikan di atas tidaklah secara langsung mempengaruhi berjalannya suatu kasus. Akan tetapi ketentuan-ketentuan prosedur memainkan peranan yang penting sebab ketentuan tersebut terintegrasi dengan kerangka proses arbitrase. Pada dasarnya, eksistensi ketentuan-ketentuan prosedur tersebut ditujukan untuk memberikan perlakuan yang sama bagi para pihak sehingga mereka memperoleh kesempatan yang sama dalam kasus yang mereka hadapi.

Tentunya ketentuan prosedur sebagaimana dijelaskan di atas akan sangat bervariasi khususnya negara-negara yang berbasis common-law dan civil-law sistem.
Penerapan hukum pada substansi sengketa

Dalam arbitrase internasional, para pihak bebas untuk menentukan hukum yang akan digunakan pada substansi sengketa yang mereka hadapi. Dalam hal ini, dapat berupa ketentuan hukum nasional salahsatu pihak, ketentuan hukum asing yang berlaku para pihak, dan ketentuan-ketentuan hukum internasional seperti Vienna Convention on Contracts for the Sale of Goods, the principles of UNIDROIT, atau lex mercatoria. Apabila parapihak gagal menemui kesepakatan tentang hukum yang akan diterapkan, maka tribunal arbitrase akan menentukan hukum yang tepat dan berpihak bagi para pihak yang mengatur tentang arbitrase.

Perjanjian Arbitrase Menurut The Model Law

Pasal 7 UNCITRAL Model Law menjelaskan defenisi dan bentuk perjanjian arbitrase, sebagai berikut:

Arbitration agreement is an agreement by the parties to submit to arbitration all or certain disputes which have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal relationship, whether contractual or not. An arbitration agreement may be in the form of an arbitration clause in a contract or in the form of a separate agreement. The arbitration agreement shall be in writing. An agreement is in writing if it is contained in a document signed by the parties or in an exchange of letters, telex, telegrams or other means of telecommunications which provide a record of the agreement, or in an exchange of statements of claim and defence in which the existence of an agreement is alleged by one party and not denied by another. The reference in a contract to a document containing an arbitration clause constitutes an arbitration agreement provided that the contract is in writing and the reference is such as to make that clause part of the contract.”

Merujuk pada Pasal 7 Model Law, dapatlah dikatakan bahwa Model Law mengakui kedua bentuk perjanjian arbitrase baik dalam konteks kemungkinan lahirnya sengketa di masa datang maupun sengketa yang terjadi sekarang. Hal lain yang memainkan peranan penting bahwa bentuk perjanjian arbitrase harus dalam bentuk tertulis.

Board and Narrow Arbitration Clauses Pada umunya kontrak berisi kalusula-klausula arbitrase yang bermakna luas. Dalam hal ini merujuk pada berbagai persoalan yang menjadi objek sengketa para pihak. Suatu klausula arbitrase yang bermakna luas dipertimbangkan untuk dipisahkan dari kontrak (tersendiri), sehingga meskipun kontrak ditemukan untuk dibatalkan void, klausula-klausula arbitrase tetap berdiri sendiri.

Dua contoh perjanjian arbitrase dapat dilihat pada:

1. Klausula arbitrase yang dikeluarkan oleh International Chamber of Commerce (Standard ICC).

2.  Rekomendasi Klausula Arbitrase yang dikeluarkan oleh London Court of International Arbitration (LCIA)

 

 

Maskun S.H. L.L.M

Lahir di Abeli (Kendari) pada tanggal 29 Nopember 1976. Menyelesaikan S1 pada Fakultas Hukum UNHAS tahun 1998, S2 pada university of New South Wales (UNSW) Sydney, Australia tahun 2004 Selain Mengajar, penulis aktif menulis pada beberapa jurnal ilmiah dan surat kabar lokal serta melakukan penelitian baik itu yang dibiayai oleh Lembaga Penelitian UNHAS, Badan perencanaan Pembangunan Daerah Kota Makassar, maupun yang dibiayai oleh institusi lain seperti Institut Pertanian Bogor (2007) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijkan Jakarta (2009). Penulis juga terlibat aktif mengikuti beberapa seminar, simposium, kursus singkat, dan workshop yang dilaksanakan dalam dan luar negeri seperti kursus singkat di Jepang (2006 dan 2008), APEC Worksop di Jakarta (2009). Hal lain yang dilakukan penulis di sela-sela kegiatan sebagaimana telah disebutkan, penulis aktif menjadi pembicara pada berbagai forum ilmiah termasuk didalamnya ketiga penulis menjadi Pembicara pada seminar Internasional via teleconference yang dilaksanakan oleh Asean law Students Association (ALSA) UNHAS, Chuo University Jepang dan Chulalakorn University Thailand tahun 2009 dan 2010. Beberapa karya ilmiah dalam bentuk Buku/buku ajar/diktat adalah Hukum Internasional (2008), Filsafat Hukum (2009) Filsafat Hukum (dari rekonstruksi sabda manusia dan pengetahuan hingga keadilan dan kebenaran) – (2010), dan Pengatar Cyber Crime (2011). Editor pada Buku Karangan Prof. A.M. Yunus Wahid (2011).

You may also like...