Belajar dari Kasus Jenderal Simulator

Terjawab sudah ending drama kasus simulator SIM. Kasus megakorupsi paling menyita perhatian publik. Suhartoyo selaku Hakim Ketua Pengadilan Tipikor saat pembacaan amar putusan menegaskan terdakwa Djoko Susilo terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Serta menjatuhkan putusan pidana 10 tahun penjara dan denda 500 juta subsidair 6 bulan kurungan.

Selama kasus simulator SIM bergulir, kita tidak hanya disuguhkan perdebatan para pengamat soal lembaga penegak hukum mana yang berwenang menangani kasus simulator SIM. Atau sah_tidaknya penyitaan gundukan aset kekayaan sang jenderal. Akibat penerapan pasal-pasal tentang money laundry. Akan tetapi, disaat yang sama justru ada banyak terobosan hukum telah dilakukan KPK dalam mengungkap tabir korupsi yang melibatkan instansi korps cokelat ini.

sumber: rimanews.com

sumber: rimanews.com

Terobosan Hukum

Lembaga anti rasuah ternyata tidak main-main, guna memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Ada beberapa terobosan hukum yang dilakukan. Pertama, penyidik KPK melakukan penerapan hukum pidana terhadap tersangka Djoko Susilo, menggabungkan (kumulatif) pasal pemberantasan tindak pidana korupsi dengan pasal pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Hal ini ternyata efektif, terbukti KPK menyita sejumlah rumah mewah, tanah/ sawah, yang tersebar dari pulau jauh Jawa hingga Bali.

Kedua, di saat persidangan. Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut terdakwa Djoko Susilo untuk dicabut hak politiknya (memilih-dipilih) dalam jabatan publik. Selama lembaga KPK terbentuk, baru kali ini seorang terdakwa kasus korupsi dituntut pidana tersebut. Meskipun pidana pencabutan hak politik sebenarnya bukan pidana baru dalam sistem pemidanaan Indonesia.

Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang jenis pidana. Dimana pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Bila kita tarik kedalam konteks tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK, maka pencabutan hak politik untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik bagi terdakwa Djoko Susilo masuk kedalam kategori pidana tambahan. Penjelasan lebih jauh dapat kita lihat dalam Buku I KUHP menegaskan hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut adalah hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu, hak memasuki angkatan bersenjata, hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri, hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri, dan hak menjalankan mata pencarian tertentu (vide: Pasal 35 ayat 1 KUHP).

Selain pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan memungkinkan diterapkan bagi terdakwa kasus korupsi. Penerapan ini pula sangat sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi dan langkah pencegahan (preventif) terulangnya perilaku koruptif. Rasionalisasinya khusus mantan terpidana korupsi sudah pasti tidak akan terlibat lagi menggarong uang negara karena tidak memiliki ruang/ hak menduduki jabatan publik.

Pidana tambahan pencabutan hak politik juga memberikan angin segar bagi proses demokrasi. Karena ke depan kita tidak akan mendapatkan lagi mantan terpidana korupsi terpilih menjadi anggota legislatif atau kepala daerah. Atau kasus yang masih hangat diingatan yakni seorang terpidana korupsi yang dilantik sebagai kepala daerah. Suatu peristiwa memalukan dan mencederai nilai-nilai demokrasi.

Setelah kita memahami keunggulan dari terobosan-terobosan hukum dalam penuntasan kasus korupsi simulator SIM. Pertanyaan yang timbul kemudian, apakah para wakil Tuhan mengabulkan itu dalam amar putusannya?

Putusan ringan

Bila kita melihat amar putusan terdakwa Djoko Susilo, tentu vonis ini sangat menohok rasa keadilan masyarakat. Putusan yang tanpa ruh keadilan meminjam istilah Wakil Ketua KPK Busroh Muqqodas, karena masih jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK yakni 18 tahun penjara.

Tuntuntan penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih_dipilih dalam menduduki jabatan publik juga tidak dikabulkan. Padahal harusnya sanksi pidana tambahan diterapkan agar menjadi preseden baik dan model baru pemberantasan tindak pidana korupsi (role model).

Berkaitan dengan putusan ringan terdakwa. Menurut hemat penulis harusnya tidak terjadi. Hal tersebut karena terdakwa Djoko Susilo melakukan tindak pidana (tempus delicti) pada saat menjabat Kakorlantas Mabes Polri. Sebagaimana bunyi Pasal 52 KUHP yang menegaskan jikalau seorang pegawai negeri (ambtenaar) melanggar kewajibannya yang istimewa dalam jabatannya karena melakukan perbuatan yang dapat dipidana, atau pada waktu melakukan perbuatan yang dapat dipidana memakai kekuasaan, kesempatan atau daya upaya yang diperoleh karena jabatannya, maka pidananya boleh ditambah dengan sepertiganya. Artinya pemidanaan terdakwa bisa diperberat. Selain itu, hakim harusnya mengacu kepada yurisprudensi kasus suap Jaksa Urip Tri Gunawan. Penjatuhan pidana maksimal 20 tahun penjara karena jabatannya sebagai penegak hukum yang harus memberikan contoh teladan bagi masyarakat.

Akan tetapi, kembali lagi berat-ringan putusan bagi terdakwa, tetap akan bermuara kepada sang wakil Tuhan. Ujung tombak penegakan hukum. Kita semua hanya berharap semoga kasus korupsi jenderal simulator SIM tidak kena penyakit, rame dipengungkapan, melempem dipenuntasan.

Jupri, S.H

Lahir di Jeneponto (Sulsel) dari keluarga sederhana. sementara aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. selain memberi kuliah untuk mahasiswa fakultas hukum juga aktif menulis di www.negarahukum.com dan koran lokal seperti Fajar Pos (Makassar, Sulsel), Gorontalo Post dan Manado Post..Motto Manusia bisa mati, tetapi pemikiran akan selalu hidup..

You may also like...