Obstruction of Justice

Sumber Gambar: kompas.com/
Ketika tulisan ini dibuat masih hangat-hangatnya pembicaraan masyarakat dan para praktisi hukum perihal Obstruction of Justice. Obstruction of Justice merupakan sutau tindakan seseorang yang menghalang-halangi proses hukum. Dalam terminologi hukum pidana Obstruction of Justice dikategorikan sebagai tindakan kriminal.
Masing masing individu memiliki pendapat disertai dalil dan argumentasi mengenai Obstruction of Justice, ada yang mendukung dan ada juga yang tidak tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Advokat sebagai tersangka ketika membela klien. Dalam praktek penanganan sebuah perkara, seorang advokat terkadang tidak dapat menghindari gesekan dengan penegak hukum lainnya dalam membela kliennya terutama dalam pelaksanaan eksekusi .
Advokat Sebagai Penegak Hukum
Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya.
Oleh karena itu , setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku
Pasal 8 Kode Etik Advokat Profesi menyebutkan Advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile), dan karenanya dalam menjalankan profesi selaku penegak hukum di pengadilan sejajar dengan Jaksa dan Hakim, yang dalam melaksanakan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik ini.
Advokat dalam menjalankan profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan (lihat pasal 15 UU Advokat). Kemudian, di dalam pasal 26 ayat (2) UU Advokat juga diatur bahwa advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
Hubungan yang paling mendasar dalam hubungan advokat-klien adalah saling percaya (reciprocal trust). Dalam hubungan tersebut, klien percaya bahwa advokat menangani dan melindungi kepentingannya (klien) dengan profesional dan penuh keahlian, memberikan nasihat-nasihat yang benar, serta tidak akan melakukan hal-hal yang akan merugikan kepentingannya tersebut.
Di pihak lain, advokat berharap kejujuran dari klien dalam menjelaskan semua fakta mengenai kasus yang dihadapinya kepada advokat. Advokat juga berharap klien mempercayai bahwa advokat menangani dan membela kepentingan klien dengan profesional dan dengan segala keahlian yang dimilikinya.
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Sebagaimana diketahui, pengacara FY telah ditetapkan sebagai tersangka bersama seorang Dokter BS. Keduanya ditetapkan tersangka terkait dugaan menghalangi proses penyidikan perkara korupsi e-KTP dengan tersangka SN.
Diduga ada skenario yang dilakukan FY dan Dokter BS untuk mengamankan SN saat mantan ketua DPR RI tersebut menjadi buronan KPK atas kasus dugaan korupsi e-KTP yang menyeretnya.
Atas perbuatannya, FY dan Dokter BS disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi : “ Setiap orang yang dengan sengaja merintangi, atau menggagalkan langsung atau tidak langsung penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi,dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 ( tiga tahun ) dan paling lama 12 ( dua belas tahun ) atau denda paling sedikit Rp 150.000.000 ( seratus lima puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp 600.000.000 ( enam ratus juta rupiah )
Adapun langkah kontroversial lain,yang telah dilakukan pengacara SN tersebut di antaranya adalah melaporkan pimpinan dan penyidik KPK ke Bareskrim Polri. Terakhir, pengacara FY, melaporkan dua pimpinan dan dua penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Bareskrim Polri, Pelaporan tersebut dilakukan tidak lama setelah lembaga antirasuah itu menetapkan kembali SN sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP).
Kasus lain Obstruction of Justice
Pada bulan April tahun 2008 pernah terjadi kasus pengacara dianggap menghalangi pemeriksaan tersangka korupsi pemeliharan jalan Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, seorang Advokat MA dijadikan tersangka oleh Kepala Kejaksaan Negeri Tuapejat, Selain jadi tersangka, MA menjadi tahanan kejaksaan di Lembaga Pemasyarakatan Muaro Padang.
Advokat terpaksa ditahan karena menghalangi jaksa memeriksa dan menahan kliennnya. Klien bernama AA itu adalah tersangka dalam kasus korupsi proyek perbaikan jalan di Kabupaten Mentawai senilai Rp 736 juta. ,saat Jaksa akan memeriksa AA dan memanggilnya ke kejaksaan, yang datang hanya penasehat hukumnya.
Dengan membawa surat kuasa dan meminta agar pemeriksaan dilakukan dua minggu lagi, karena kliennya tidak bisa datang ke Kejaksaan Tinggi . Akhirnya, karena dianggap menghalangi pemeriksaan tersangka korupsi, MA dijadikan tersangka dan dibawa ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat Sesuai Undang-Undang Korupsi pasal 21, MA dianggap telah menghalangi pemeriksan kasus korupsi sehingga ditetapkan jadi tersangka
RUU KUHP
Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) mengatur mengenai obstruction of justice atau menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan. Alasannya, karena saat ini obstruction of justice dalam RUU KUHP dikategorikan sebagai suatu tindak pidana.
Dalam Pasal 328 RUU KUHP disebutkan bahwa, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”.
Terhadap ketentuan dalam Pasal 328 RUU KUHP masih kurang lengkap. Sebab, yang dimaksud dengan obstruction of justice adalah mengganggu proses peradilan secara utuh. Artinya, proses peradilan mulai dari sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai ke pengadilan., tahap eksekusi putusan juga masuk dalam bagian peradilan. Proses peradilan itu masuk ke dalam satu kesatuan criminal justice system (sistem peradilan pidana).
Abuse Of Power
Dalam praktek sering juga ditemukan adanya Abuse of Power aparat penegak hukum, misalnya upaya untuk tidak menggunakan penasehat hukum dalam pemeriksaan di Kepolisian,memaksakan pemanggilan bahkan upaya penangkapan terhadap Advokat yang memenangkan perkara perdata kliennya dengan kasus pidana yg dibuat lawan yg kalah perkara. Dalam kasus ex pengacara SN , KPK telah menetapkan FY sebagai tersangka, menangkap dan memenjarakannya. Salah satu langkah yang dapat ditempuh oleh FY ataupun Pengacara FY adalah dengan mempraperadilan KPK atas status tersangka ,penagkapan dan penahanan yang ditetapkan kepada FY .
Satu dan hal lainnya ialah pentingnya dibuat MOU antara Organisasi Advokat dengan aparat penegak hukum baik Kepolisian maupun KPK,dalam menyikapi suatu masalah hukum yang bersangkutan dengan pemangilan Advokat dalam suatu perkara pidana,MOU Peradi dengan Kepolisian telah berakhir 2017 agar bisa direalisasikan kembali ,sehingga tercipta harmonisasi hukum yang saling meghormati dan memegang teguh hak dan kewajiban dalam menegakan hukum di Republik tercinta ini.
Oleh :
Sonny Kusuma,SH,MH,CP,Sp.
USA-LAW Firm
Pendiri Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia. ( HAPI )