Debat Mengambang Calon Presiden

Refly Harun Akademisi dan Praktisi Hukum Tatanegara, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
(Sumber Gambar: kompas.com)
TIDAK ada Novel Baswedan, tidak ada kasus penculikan 1998. Debat putaran pertama antara pasangan calon (paslon) presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dengan tema hukum, hak asasi manusia, korupsi, dan terorisme berlangsung datar-datar saja. Lebih mirip forum tanya jawab ketimbang forum debat.
Pertanyaan yang disiapkan panelis terlalu umum, mengambang, sehingga jawaban yang diberikan pun tindak konkret, lebih pada slogan-slogan. Misalnya, pertanyaan tentang tumpang tindih aturan hukum, pembenahan birokrasi, jawaban apa yang diharapkan dari pertanyaan itu? Demikian juga pertanyaan tentang disabilitas, persekusi, dan penanggulangan terorisme. Semuanya adalah pertanyaan-pertanyaan yang sangat umum.
Masalah-masalah tersebut bukan tidak penting ditanyakan. Masalahnya, dalam waktu yang terbatas, tidak mungkin menjawab hal-hal tersebut secara tuntas. Oleh karena itu, yang harus ditanyakan ialah kasus-kasus konkret. Sekali lagi, forum semalam adalah forum debat. Pemirsa ingin melihat kemampuan kedua pasangan calon dalam ‘menyerang’ dan ‘menangkis’ serangan sehingga bisa diketahui pasangan mana yang siap dan menguasai persoalan.
Harusnya pertanyaan dibuat lebih konkret sehingga jawaban pun bisa diharapkan jelas, langsung, dan workable. Misalnya, soal hak asasi manusia (HAM), kalau yang ditanyakan penyelesaian kasus penculikan 1998, kasus Munir, dan kasus Novel Baswedan, kedua calon pasti akan berkerenyit keningnya sebelum menjawab. Sebab, masyarakat pasti akan menunggu jawaban dari kedua calon terhadap masalah tersebut.
Tidak itu saja, publik juga pasti akan menunggu gestur dan mimik kedua pasangan calon ketika menjawab kasus-kasus konkret tersebut, yang sedikit banyak akan berpengaruh kedua pasangan calon. Publik ingin tahu bagaimana mimik dan gestur Prabowo ketika disinggung soal penculikan aktivis 1998 yang disebut-sebut melibatkan dirinya. Publik juga ingin tahu bagaimana Jokowi menghadapi isu ketidakmampuan mengungkap kasus Novel Baswedan karena ada orang kuat di sekitar kekuasaan yang terlibat.
Terhadap masalah Munir, publik ingin tahu apakah ada keinginan kedua pasangan calon untuk mengakhiri impunitas terhadap aktor utama pembunuhan Munir. Demikian pula terhadap masalah Novel Baswedan, publik tentu ingin tahu apa yang dilakukan Presiden Jokowi terhadap penyelesaian masalah ini, yang tentunya bisa ditanggapi Prabowo-Sandi. Hal lain yang dituggu tentu soal kasus penculikan 1998 yang diduga melibatkan Prabowo.
Menahan Diri
Meski menyinggung soal penyelesaian HAM masa lalu ketika menyampaikan visi dan misi, sangat terasa Jokowi menghindari untuk menyebut kasus yang lebih spesifik seperti kasus penculikan 1998. Hal yang sama juga terjadi pada Prabowo-Sandi yang sama sekali tidak menyebut kasus Novel.
Ada apa dengan kedua pasangan calon? Apakah mereka menahan diri untuk tidak menyinggung pribadi masing-masing? Padahal, semua itu merupakan hak publik untuk mengetahuinya. Terlebih korban-korban dari kedua peristiwa pelanggaran HAM tersebut masih ada. Novel masih menanti keadilannya, kapan negara menemukan pelaku sesungguhnya.
Dalam sesi tanya jawab, saya berharap pertanyaan lebih tajam dan spontan. Ternyata, sama mengambangnya. Tidak ada pertanyaan konkret yang menyebut kejadian. Jawabannya, lagi-lagi, sangat umum dan sekadar berisi slogan. Hiburan sedikit ketika Jokowi ‘berani’ menanyakan soal mantan napi koruptor yang dicalonkan Partai Gerindra, yang sedikit membuat Prabowo emosi.
Harusnya dari awal pertanyaan-pertanyaan seperti yang ditanyakan pada saat sesi saling bertanya. ‘Keberanian’ Jokowi juga terlihat di belakang ketika membuat closing statement soal dirinya yang tidak punya beban masa lalu, yang sedikit banyak menyinggung Prabowo. Sayang, soal itu mengemuka di akhir debat.
Dari debat semalam, publik dapat mengetahui jawaban mengapa soal-soal debat dibocorkan atau kisi-kisi diberikan. Kedua calon tidak cukup siap untuk menjawab semua masalah. Presiden Jokowi, misalnya, terlihat membaca ketika menjawab masalah hukum. Passion-nya memang tidak di penegakan hukum. Ketika saling mengajukan tanya jawab, terlihat bahwa pertanyaan sudah disiapkan.
Debat berikutnya harusnya tidak terlalu banyak dipagari. Biarkan kedua pasangan calon mengemukakan sesuatu dengan spontan, menjawab dengan spontan, agar rakyat dapat menakar dengan sesungguhnya kemampuan kedua pasangan.
Oleh:
Refly Harun
Akademisi dan Praktisi Hukum Tatanegara, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
Opini Media Indonesia Jumat, 18 Jan 2019