Membaca Sikap Indonesia dalam Krisis Ukraina

Sumber Image: Tribun Jateng
KONFLIK bersenjata antara Ukraina dan Rusia mengundang beragam opini di ranah publik, mulai yang mendukung hingga yang mempertanyakan pilihan posisi Indonesia di Majelis Umum PBB. Tulisan ini mencoba menganalisisnya secara kritis, khususnya atas asumsi yang dibangun, logika politik, dan hukum yang digunakan termasuk mengenai penerapan politik bebas aktif. Setidaknya ada tiga asumsi yang berkembang dan perlu dikupas secara khusus.
Pertama, asumsi yang mempertentangkan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan sikap pemerintah RI di Majelis Umum PBB. Tweet Presiden Jokowi sangat jelas dan tegas, yaitu setop perang. Sikap ini kemudian diterjemahkan melalui pernyataan sikap (posisi) dan dukungan Indonesia terhadap resolusi berjudul Aggression Against Ukraine.
Dukungan tersebut diberikan karena resolusi tersebut secara khusus menekankan pentingnya penghentian peperangan (penggunaan kekuatan militer oleh Rusia). Bahkan, resolusi tersebut juga menghendaki agar semua pihak (Rusia, Ukraina, dan pihak–pihak terkait lainnya) menyelesaikan sengketanya secara damai.
Kedua, asumsi bahwa dukungan Indonesia terhadap resolusi tersebut menunjukkan keberpihakan dan akibat desakan salah satu pemrakarsa rancangan resolusi. Logika ini melupakan pertimbangan kepentingan nasional yang harus dilindungi dalam krisis di Ukraina. Indonesia memiliki kepentingan fundamental untuk dipatuhinya norma hukum internasional yang melarang setiap negara menggunakan kekekerasan dalam penyelesaian sengketanya. Indonesia juga memiliki kepentingan terhadap prinsip penghormatan keutuhan wilayah dan kedaulatan setiap negara (tidak mendorong gerakan separatisme).
Semua kepentingan tersebut bermuara pada pemenuhan amanat konstitusi, yaitu ikut serta melaksanakan ketertiban dunia. Sejatinya, dukungan Indonesia terhadap resolusi tersebut merupakan upaya pemerintah untuk memenuhi amanat konstitusi.
Ketiga, asumsi bahwa dukungan Indonesia tersebut merupakan sikap berpihak yang bertentangan dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif. Asumsi ini seakan tidak mengindahkan landasan normatif pelaksanaan politik luar negeri yang diatur dalam UU No 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Pasal 3 UU tersebut menegaskan bahwa politik luar negeri menganut prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional. Dalam penjelasan pasal tersebut diterangkan bahwa makna prinsip bebas aktif itu bukan merupakan politik netral.
Memang posisi Indonesia tidak lagi ‘netral’. Namun demikian, bukan berarti Indonesia telah berpihak pada salah satu kubu yang bertikai. Indonesia hanya berpihak pada norma-norma hukum internasional. Untuk lebih mudah memahami hal tersebut, mungkin kita perlu melihat kembali pandangan para proklamator Indonesia tentang politik luar negeri bebas aktif. Mohammad Hatta dalam tulisannya yang dimuat di jurnal Foreign Affairs edisi April 1953 menyatakan bahwa “Indonesia’s policy has often been termed one of neutrality, it is not that either. Indonesia cannot adopt an attitude of neutrality. It is committed to international solidarity.”
Pandangan serupa dan lebih tegas juga disampaikan Presiden Soekarno di KTT Non-Blok 1961 di Beograd. Beliau mengatakan, “Politik bebas bukanlah suatu politik yang mencari kedudukan netral jika pecah peperangan. Politik bebas bukan suatu politik netralitas tanpa mempunyai warnanya sendiri.”
Konsistensi melindungi kepentingan nasional
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, setiap evaluasi terhadap posisi Indonesia dalam menyikapi krisis Rusia-Ukraina seyogianya berangkat dari upaya melindungi kepentingan nasional. Penting untuk dicatat bahwa Indonesia dalam menyikapi berbagai konflik internasional selalu bersikap konsisten.
Catatan sejarah diplomasi Indonesia atas beragam konflik internasional menunjukkan ketegasan sikap dan konsistensi penolakan penggunaan kekerasan dalam berbagai sengketa. Mulai intervensi Uni Soviet di Afghanistan, intervensi Irak ke Kuwait, pendudukan Amerika Serikat di Irak, dan berbagai konflik lainnya, posisi Indonesia selalu jelas dan tegas.
Selain itu, apa pun alasannya, Indonesia juga tidak akan pernah dapat menerima setiap upaya negara mana pun untuk merongrong keutuhan wilayah suatu negara (mendorong separatisme).
Oleh karenanya, sulit menerima pandangan agar Indonesia sebaiknya bersikap netral, termasuk untuk tidak mengungkapkan pandangan tentang Unilateral Declaration of Independence di Donbas dan Luhansk, serta penggunaan kekuatan militer oleh Rusia dalam menyelesaikan sengketanya di Ukraina. Kegagalan dalam bersikap tegas dan terukur dalam hal ini tentunya dapat dianggap sebagai kegagalan dalam memenuhi amanat konstitusi.
Indonesia juga sepenuhnya memahami bahwa penerapan hukum internasional sama sekali tidak terlepas dari tarik–menarik kekuasan yang terjadi dalam politik internasional. Namun, pada saat yang sama Indonesia juga memiliki kepentingan untuk terus bersama–sama masyarakat internasional lainnya menegakkan rule of law at international level.
Indonesia berkomitmen untuk terus mewujudkan keberlakuan rule of law bagi semua negara secara setara sebagaimana dengan komitmen global yang tertuang dalam Declaration of the High Level Meeting of the General Assembly on the Rule of Law at the National and International Levels 2012.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa posisi Indonesia dan juga dukungan terhadap resolusi Majelis Umum PBB merupakan pilihan sikap yang sesuai dengan politik luar negeri bebas aktif, yang selalu diabdikan untuk kepentingan nasional. Dengan kata lain, politik luar negeri bebas aktif bukan merupakan politik netral, melainkan politik luar negeri yang dilakukan secara bebas dan aktif untuk melindungi kepentingan nasional. ●
Oleh:
ABDI YULIAN DAN NOVRI SURYA NINGSIH
Diplomat RI di Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri Kementerian Luar Negeri
MEDIA INDONESIA, 9 Maret 2022