Pesan Konstitusi tentang Penundaan Pemilu

Sumber Gambar: tanda-baca.co.id
Menarik membaca ulasan narasi yang ditulis oleh Agus Riewanto dalam Opini berjudul ”Hukum Penundaan Pemilu” di Kompas edisi 1 Maret 2022. Penulis mencoba memindahkan titik api kisruh gagasan penundaan pemilu dari narasi penundaan pemilu demi stabilitas ekonomi dan isu tingginya tingkat kepuasaan kepada presiden saat ini ke bandul isu ketatanegaraan.
Agus Riewanto mencoba memberikan saran dari kacamata hukum tata negara menyudahi polemik ini dengan menyuguhkan alternatif jalan keluar hukum (exit law) berupa perubahan konstitusi, baik perubahan formal sebagaimana mekanisme yang tersedia dalam Pasal 37 UUD NRI 1945 maupun melalui mekanisme nonformal, yaitu meminta interpretasi Mahkamah Konstitusi dalam uji materi Pasal 167 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terhadap Pasal 22 E Ayat (1) juncto Pasal 22 Ayat (1) UUD NRI 1945. Di mana pasal a quo menegaskan bahwa pemilu dilaksanakan lima tahun sekali dibenturkan dengan ketentuan hal ihwal keadaan memaksa sebagaimana yang dihadapi saat ini, yaitu darurat kesehatan akibat Covid-19.
Alternatif yang diberikan terkesan dapat mengurai benang kusut dari polemik penundaan pemilu secara konstitusional, tetapi apabila dikaji gagasan yang ditawarkan berpotensi bertabrakan dengan nilai konstitusionalisme di dalam UUD 1945. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menyigi hal tersebut dari pesan yang ada dalam naskah pembentukan dan perubahan UUD 1945.
*Republik serasa monarki*
Undang-Undang Dasar 1945 memang tidak mengatur tentang mekanisme penundaan pemilu secara eksplisit. Namun, bukan berarti dapat ditafsir bahwa penundaan itu dibolehkan ataupun dilarang. Kedua-dua opsi tersebut memiliki peluang untuk dianggap konstitusional. Itu sebabnya penting memaknai dan menelusuri maksud asli (original intent) dari mengapa kemudian penundaan pemilu tersebut dilarang atau dibolehkan.
Salah satu alasan mengapa penundaan pemilu dipandang tidak tepat karena gagasan status quo hari ini bertentangan dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semangat dari bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik harus dimaknai senapas sehela, yaitu pilihan para bapak/ibu bangsa (founding father and mother) untuk memilih bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik.
Dalam bentuk pemerintahan republik maka proses pergantian pemimpin negara dilakukan secara terbuka melalui proses pemilu dan memiliki limit masa jabatan, bukan secara tertutup layaknya pemilihan berdasarkan keturunan dalam bentuk pemerintahan monarki. Konsekuensi dari adanya proses peralihan kekuasaan yang terbuka melahirkan sistem pemilu yang dilakukan secara regular dan teratur.
Karena itu, dalam batas penalaran yang wajar pemilu menjadi satu-satunya cara yang sah dan konstitusional dalam suksesi kepemimpinan negara yang berbentuk republik seperti Indonesia. Dengan demikian, pemilu harus diselenggarakan untuk memastikan bahwa semangat konstitusionalisme di dalam bentuk pemerintahan republik tetap terjaga.
Bahkan, Pasal 37 Ayat (5) UUD NRI 1945 mengamanatkan bahwa dalam mekanisme perubahan konstitusi secara formal khusus bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diubah. Dengan kata lain, mendorong penundaan pemilu sejatinya menggiring ketidakpatuhan pada konstitusi (constitutional disobedience) terhadap ketentuan yang ada di dalam konstitusi itu sendiri serta menjurus mengubah pada bentuk negara monarki di mana pemimpin negara yang berkuasa tidak memiliki batas waktu tertentu.
*Kesepakatan dasar*
Napak tilas sejarah perubahan Undang-Undang Dasar yang terjadi dalam periode 1999-2002 telah menetapkan lima kesepakatan dasar dalam agenda perubahan. Kelima kesepakatan itu menjadi pedoman (agenda setting) manakala pembentuk perubahan UUD 1945 (the framer’s constitution) melakukan perubahan.
Adapun kesepakatan dasar yang disusun oleh Panitia Ad Hoc 1 tersebut adalah: 1) tidak mengubah pembukaan UUD 1945, 2) tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, 3) mempertegas sistem pemerintahan presidensial, 4) penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh), 5) melakukan perubahan dengan cara adendeum.
Menurut Cheryl Sauder, kelima poin itu disebut sebagai agenda perubahan konstitusi (agenda setting) yang diakomodasi dalam perubahan konstitusi. Perubahan konstitusi selalu memiliki latar belakang dan tujuan. Perubahan konstitusi Indonesia tentu berangkat dari aspek kesejarahan yang terjadi dan dialami di masa lampau dan bentuk reaksi atas praktik ketatanegaraan sehingga kesepakatan perubahan UUD 1945 menjadi titik tolak untuk memperbaiki kelemahan dalam praktik ketatanegaraan di masa lalu.
Salah satu titik lemah praktik ketatanegaraan di masa lalu adalah tentang luwesnya tafsir dalam masa jabatan presiden. Jamak diketahui dalam UUD 1945 sebelum perubahan, batasan masa jabatan bersifat multitafsir. Keadaan demikianlah yang kemudian melahirkan Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Presiden Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi dan presiden seumur hidup, dan hal yang terulang manakala Presiden Soeharto mensakralkan intepretasi ketiadaan limitasi yang tegas dalam masa jabatan presiden sehingga berkuasa hingga lebih kurang 32 tahun.
Dapat ditarik pesan mengapa kemudian pembatasan masa jabatan presiden selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan saja. Ketentuan itulah yang dimaksudkan dalam kesepakatan dasar perubahan UUD 1945, salah satunya mempertegas sistem pemerintahan presidensial. Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, maka presiden memiliki masa jabatan yang jelas (fix term in office) serta ada proses pemilihan presiden yang demokratis, yaitu melalui pemilu sehingga mengubah sistem pemilihan presiden tidak langsung (melalui MPR) menjadi pemilu langsung.
Setali dengan itulah kemudian lahir Bab VIIB yang di dalamnya termuat Pasal 22 E Ayat (1) UUD 1945 untuk menjamin adanya siklus lima tahunan dalam pengisian jabatan presiden. Oleh karena itu, penundaan pemilu sejatinya mengkhianati cita kesepakatan dasar dalam perubahan UUD 1945 dan nilai-nilai konstitusionalisme yang terkandung di dalamnya.
Dengan demikian, ide meminta tafsir MK berkaitan dengan konstitusionalitas penundaan pemilu dapat dipertanyakan, terlebih jika hakim MK mempertimbangkan asbabun nuzul dari ketentuan pembatasan jabatan presiden dan kesepakatan dasar perubahan UUD 1945 yang ada. Termasuk ketika penundaan tersebut dibenturkan dengan alasan ihwal kegentingan memaksa. Maka, hal demikian harus merujuk pada penafsiran MK tentang keadaan darurat tersebut dan perlu dikaji secara uji proporsionalitas (proportionality test) apakah penundaan pemilu memiliki alasan yang legitimate (legitimate aims) serta apakah penundaan akan memberikan dampak baik yang lebih besar atau justru mudarat (maximum minimorum).
*Menegasikan daulat rakyat*
Peneguhan Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional tegas termaktub dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (2) juncto Ayat (3) UUD 1945. Salah satu manifestasi dari demokrasi tersebut adalah menyalurkan hak pilih dan memilih. Tentu gagasan penundaan yang ada saat ini mereduksi hak rakyat untuk dipilih dan memilih dalam pesta demokrasi yang seharusnya terjadwal. Padahal, penyelenggara pemilu telah dipilih dan menetapkan waktu pelaksanaan pemilu serentak pada 14 Februari 2024.
Seharusnya pemerintah dan elite politik mendukung kerja-kerja penyelenggara pemilu tersebut agar dapat melaksanakan proses pemilu serentak nasional dan lokal secara serentak pada 14 Februari 2024 dengan baik, bukan justru menghadirkan polemik baru. Ibarat kata sekali layar terkembang maka pantang surut ke tepian. Kalau bangsa ini sudah berkomitmen tentang pentingnya melimitasi masa jabatan presiden dan telah menetapkan hari pemilihan, maka seharusnya semua rintangan dan tantangan harus dihadapi bukan justru mundur, apalagi jika mundur untuk alasan yang kurang hakiki.
Oleh:
ARI WIRYA DINATA
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
KOMPAS, 18 Maret 2022
Sumber : https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/03/16/pesan-konstitusi-tentang-penundaan-pemilu