Euforia Reformasi Membuat Lupa Perlunya UU Kepresidenan

Sumber Gambar: indonesiabangsaku.com
Sebagai ahli otonomi daerah, Prof Djo khawatir dengan masa depan demokrasi sehubungan dengan bakal kosongnya 272 daerah setelah masa jabatannya habis pada tahun 2022 sedang pilkada baru akan digelar 27 November 2024.
“Pemimpin pemerintahan itu mengayomi, bukan mengkreasi kekacauan atau justru memancing keributan di masyarakat. Seorang pemimpin itu ibarat pohon beringin besar di tengah padang. Ia tempat berlindung orang banyak….” demikian tulis Prof Dr Djohermansyah Djohan MA di Majalah Tempo. Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri tahun 2010 itu memberi judul esainya, “Kekacauan Pemerintahan.” Pilihan katanya begitu lugas. Tegas tapi menawarkan solusi.
Suatu hari saya mengundang, guru besar ilmu pemerintahan kelahiran Padang, 21 Desember 1954 untuk ngobrol di podcast “backtobdm” untuk menggali lebih jauh pemikirannya. Pertanyaan pertama kepada Prof Djo – demikian saya memanggilnya – apakah Anda memang sedang galau ketika menulis esai itu dan dijawabnya, “Iya saya galau sekali saat menulis esai itu. Filosofi pemimpin itu mengayomi bukan justru menciptakan kekacauan dalam masyarakat,” jawabnya.
Lanskap politik yang melatarbelakangi esai Djohermansyah Djohan adalah kontroversi usulan penundaan pemilu, isu Jokowi tiga periode, mobilisasi kepada desa yang pernah terjadi di negeri ini. “Isu itu menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Kenapa tidak cepat diredakan. Beruntung sekarang Presiden Jokowi telah berbicara dan reda, meski sebenarnya agak terlambat,” ujar pendiri Institut Otonomi Daerah.
Peristiwa politik kontemporer itu memunculkan kembali gagasan lama soal betapa pentingnya bangsa ini memiliki UU Kepresidenan yang mengatur soal wewenang, hak dan kewajiban, serta pembatasan-pembatasan seorang presiden. “Aturan di konstitusi memang ada tapi sangat sumir dan tidak mencukupi. Apa artinya Presiden sebagai kepala pemerintah dan presiden sebagai kepala negara. Bagaimana jabarannya. Bagaimana implementasi dari Presiden sebagai panglima tertinggi. Tidak terlalu jelas,” kata Djohermansyah.
Bangsa ini telah mememiliki UU lembaga perwakilan yakni UU MPR, DPR, DPD dan DPRD. Bangsa ini memiliki UU Kementerian Negara, UU Mahkamah Agung, UU Mahkamah Konstitusi, UU Badan Pemeriksa Keuangan, UU Komisi Yudisial. Namun, bangsa ini tidak memiliki UU Kepresidenan.
+ Apa urgensi UU Kepresidenan?
Kita telah memiliki Undang-undang Kementerian Negara, UU MD3 yang mengatur soal MPR, DPR, DPD dan DPRD. Tapi siapa yang mengatur lembaga kepresidenan, tidak ada. Aturan di konstitusi sangat sumir dan pendek. Itu tidak cukup. Kalau menteri diatur, DPR diatur, presiden sebagai pemegang eksekutif power tertinggi, kok nggak ada pengaturan.
Lebih afdol sebenarnya kalau kita memiliki UU Pemerintahan Nasional yang mengatur soal kepresidenan, bersama para menteri plus MPR, DPR dan DPD. Mirip dengan UU Pemerintahan Daerah yang mengatur pemda dan DPRD. Saatnya kita membuat pagar agar presiden tidak menyerempet bahaya untuk menyalahgunaan kekuasaannya atau memberi restu soal kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.
+ Kenapa kita lalai dalam mendesain UU Kepresidenan?
Draf itu sudah lama ada. Ada tim tujuh yang mendesain paket undang-undang politik dan UU pemilu. Draf RUU Kepresidenan sudah dibuat. Tapi tetap saja dalam bentuk draf dan tak tak pernah sampai jadi prakarasa politik pemerintah. Mungkin semua terlena dengan euforia demokrasi.
Coba lihat suksesi kalau presiden dan wapres berhalangan tetap. Masak dalam konstitusi diserahkan kepada menteri luar negeri, mendagri dan menteri pertahanan. Mereka kan pejabat yang diangkat, appointed bukan elected. Kalau kita lihat di negara lain yang bisa jadi referensi model triumvirat itu diberikan kepada pejabat elected, misal Ketua DPR atau Ketua MPR, bukan menteri. Mereka menjalankan pemerintahan sementara.
Dalam konstitusi memang diatur soal triumvirat mendagri, menlu, menhan, tapi itu tidak setara dengan posisi presiden jika presiden dan wapres berhalangan tetap. Dalam konstitusi diatur soal wewenang Presiden tapi tak cukup jelas. Misalnya soal presiden sebagai kepala pemerintahan atau kepala negara serta penglima tertinggi TNI. Tidak dielaborasi tugas kewenangan dan larangan. Mengangkat duta besar, memberikan tanda jasa tak terelaborasi lebih jauh. Makanya, perlu dipikirkan adanya UU Kepresidenan atau UU Pemerintahan Nasional
Teks konstitusi telah mengatur bagaimana seandainya Presiden dan Wapres berhalangan dalam menjalankan kewajibannya secara bersamaan. Pasal 8 ayat 3 UUD 1945 ditulis, (3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.
Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
+ Ada juga gagasan UU Kepresidenan menampung ide soal The Presidential Club yang mengakomodasi para mantan-mantan Presiden?
Saya kira isu itu bisa jadi salah satu muatan. Dewan Pertimbangan Presiden diatur dalam konstitusi. Dalam RUU Kepresidenan bisa dimunculkan gagasan agar para mantan presiden tetap bisa dilibatkan dalam membantu jalannya pemerintahan. Bukan menjadi musuh politik sepanjang segala abad. Presiden pengganti menghabisi semua kebijakan presiden sebelumnya. Padahal dia punya banyak pengalaman, bisa diajak bantu jalannya pemerintahan.
+ Bukankah Presiden Jokowi telah memulai tradisi bagus dengan mengajak rivalnya dalam pemilihan Presiden menjadi Menteri?
Peristiwa itu bisa dilihat dari berbagai perspektif. Satu pandangan mengatakan, Anda kan harus tetap jadi oposisi. Bagi yang setuju dengan model akomodasi politik itu, beralasan damai itu indah agar Indonesia akur-akur saja. Ada kebijakan mau merangkul dan kebetulan yang dirangkul mau karena ada mainan baru , ya sudah.
+ Kalau ada gagasan model itu diformalkan saja bagaimana. Pesaing presiden langsung diatur menjadi menteri?
Agak susah kalau diformalkan. Itu kayak milih ketua kelas. Menang jadi ketua, wakil ketua, sekretaris dan bendahara. Tetap harus ada kelompok yang di luar untuk mengingatkan pemerintah. Kalau kita kalah, ya jangan diambil tawaran jabatan di pemerintanhan. Tidak bagus bagi demokrasi. Itu bagi-bagi kekuasaan.
Kekosongan Jabatan
Sebagai ahli otonomi daerah, Prof Djo khawatir dengan masa depan demokrasi sehubungan dengan bakal kosongnya 272 daerah setelah masa jabatannya habis pada tahun 2022 sedang pilkada baru akan digelar 27 November 2024. “Ini bisa jadi kemunduran demokrasi. Terjadi daulat eksekutif bukan daulat rakyat. Terjadi sentralisasi kekuasaan, yang membahayakan,” katanya.
Ia mengingatkan pemerintah pusat jangan hanya memikirkan ketersediaan orang untuk menjadi penjabat kepada daerah. Orang bisa saja tersedia dan ada tapi apakah mereka siap untuk pemerintahan lokal, berhadapan dengan DPRD, padahal mereka tak punya mandat demokrasi. Para dirjen bisa saja menenuhi syarat administratif apakah mereka punya legitimasi politik.
Djohermansyah melihat Mahkamah Konstitusi telah memberikan jalan dan memberi pertimbangan agar pemerintah pusat membuat aturan pelaksanaan agar ada pelibatan publik, keterlibatan DPRD dalam penentuan pejabat publik. “Sebaiknya pertimbangan MK diikuti agar penunjukan pejabat pubik punya kejelasan aturan,” katanya.
Ia mengingatkan betul-betul bangsa ini berada dalam situasi kritis. Pada 17 November 2024 akan berlangsung pilkada serentak di 541 wilayah, kecuali Yogyakarta. Pemerintahan Presiden baru dilantik pada 20 Oktober 2024. Setelah Presiden baru terpilih dan pembentukan kabinet langsung dihadapkan pada pilkada serentak di 541 wilayah. “Tolong ini betul-betul dicermati,” kata Djohermansyah.
Artinya, Presiden Jokowi perlu membuat langkah antisipasi dan mitigasi untuk pelaksanaan pilkada serentak 27 November 2024. Waktu Presiden terpilih akan terlalu sempit langsung berhadapan dengan pilkada serentak.
Akar Masalah dan Mimpi
Djohermansyah Djohan lama malang melintang di birokrasi. Pernah menjadi penjabat gubernur di Riau dan Aceh. Ia pun banyak belajar di luar negeri dan meraih gelar pasca sarjana di University of Hawaii, Amerika Serikat.
+ Anda lama di birokrasi tapi sekaligus juga akademisi dan pernah belajar di luar negeri. Menurut Anda apa sebenarnya masalah hakiki bangsa ini?
Ini lebih ke persoalan bagaimana mengurus bangsa. Pemimpin pemerintahan belum punya satu cara mengatur bangsa ini yang bisa menjamin menjadi bangsa ini tetap demokratis dan tetap berkelanjutan. Sistemnya tidak mendukung lahirnya pemimpin berkelas negarawan.
Rekrutmen pemimpin bangsa belum menjamin lahirnya pemimpin berkelas negawaran. Yang mampu mengurus bangsa. Yang melihat bangsa sebagai satu kesatuan utuh. Leardership bangsa, manajemen bangsa, rekrutmen pemimpin bangsa dalam mewujudkan good governance. Kalau bisa kita benahi itu semua, ada progress di 2045. Kita berharap pada pemimpin baru 2024 untuk membentulkan sistem. Pilihlah pemimpin yang mengurus bangsa, mengelola, dan membawa bangsa lebih sejahtera dan lebih maju.
+ Negara mana yang menjadi idaman Anda?
Referensi kita dari sistem demokrasi, model Amerika. Ada kesetaraan, membuka kompetisi, partisipasi, transparan, akuntabel. Sejauh tak diganggu oleh pemimpin yang menyimpang seperti yang digambarkan buku How democray Dies.
+ Tokoh bangsa idola Anda?
Model Kennedy. Bicara bagus ke publik, men-drive bangsa dan dia membuat bangsa berani. Kennedy menjadi salah satu contoh pemimpin yang bisa membawa bangsa, memecahkan masalah bangsa dan mensejahterakan bangsa, dan membawa bangsa survive. Meski usianya pendek. Komunikasi publik bagus itu penting dan dicintai rakyat.
+ Di dalam negeri?
Kalau di dalam negeri, Bung Hatta. Ia humble, sederhana. Tak banyak menuntut pada negara. Apakah kita bisa mendapatkan pemimpin seperti itu dengan sistem politik biaya mahal seperti sekarang ini. Tapi saya yakin pasti ada orang bermoral baik, jujur dan punya pengetahuan mengurus bangsa.
+ Imajinasi Anda soal Indonesia 2045?
Kalau kita berani ambil perubahan bangun sistem, buat aturan dan perencanaan matang kita masih dapatkan Indonesia 2045 dengan pendidikan baik, kesejahteraan meningkat, pendapatan per kapita naik. Indonesia yang lebih membanggakan di forum internasional dan hadir dalam menyelesaikan berbagai masalah yang melanda dunia. Bukan hanya masalah di dalam negeri tapi dalam percaturan dunia.
Oleh:
BUDIMAN TANUREDJO
Kompas, 20 Mei 2022
Editor: HARYO DAMARDONO
Sumber: https://www.kompas.id/baca/kolom/2022/05/20/euforia-reformasi-membuat-lupa-perlunya-uu-kepresidenan