Penyidik Independen Harga Mati
Pelemahan KPK belum usai. Komisi III DPR melakukan rapat tertutup dengan eks penyidik KPK. Rapat membahas soal proses penyidikan diinternal KPK. Wacana pelemahan pun kembali berhembus. Mereka dianggap sengaja mencari “kesalahan” KPK.
Komisi III memang selalu mengobok-obok KPK. Pascagagal “menggolkan” revisi UU KPK. Kini, Komisi yang diketuai I Gede Pasek getol melakukan pemanggilan mantan penyidik KPK. I Gede berdalih pemanggilan dilakukan sebagai fungsi pengawasan DPR. Guna memperbaiki kinerja lembaga superbody ke depan.
Penulis tidak sepakat dengan pendapat I Gede Pasek. Pertemuan tersebut tidak memperlihatkan niat memperbaiki melainkan sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, Rapat antara Komisi III_eks penyidik KPK bersifat tertutup. Di saat yang sama eks penyidik KPK mengemumkan hasil pertemuan ke publik. Sehingga berpotensi memicu kembali kisruh KPK_Polri.
Tindakan “curhat” eks penyidik juga melanggar kode etik. Pegawai (penyidik) KPK yang berhenti wajib merahasiakan atau tidak mengungkap kepada siapa pun baik langsung maupun tidak langsung semua informasi rahasia yang diperolehnya selama melaksanakan tugas dan pekerjaan KPK, kecuali apabila atas perintah undang-undang, keputusan pengadilan atau arbitrase yang telah berkekuatan hukum tetap. Apabila pegawai KPK akan membuka informasi rahasia berdasarkan hal tersebut di atas, maka pegawai KPK wajib menyampaikan dan membicarakannya terlebih dahulu kepada pimpinan KPK (Peraturan KPK Nomor 05 Tahun 2002 tentang Kode Etik Pegawai).
Kedua, Pertemuan lebih banyak membahas soal mekanisme penyadapan. Komisi III berpendapat kewenangan penyadapan KPK melanggar Hak Asasi Manusia. Sehingga harus diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hemat penulis gagasan membuat undang-undang penyadapan “lahir” karena ditolaknya revisi UU KPK. Draf revisi UU KPK mengenai kewenangan penyadapan hanya bisa dilakukan seizin Ketua Pengadilan setempat. Salah satu point kewenangan inilah yang ditolak seluruh rakyat Indonesia karena merupakan upaya “mengebiri” kewenangan KPK.
Ketiga, Hasil pertemuan ditujukan untuk “menyerang” pribadi Abraham Samad. Pembunuhan karakter ketua KPK terlihat dari “curhat” eks penyidik (27/11) di Media. Abraham Samad dihanggap telah menabrak prosedur dalam penetapan tersangka. Aksi mencari kesalahan Abraham Samad juga terlihat dari pernyataan Nudirman Munir Anggota Fraksi Golkar. Dia menuturkan hasil pertemuan dengan mantan penuntut KPK kurang “greget” karena tidak ada perpecahan. Berbeda dengan eks penyidik KPK dari Kepolisian.
Janji SBY
Setali tiga uang dengan Komisi III DPR, Mabes Polri sebagai mitra KPK justru tidak memperpanjang masa kerja anggotanya. Mereka berdalih penarikan 13 penyidik KPK sesuai prosedur. Tindakan ini diambil agar anggota bisa mengembangkan karier.
Spekulasi “penarikan” penyidik KPK merebab. Tindakan Mabes Polri dianggap melakukan balas dendam, pascapengeledahan di kantor Korlantas Polri. Sebelumnya 20 penyidik ditarik dan 6 orang mengundurkan diri. Sehingga tersisa tinggal 52 orang penyidik dari unsur kepolisian. KPK pun berada dalam kondisi darurat penyidik, berimplikasi terhadap melambatnya kinerja KPK.
Mengenai kekurangan SDM KPK, memaksa kita untuk menagih janji SBY. Pada saat menengahi kisruh KPK_Polri, terlontar janji merevisi PP Nomor 63 Tahun 2005. Peraturan teknis mengenai perekrutan dan penghentian pegawai KPK, yang hingga saat ini belum diteken Presiden SBY.
Melalui revisi PP 63 Tahun 2005 diharapkan imperatif penyidik bekerja minimal 4 tahun dan bisa diperpanjang. Penyidik KPK tidak lagi bisa ditarik seenaknya oleh atasan diinstansinya. Atas dasar adanya MoU antara KPK dengan instansi asal penyidik. Penarikan haruslah melalui persetujuan pimpinan KPK.
Hal ini sejalan dengan Pasal 25 ayat 1 huruf b UU Nomor 30 Tahun 2002 menegaskan KPK mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala Subbidang, dan pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Serta Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana teknis dari UU KPK juga menjelaskan penghentian pegawai Komisi dilakukan oleh Pimpinan Komisi berdasarkan Peraturan Komisi.
Penyidik Independen
Tindakan penarikan penyidik KPK tentunya sangat mengganggu kinerja KPK. Kecepatan KPK mengungkap kasus Century, Hambalang, Wisma Atlet, dan Simulator SIM semakin menunrun. Apalagi ada penyidik yang sementara menangani kasus besar, seperti Novel Baswedan. Kasus korupsi paling menyita perhatian publik dipengujung tahun 2012.
Penarikan penyidik atas dasar habisnya masa kerja, dimungkinkan dalam PP 63 Tahun 2005. Masa kerja Pegawai Negeri (penyidik kepolisian) yang dipekerjakan pada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lama 4 tahun dan hanya dapat diperpanjang 1 kali. Hemat penulis inilah salah satu kelemahan dari peraturan pemerintah tersebut, karena tarik ulur kepentingan berpotensi bermain.
Ketergantungan penyidik dari Polri harus segera diantisipasi. Agar KPK kedepan lebih fokus melaksanakan pemberantasan korupsi dan tidak “tersandera” kepentingan penegak hukum lain. Perekrutan penyidik independen menjadi harga mati.
Mengenai perekrutan penyidik independen diluar (kepolisian) bisa dilakukan KPK. Meski dalam criminal justice system Pejabat Kepolisian berwenang melakukan penyidikan. Akan tetapi, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga mengatur Penyidik Pegawai Negeri Sipil (vide: Pasal 6 ayat 1 huruf b KUHAP).
Dasar hukum perekrutan penyidik independen KPK bisa dilihat dalam Pasal 3A PP 58 Tahun 2010 tentang Penjelasan KUHAP. Pengangkatan pejabat PPNS harus memenuhi persyaratan. Masa kerja sebagai PNS paling singkat 2 tahun, berpangkat paling rendah golongan III/a, pendidikan paling rendah sarjana hukum/sarjana lain, bertugas dibidang teknis operasional penegakan hukum, mengikuti dan lulus pendidikan serta pelatihan dibidang penyidikan.
UU Nomor 30 Tahun 2002 juga membuka peluang perekrutan penyidik independen. Dalam Pasal 45 UU KPK menegaskan penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kata “mengangkat” disini meberikan penafsiran bahwa KPK berwenang “mengangkat” penyidiknya sendiri.
Sekali lagi perekrutan penyidik independen tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. KPK harus segera melaksanakan perekrutan. Hal ini agar supaya “ketersanderaan” KPK tidak terjadi lagi, karena KPK bersifat independen.