Hakikat Peraturan kebijakan
Perbincangan mengenai peraturan kebijakan (beleidsregel) dalam dunia ilmu hukum, khususnya dalam ilmu hukum administrasi negara dipandang relatif mengalami keterlambatan dibandingkan dengan sarana -sarana administrasi lainnya seperti ketetapan (beschikking) dan peraturan (regeling) ataupun perencanaan (het plan).
Awal mula lahirnya peraturan kebijakan di Belanda diduga sebagai bentuk tindakan tata usaha negara yang menyimpang dari apa yang menjadi kewenangannya (penyimpangan hukum). Peraturan kebijakan (beleidsregel) yang dipandang sebagai penyimpangan kewenangan tata usaha negara, mengingatkan para pakar hukum administrasi Belanda kepada bahaya “clandestine wetgeving” yang disinyalir van Vollenhoven sebagai gejala kemunculan produk perundang-undangan yang nyata dibuat pejabat tata usaha negara (hat verschijnsel doelt van wetgeving in concreto door de administratie).
J. Mannoury (Laica Marzuki, 1996: 2) memandang peraturan kebijakan (beleidsregel) ibarat “speiegelrecht”: (hukum cermin), yakni hukum yang hadir dari pantulan cermin. Baginya, ”speigelrecht” bukan hukum melainkan sekedar mimpi hukum (….niat als recht, maar als spegeling van recht-op recht galijked-beschoul) J Van Der Hovven memandang peraturan kebijakan (beleidsregel) adalah “pseudowetgeving” (perundang-undangan semu) karena pembuatannya tidak didukung oleh kewenangan perundang-undangan. Sementara para warga hampir-hampir tidak dapat membedakan peraturan kebijakan (beleidsregel) dari peraturan perundang-undangan. Dari pandangan tersebut terdahulu nampak lebih moderat bila peraturan kebijakan dipandang sebagai hukum tetapi bukan peraturan perundang-undangan.
Istilah beleidsregel digunakan pada tahun 1982, dalam risalah yang disusun oleh commisie wetgevingsvraagstukken, walaupun digunakan secara bersamaan dengan istilah-istilah “pseudo-wetgeving”, “bekang makingan van voorgenomen beleid, “algemene beleidsregels”. Dalam tahun 1982 pula, kelompok kerja (staartwerkgroep wet algemene regels van bestrecht (Wet ARB) juga menggunakan istilah beleidsregels dalam rancangan mereka (J.H. van Kreveld, 1983: 3 -5).
Menurut Willem Koninjbelt (Laica Marzuki, 1996: 4) tidak hanya badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan memiliki kewenangan dalam membuat peraturan kebijakan (beleidsregel), tetapi juga para atasan dari padanya. Hal dimaksud bermakna pada atasan badan atau pejabat tata usaha negara pembuat peraturan kebijakan (belidsregel) juga tidak memiliki kewenangan perundang-undangan (wetgeving bevoegheiden).
Dalam perkembangannnya peraturan kebijkan telah diterima sebagai suatu kebutuhan dalam mengisi praktek tata usaha negara dimana tindakannya tersebut tidak dituntun secara tuntas oleh suatu peraturan perundang-undangan yang ada.
Sesungguhnya keberadaan peraturan kebijakan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas dari pemerintah yang dikenal dengan istilah freis ernessen. Dengan kata lain kewenangan badan atau pejabat tata usaha negara mengeluarkan peraturan kebijakan didasarkan pada asas kebebasan bertindak yang dimilikinya (beleidsvrijheid atau beorde lingsvrijheid).
Markus Lukman (1997: 205) menguraikan bahwa freis ernessen dalam bahasa Jerman berasal dari kata frei yang artinya bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka. Freies artinya orang bebas, tidak terikat dan merdeka. Sedangkan ernessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga dan memperkirakan. Freis ernessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga dan mempertimbangkan sesuatu.
Istilah ini kemudian secara khas digunakan dalam bidang pemerintahan, sehingga freis ernessen diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus dituntut sepenuhnya oleh peraturan perundang-undangan.
Peraturan kebijakan tumbuh dan bermula dari adanya produk tata usaha negara atas`dasar penggunanan freis ernessen yang menjadi suatu kemutlakan pada tipe negara kesejahteraan (welfare state).
Jadi freis ernessen ini bertolak dari kewajiban pemerintah dalam welfare state, yang menegaskan bahwa tugas pemerintah yang utama adalah memberikan pelayanan umum atau mengusahkan kesejahteraan bagi warga negara, di samping memberikan perlindungan bagi warga negara dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Apabila dihubungkan dengan negara kita, freis ernessen muncul bersamaan dengan pemberian tugas kepada pemerintah untuk merealisasikan tujuan negara seperti yang tercantum dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945, yang menegaskan “untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bnagsa dan ikut melaksankan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi dan keadilan sosial.”
Oleh karena tugas utama pemerintah dalam konsepsi welfare state itu memberikan pelayanan bagi warga negara, maka muncul prinsip “pemerintah tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan alasan tidak ada peraturan perundangan yang mengaturnya.” Melainkan sebaliknya diharuskan menemukan dan memberikan penyelesaian sesuai prinsip freis ernessen yang diberikan kepadanya.
Meskipun kepada pemerintah diberikan kewenangan bebas atau freis ernessen, namun dalam suatu negara hukum penggunaan freis ernessen ini harus dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku.
Menurut Muchsan (1981: 27) pembatasan penggunaan freis ernessen adalah:
- Penggunaan freis ernessen tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaidah hukum positif).
- Penggunaan freis ernessen hanya ditujukan demi kepentingan umum.
Sementara Sajhran Basah (1985: 151) berpendapat bahwa pelaksanaan freis ernessen tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan derajat martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama.
Dengan demikian anatara peraturan kebijkaan dan freis ernessen ibarat hubungan antara anak dan ibu. Atau dapat dikatakan peraturan kebijkan merupakan bentuk spesies dari kebijakan perwujudan freis ernessen.
Freis ernessen itu sendiri lahir secara sadar oleh pembuat peraturan perundang-undangan karena tidak dapat mengaturnya secara tuntas dan tepat, sehingga diberi ruang kebebasan kepada tata usaha negara untuk menentukan sendiri apa yang selayaknya dilakukan. Bila demikian, freis ernessen sendiri tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, terlebih lagi peraturan kebijakan sungguh tidak dapat disebut sebagai bagian dari dan bentuk peraturan perundang-undangan.
Dewasa ini peraturan kebijakan ada yang sifatnya peraturan murni dan berlaku umum dan ada pula yang berwatak tidak berupa peraturan murni dan tidak terlalu umum, melainkan hanya bersifat institusional dan berlaku ke dalam.
J.H. Van Kreveld (Markus Lukman, 1997: 121 ) mengemukakan, ciri utama dari peraturan kebijkan adalah:
- Pembentukan peraturan kebijkan tidak didasarkan pada ketentuan yang tegas-tegas bersumber dari atribusi atau delegasi undang-undang.
- Pembentukannya dapat tertulis dan tidak tertulis yang bersumber pada kewenangan bebas bertindak instansi pemerintah atau hanya didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum yang memberikan ruang kebijaksanaan kepada badan atau pejabat tata usaha untuk atas inisiatif tersendiri mengambil tindakan hukum publik yang bersifat mengatur maupun penetapan.
- Redaksi atas isi peraturan bersifat luwes dan umum tanpa menjelaskan kepada warga masyarakat tentang bagaimana seharusnya instansi pemerintah melaksanakan kewenangan bebasnya terhadap warga masyarakat dalam situasi yang ditentukan (dikenai) suatu peraturan.
- Redaksi peraturan yuridis kebijkan di negara belanda ada yang dibentuk mengikuti format peraturan perundangan biasa, dan diumumkan secara resmi dalam berita berkala pemerintah, walaupun di dalam konsiderannya tidak menunjuk kepada undang-undang yang memberikan wewenang pembentukannya kepada badan pemerintah yang bersangkutan.
- Dapat pula ditentukan sendiri format yuridisnya oleh pihak pejabat atau badan tata usaha negara yang memilki ruang kebijkasanaan untuk itu.
Menurut Marcus Lukman (1997: 19) ciri-ciri tersebutlah yang membedakan peraturan kebijakan dengan peraturan perundang-undangan murni yang secara nyata, tegas, dan jelas diperintahkan pembentukannya oleh peraturan perundang-undangan tingkat atasan (bersifat atribusi dan delegasi).
Walaupun peraturan kebijakan berbeda dengan peraturan perundang-undangan murni, namun dalam praktek secara hukum ia diberlakukan dan dilaksanakan sebagaimana layaknya peraturan perundang-undangan biasa. Menurut Belifante (1985: 84) bahwa peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-undangan, akan tetapi di dalam banyak hal peraturan kebiakan juga berwatak peraturan oerundang-undangan seperti mengikat secara umum di mana masyarakat tidak ada pilihan lain kecuali mematuhinya.
Selanjutnya Hammid Attamini (1993: 13) menggambarkan bahwa dari segi bentuk dan formatnya peraturan kebijakan menyerupai peraturan perundang-undangan lengkap dengan pembukaan berupa konsideran “menimbang” dan dasar hukum “mengingat”, batang tubuhnya yang berupa pasal-pasal, bagian-bagian bab serta penutup.
Sekalipun demikian, hakim secara absolut tidak diwajibkan menerapkan peraturan kebijakan oleh karena pada dasarnya hakim hanya wajib menerapkan peraturan perundang-undangan.
Kenyataan ini cukup menimbulkan problematika akademis di kalangan ilmuwan hukum. Ada yang menganggap bukan sebagai hukum , ada pula yang memandang sebagai aturan hukum yang sah karena memilih alasan-alasan pembenar yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, yaitu apabila sesuai dengan asas freis ernessen, asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang layak”, “kebiasaan administrasi”, atau ”konvensi ketatanegaraan “. Demikian pula sebaliknya peraturan kebijakan dapat ditolak dengan alasan yang sama yaitu bertentangan dengan asas-asas tersebut di atas.
Peraturan kebijakan ideal hanyalah yang berwatak mengikat secara terbatas kepada tata usaha negara seperti Pedoman Kerja, Petunjuk Pelaksanaan (Juklak), Petunjuk Tekhnis (Juknis), Surat Edaran (SE), pengumumuman hanya brelaku intern institusional, sehinga diharapkan tidak mengacaukan struktur dan hirearki peraturan perundang-undangan yang ada.
Hammid Attamini (1992: 8) mengemukakan bahwa peraturan perundang-undangan adalah salah satu metode dan instrumen ampuh yang tersedia untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan. Dalam praktek memang demikianlah yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang, karena kini kekuasaan pembentukan undang-undang ialah terutama memberikan arah dan menunjukan jalan bagi terwujudnya cita-cita kehidupan bangsa melalui hukum yang dibentuknya.
Pasal 7 ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan suatu wadah pemuat hukum di luar hierarki peraturan perundang-undangan, dan pada`akhirnya digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan murni atau tergolong peraturan kebijakan (beleidsregel).
Mengamati eksistensi peraturan kebijakan dihubungkan dengan freis ernesen dan peraturan perundang-undangan, nampaknya memilki ambivalensi pada dirinya. Di satu sisi peraturan kebijakan tidak dapat dipandang sebagai peraturan perundang-undangan. Akan tetapi di sisi lain , dalam praktek ada yang berwatak perundang-undangan dalam arti mengikat secara umum.
Peraturan kebijkan bersumber dari freis ernesen yang berintikan tindakan bebas administrasi negara dan diperlukan sesuai tuntutan kehidupan dan kebutuhan masyarakat. Tetapi di lain pihak amat berbahaya bagi kelangsungan negara hukum bila penggunaannya berlebihan dan tidak mendapatkan pengawasan dan pengendalian dalam penerapannya. Kondisi seperti inilah yang hendak dijaga agar eksistensi negara hukum Indonesia tidak terancam dengan hadirnya peraturan kebijakan, dimana dalam praktek pemerintahan sungguh sangat diperlukan.
Tulisan ini pernah dimuat dalam kumpulan tulisan “Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi” dalam rangka Ultah ke- 80 Prof Solly Lubis