Problematika Undang-undang Pemda
Klasifikasi hukum tata negara berdasarkan sifatanya adalah hukum tata negara ‘statis” dan hukum tata negara yang “dinamis”_(Logeman). Hukum tata negara mengikuti arus demokrasi dalam suatu negara. Termasuk di negeri Indonesia. Hingga era Reformasi telah mengalami perubahan ketatanegaraan berkali-kali.
Pasca tumbangnya orde baru yang otoritarian. Hanya dikenal tiga partai politik, dan selalu keluar jadi pemenang yaitu partai penguasa. Adalah Parpol Golkar jadi “dinamika” politik pada era itu. Hak-hak politik (political right) setiap warga negara hampir tidak ada, bahkan di pasung. Dan tragisnya ada dua Partai politik selalu dengan “lapang dada” menerima kekalahannya. Kedua partai tersebut seolah-olah “mengamini” apa keinginan partai pemenang pemilu, sekaligus penguasa pada saat itu.
Pasca tumbangnya rezim Orde baru, yang dikenal otoritarian. Terjadi perubahan ketatanegaraan. Perubahan sistem pemerintahan, terutama proses pemilihan. Baik Pemilu legislatif, Pemilu Presiden dan pemilihan kepala daerah baik Kota maupun Provinsi. Perubahan ini didasari oleh sebuah instrumen hukum. Berkaitan dengan hal itu, maka analisis ini bermaksud mengurai berbagai problematika dalam beberapa kali perubahan ketentuan undang-undang (UU) yang mengatur tentang Pemilihan Kepala daerah Provinsi maupun Kota. Mulai dari UU No. 5 Tahun 1974; UU No.32 Tahun 1999, hingga UU No.32 Tahun 2004.
Sebelum era Orde Baru dengan UU No. 5 Tahun 1974, kontroversi pemilihan Kepala Daerah tak dapat dilepaskan dari “intervensi” keterlibatan dan campur tangan pusat. Pertarungan elit politik di pusat akan berimbas ke daerah. Ketika persoalan meledak di daerah, usaha penyelesaian adalah kasus kadang diboyong ke pusat.
Sesuai dengan wataknya yang sentralistik. Pemerintahan pusat memiliki kekuasaan “dominan” dalam penentuan Kepala Daerah. Keterlibatan DPRD hanya dalam proses yang bersifat formalistik. Hal ini terlihat secara gamblang dalam Pasal 15 dan Pasal 16 mengenai pengangkatan kepala daerah, DPRD hanya memilih dan hasilnya diajukan minimal dua nama untuk mendapatkan restu atau penetapan dari Presiden untuk Gubernur. Sedangkan Mendagri yang menetapkan untuk pengangkatan Bupati dan Walikota. Restu dari pusat menjadi segala-galanya. Dan lebih tragisnya, siapa yang memiliki akses kuat di pusat. Maka dia akan ditetapkan sebagai pemenang. Jadi suara terbanyak dalam pemilihan DPRD, tidaklah menjamin menjadi kepala daerah. Pusat memiliki kekuasaan mutlak (absolute) untuk menentukan sebaliknya. Walaupun suara dukungannya rendah. Konflik pusat dan daerah seringkali terjadi. Tetapi akan berakhir dengan kekalahan daerah. Sungguh menyedihkan nasib daerah ketika itu.
Bagaimana dengan UU No 22 Tahun 1999 ? Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 22 Tahun 1999. Justru muncul persoalan lain yang eskalasinya jauh lebih luas. Dibandingkan dengan yang terjadi pada era orde baru. Karena hampir setiap pemilihan Kepala Daerah Bermuara Buruk. Beraroma money politic dan aksi protes. Sulit dibantah, perubahan yang terdapat dalam UU No.22 Tahun 1999 justru menghasilkan berbagai persoalan dalam pemilihan Kepala Daerah. Hampir semua proses pemilihan Kepala Daerah terindikasi terjadinya praktek money politic dan Black Campain. Tetapi itulah suatu perubahan, meski sulit dibuktikan. Indikasi-indikasi kecurangan yang ada dapat dirasakan bagaikan “kentut” diterpa angin. Sehingga menimbulkan aroma tak sedap. Tetapi tidak diketahui siapa yang kentut. Bahkan di berbagai daerah yang melaksanakan pemilu kadang terindikasi berbagai penyelewengan (abuse) dan intrik-intrik politik yang berbau uang. Ada banyak kasus penggelembungan suara yang kemudian menyulut konflik antara pendukung setiap para Kandidat.
Meluasnya praktek “politik uang” merupakan akibat logis dari bentuk pemilihan tidak langsung oleh DPRD. Hemat penulis kita dapat mendeskripsikan misalnya, jumlah anggota DPRD Kabupaten/ Kota antara 20 sampai dengan 45 orang atau anggota DPRD Provinsi 45 s/d 100 orang. Maka tidak terlalu sulit untuk melakukan praktek money politic. Dengan membeli antara 11 s/d 13 anggota DPRD Kabupaten/ Kota atau antara 23 s/d 51 anggota DPRD Provinsi seorang dapat dipastikan memenangkan pemilihan Kepala Daerah. Maka terciptalah hubungan “mesra” dalam “bulan madu” berkepanjangan antara Kepala Daerah muda dengan beberapa anggota DPRD.
Posisi kuat yang dimiliki DPRD. Ternyata dimanfaatkan oleh sebagian anggota dewan untuk memperoleh “keuntungan” sesaat. Kepala Daerah berada di bawah tekanan, sehingga harus menerima kemauan DPRD. Kenaikan gaji DPRD di luar batas kewajaran. Berbagai fasilitas yang diperoleh anggota DPRD, jalan-jalan keluar negeri yang “dipakem” menjadi program “studi banding” ke beberapa daerah hingga ke luar negeri. Bercermin pada hal itu, pengalaman pemilihan Kepala Daerah yang berbasis kekuasaan pusat dan pemilihan Kepala Daerah yang berbasis daerah dengan memakai sistem perwakilan telah memberikan pola nyata kepada masyarakat, bahwa sistem yang selama ini dipakai gagal menciptakan kehidupan demokratis yang sesungguhnya (an sich).
Terakhir, Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan UU No.32 Tahun 2004. Dengan berbagai alasan maka UU No.32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 diharapkan membawa “angin segar” dalam pemilihan langsung untuk Kepala Daerah. Oleh sebab itu banyak kalangan yang menaruh harapan dalam pemilihan langsung yang dijanjikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 ini. Dinilai sebagai kesempatan mewujudkan “Indonesia Baru” yang lebih demokratis. Karena dengan demikian kita mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk menetapkan teori perjanjian masyarakat (pactum subjectionis/ pactum unionis_Hobbes & John Locke), yaitu mengembalikan prinsip kedaulatan rakyat (soveregnty of the people’s) sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”.
Sebagai perwujudan dari prinsip kedaulatan rakyat dan sistem Pesidensial tersebut di atas. Maka Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR. Tetapi dipilih langsung melalui pemilihan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 A UUD NRI Tahun 1945. Konsekuensinya, Kepala Daerahpun harus dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945). Akhirnya diejawantahkan melalui UU No. 32 Tahun 2004 bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan secara Luber dan Jurdil. Inilah harapan rakyat Indonesia konsep pemilihan langsung (direct election) yang diharapkan akan melahirkan pemerintahan yang representative. Semoga harapan (das sollen) itu berjalan dalam realitasnya (das sein).