Dari Penundaan Pemilu Ke-amandemen Periode Jabatan Presiden

Sumber Gambar: taka news
Utak-atik masa jabatan presiden terus bergulir dalam beberapa pekan terakhir. Wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden diawali oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, yang mengungkapkan alasan bahwa penundaan pemilu diperlukan untuk momentum perbaikan ekonomi, guna mengganti stagnasi selama dua tahun masa pandemi Covid-19.
Pernyataan ini segera didukung oleh dua elite partai lain, yakni Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Wacana penundaan pemilu bukan hal yang baru. Sebelumnya Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia juga mengklaim bahwa kalangan dunia usaha berharap ada perpanjangan masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pada tataran kalangan elite, gagasan perpanjangan masa jabatan presiden ini mendapat penolakan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Nasdem, dan juga Partai Gerindra. Namun, utak-atik soal masa jabatan presiden ini tak berhenti sampai di sini.
Partai Solidaritas Indonesua (PSI) yang awalnya menolak penundaan pemilu presiden kembali membuka wacana lama berupa menambah periodesasi jabatan presiden. Dengan klaim berdasarkan aspirasi yang kuat agar Presiden Jokowi kembali meneruskan kepemimpinannya, PSI menghendaki periodisasi jabatan presiden RI ditambah menjadi tiga kali, dengan jalan satu-satunya adalah dengan melakukan amendemen UUD NRI 1945.
Presiden Jokowi sendiri menyikapi berbeda wacana ini dengan mengatakan ini bagian dari demokrasi. Berbeda dengan respons sebelumnya yang jelas menolak tiga periode masa jabatan presiden.
Dari kacamata hukum tata negara, pernyataan PSI merupakan pendapat yang konstitusional dibandingkan dengan menunda pemilu yang tak punya dasar konstitusionalitas karena jelas menabrak regularitas pemilu yang ditegaskan dalam Pasal 22E UUD NRI.
Oleh karena itu, untuk memungkinkan seorang presiden di Republik Indonesia yang sedang atau telah menduduki periode kedua, memperpanjang masa jabatannya, maka tidak ada jalan lain kecuali melakukan amendemen terhadap Pasal 7 UUD NRI yang membatasi jabatan presiden sebanyak dua kali. Lalu apakah perubahan terhadap periode jabatan presiden dapat dilakukan?
*Peluang amendemen formal*
Amendemen konstitusi dapat dilakukan melalui dua jalan, yakni informal dan formal. Amendemen formal berarti perubahan konstitusi melalui jalur yang disediakan oleh konstitusi, yakni melalui ketentuan yang disediakan oleh konstitusi itu sendiri yang lazim disebut sebagai aturan amendemen (amendment rules).
Pasal 37 UUD NRI 1945 menyediakan cara melakukan perubahan; dari sisi kelembagaan, pengusulan, kuorum dan pengambilan keputusan. Menurut Pasal 37, amendemen dapat diagendakan apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga dari anggota MPR.
Lalu, sidang amendemen UUD 1945 minimal dihadiri oleh dua pertiga dari jumlah anggota MPR. Dan akhirnya, keputusan yang diambil harus disetujui oleh minimal 50 persen ditambah satu orang dari seluruh anggota MPR.
Di luar kepentingan dan konstelasi politik yang dinamis, amendemen UUD NRI 1945 sangat terbuka terjadi, termasuk terkait masa jabatan presiden.
Jumlah anggota MPR adalah 711, dengan komposisi 136 anggota DPD dan 575 anggota MPR. Jumlah anggota DPR dalam koalisi pemerintah termasuk PAN, keseluruhan berjumlah 471 orang, sementara kursi DPR dari PKS dan Demokrat masing-masing berjumlah 50 dan 54 (total 104).
Dengan komposisi semacam ini, dibutuhkan 237 pengusul dari anggota MPR untuk mengajukan pasal-pasal yang diamedemen, Kuorum kehadiran 474 orang, dan selanjutnya dibutuhkan 357 orang anggota MPR untuk mengegolkan amendemen. Hitungan sederhana ini mengindikasikan, amendemen pasal-pasal, termasuk mengenai masa jabatan presiden, berpeluang dilakukan.
Dengan kalkulasi jumlah kursi partai pemerintah yang ada saat ini, ditambah lagi dengan anggota DPD yang mempunyai afiliasi dengan partai pemerintah, mewujudkan amendemen tidaklah sulit.
Studi perbandingan ketatanegaraan mengenai perubahan masa jabatan presiden memang menunjukkan isu ini sebagai dinamika yang sepenuhnya merupakan politik nasional, yang berbeda dengan soal regularitas pemilu yang ditegaskan dalam Deklarasi Universal HAM dan Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil Politik. Kedua instrumen HAM ini menegaskan prinsip pemilu berkala sebagai perwujudan hak setiap orang.
Amerika Serikat (AS), dengan sistem pemerintahan presidensial seperti Indonesia, mempunyai pengalaman menarik ketika awalnya konstitusinya tidak mengatur sama sekali mengenai pembatasan masa jabatan presiden, tetapi para presiden AS menerapkan pembatasan diri sendiri (self-imposed) sebagai kerangka prinsip bernegara.
George Washington sebagai presiden pertama AS adalah pionir pembatasan masa jabatan presiden meskipun konstitusinya tidak membatasi. Maka, pada periode 1789-1945, ketika konstitusi AS tidak mengatur pembatasan, dari 31 presiden pada masa itu, hanya Roosevelt yang menjabat tiga periode (1933-1945), dengan situasi Perang Dunia saat itu.
Setelahnya, AS melakukan amendemen konstitusi ke-22 yang menegaskan bahwa presiden hanya bisa dipilih untuk dua kali masa jabatan. Situasi sebelum amandemen ke-22 ini jelas menunjukkan bahwa pembatasan masa jabatan dipandang sebagai nilai mendasar bagi demokrasi Amerika Serikat, meskipun itu sama sekali tidak diatur dalam konstitusinya.
Pada sisi lain, gagasan dan aksi untuk menambah masa jabatan presiden juga merupakan suatu dinamika yang terjadi di beberapa negara. Namun, gagasan dan aksi ini banyak yang berujung pada krisis politik, krisis konstitusi dan jelas berdampak pula pada krisis ekonomi.
Studi yang dilakukan oleh Kofi Annan Foundation yang berjudul Changing term limits: an electoral perspective (2016), memberikan catatan tebal bahwa perubahan dalam bentuk penambahan masa jabatan presiden cenderung berakibat pada ketidakpuasan, kekacauan dan bahkan kekerasan, sebagaimana dicontohkan di Burkina Faso (2014), Kongo (2014), dan Burundi (2015).
Yang menarik dari studi ini adalah gagasan menambah masa jabatan presiden sering kali dimulai dari klaim aspirasi publik (public demand) dan berujung kacau karena memunculkan polarisasi dan proses yang manipulatif, termasuk gagalnya mempertahankan pemilu yang berintegritas.
Gagasan penambahan masa jabatan presiden, sering muncul pada situasi petahana berada pada periode akhir dari jabatannya. Jika studi Kofi Annan Foundation memberikan indikasi klaim public demand sebagai pemicu dari aksi mewujudkan perpanjangan masa jabatan presiden, studi yang dilakukan Venice Commission (Report on Term Limits: Maret 2018) melihat gagasan re-eleksi presiden ”membajak” hak asasi manusia sebagai alasannya.
Pengalaman Venezuela, yang berujung pada krisis ekonomi, yang hendak bertranformasi ke sosialis, dengan salah satunya melalui penghapusan pembatasan masa jabatan presiden, membuktikan hal demikian.
Presiden Hugo Chavez, mengajukan proposal amendemen pada 2007, salah satunya terhadap Pasal 230 mengenai masa jabatan presiden. Proposal ini dijawab oleh publik melalui referendum dengan komposisi 50,65 persen menolak.
Namun, referendum terhadap hal yang sama, dilakukan lagi pada 2009 dengan menbawa pertanyaan referendum dikaitkan dengan hak politik, hasilnya 54,86 persen setuju.
Pertanyaan referendum tersebut adalah _”Do you approve the National Assembly amendment to articles 160, 162, 174, 192 and 230 of the Constitution that widens the political rights of people in order to allow that any citizen exercising an elected public position can run for candidate for the same position for the period established in the Constitution, depending only on its popular election?”._
*”Dismemberment”, bukan amendemen*
Lalu apakah wacana elite untuk melakukan amendemen terhadap ketentuan masa jabatan presiden RI ini secara substansi dapat disebut sebagai amendemen? Pasal 7 UUD NRI 1945 yang membatasi masa jabatan selama dua periode merupakan amanat reformasi yang harus dilihat dari keseluruhan desain amandemen yang sudah dilakukan empat kali.
Dua kali masa jabatan, masing-masing selama lima tahun, merupakan peneguhan demokrasi yang dibuat dalam suatu suasana yang menyadari dampak buruk dari model sebelumnya.
Jika praktik bernegara Amerika yang awalnya konstitusinya tidak mengatur pembatasan, namun politisinya membatas dirinya sendiri, sedangkan kita telah belajar dari kesalahan masa lalu, telah memulai berdemokrasi baru dengan meletakkan dasar yang kuat dalam berdemokrasi dan membatasi kekuasaan, maka sesungguhnya yang demikian bukan amendemen. Ini adalah dismemberment, pengamputasian terhadap konstitusi.
Ahli konstitusi, Prof Richard Albert (Constitutional Amendments: Making, Breaking and Changing Constitutions: 2019 ) menyebut hal demikian adalah upaya sadar diri untuk menolak nilai esensial dari konstitusi.
Pengalaman panjang bernegara untuk sampai pada mengubah Pasal 7 dari semula tanpa batas, menjadi hanya dua kali, adalah salah satu nilai esensial dalam konstitusi.
Mengubahnya dengan situasi faktual presiden saat ini berada pada akhir periode jabatan dan klaim aspirasi publik (mungkin dari berbagai survei atau lainnya), pun juga alasan ekonomi, hanya akan melemahkan nilai esensial konstitusi kita.
Belum lagi dengan berbagai pembelajaran dari pengalaman negara lain mengenai hal ini, yakni krisis konstitusional, juga krisis ekonomi, adalah akibat yang seharusnya kita hindari. Sudah. mari berhenti utak-atik ketentuan jabatan presiden dan berkhidmat dengan nilai esensial konstitusi kita!!
Oleh:
RADIAN SALMAN
Dosen Bidang Ketatanegaraan, Pengajar Magister Hukum dan Pembangunan SPS Universitas Airlangga
KOMPAS, 23 Maret 2022
Sumber: : https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/03/22/dari-penundaan-pemilu-ke-amendemen-periode-jabatan-presiden