Tanggung Jawab Negara Terhadap Tindak Pidana Internasional

Pendahuluan:

Latar Belakang Masalah

            Tanggung jawab negara merupakan salah satu isu penting yang selalu dibahas dalam hukum internasional. Hal ini dikarenakan negara merupakan subyek hukum utama dalam hukum internasional. Atas alasan itulah mengapa komisi hukum internasional (international law commission/ILC) mencoba melakukan studi dan kodifikasi perihal tanggung jawab negara. Upaya tersebut pada akhirnya hanya berbuah sebuah draft konvensi yaitu draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, yang diadopsi pada tahun 2001.

            Dalam hukum internasional, tanggung jawab negara diartikan sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh negara kepada negara lain berdasarkan perintah hukum internasional.[1] Sederhananya, apabila suatu negara tidak memenuhi kewajiban yang dibebabkan kepadanya berdasarkan hukum internasional maka ia dapat dimintakan tanggung jawab. Akan tetapi faktanya tidak semudah itu sebab sulit untuk menilai apakah negara telah lalai atau tidak melaksanakan kewajibanya.

            Untuk dapat menilai, maka yang perlu diperhatikan adalah soal tindakan sebuah negara. Dalam hukum internasional, tindakan negara dapat dibedakan antara tindakan negara dalam kapasitas publik (iure imperium) dan privat (iure gestiones). Konsep tanggung jawab negara pun sebenarnya lahir sebagai upaya untuk membedakan tindakan negara yang bersifat publik atau perdata.[2] Hal inilah yang kemudian diadopsi dalam draf konvensi tanggung jawab negara, pasal 1, yaitu: “Every internationally wrongful act of a state entails the international responsibility of that state.”

            Kategorisasi tindakan negara yang salah sehingga dapat menimbulkan tanggung jawab adalah ketika suatu tindakan atau pembiaran (action/omission) itu melekat pada negara berdasarkan hukum internasional dan melanggar kewajiban internasional negara.[3] Unsur atribusi menjadi bagian penting untuk menilai apakah tindakan negara yang salah itu dilakukan dalam kapasitas publik atau perdata. Sebab salah satu tujuan dibuatnya rancangan konvensi tanggung jawab negara adalah untuk menyoroti tindakan negara dalam ruang publik.

            Unsur atribusi sulit untuk dibuktikan karena tindakan atau pembiaran negara dilakukan oleh agen atau aparatusnya. Hal ini dikarenakan negara adalah entitas abstrak. Jika demikian apakah tanggung jawab atas kesalahan secara internasional tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada sesuatu yang abstrak? Perihal inilah yang kemudian diatur dalam Pasal 4 -11 draft konvensi tanggung jawab negara. Pada pokoknya, tindakan atau pembiaran yang dilakukan aparatus negara dalam kapasitasnya menjalankan kebijakan negara yang menyalahi hukum internasional maka negara dapat dimintakan tanggung jawab.

            Konsep tindakan negara yang diatribusi kepada tindakan aparatus negara ini menimbulkan suatu keadaan dilematis jika dikaitkan dengan hukum pidana internasional. Persoalanya adalah dalam hukum pidana internasional yang menjadi subyek pengaturan adalah individu bukan negara. Rezim hukum pidana internasional lahir dikarenakan adanya kehendak masyarakat internasional agar pelaku tindak pidana internasional tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya dengan dalih melakukan kebijakan negara.

            Padahal dalam konsep tanggung jawab negara, aparat negara melakukan perbuatanya berdasarkan kebijakan negara. Oleh karena itu, apakah tanggung jawab negara yang timbul karena melakukan kesalahan berdasarkan hukum internasional melepaskan tanggung jawab individu aparat negara tersebut?

            Praktik hukum internasional sejak berakhirnya perang dunia kedua menunjukan secara jelas bahwa individu dapat dimintakan tanggung jawab secara pribadi atas perbuatan yang dilakukanya saat menjabat posisi tertentu. Pengadilan Nurnberg tahun 1945 mencontohkan bahwa para penjahat perang dikenakan tanggung jawab secara pribadi meskipun mereka berdalih hanya melaksanakan kebijakan negara. Pengadilan-pengadilan ad-hoc seperti International Criminal Tribunal For the former Yugoslavia (ICTY) tahun 1993 dan International Criminal Tribunal for Rwanda tahun 1994 juga dibentuk untuk menyeret para pelaku tindak pidana internasional untuk bertanggungjawab secara individual.

            Pada akhirnya, penegasan komitmen masyarakat internasional untuk agar tiap individu bertanggungjawab atas tindak pidana internasional yang dilakukannya dikukuhkan melalui pembentukan pengadilan permanen pidana internasional, International Criminal Court (ICC) pada tahun 1998 melalui statuta Roma dan mulai efektif pada 1 Juli 2002.

  Permasalahan

            Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat beberapa masalah yaitu :

  1. Bagaimanakah pengaturan konsep tanggung jawab negara dalam hukum internasional?
  2. Bagaimanakah tanggung jawab negara dalam tindak pidana internasional?

 Pembahasan

Tanggung Jawab Negara berdasarkan Hukum Internasional    

            Tanggung jawab negara menurut A Dictionary of Law adalah “The obligation of a state to make reparation arising from a failure to comply with a legal obligation under international law”[4] Berdasarkan definisi tersebut dapat diartikan bahwa tanggung jawab negara untuk melakukan perbaikan (reparation) timbul ketika suatu negara melakukan kesalahan untuk mematuhi kewajiban hukum berdasarkan hukum internasional.

            Munculnya konsep tanggung jawab negara ini bisa dilacak dari adanya prinsip persamaan derajat, kedaulatan negara dan hubungan damai dalam hukum internasional. Berdasarkan  prinsip-prinsip tersebut,  suatu negara yang hak-nya dilanggar oleh negara lain dapat menuntut pertanggungjawaban atau reparasi[5].  Menurut Shaw, karakteristik penting timbulnya tanggung jawab negara ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu[6]:

  1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu.
  2. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional  yang melahirkan tanggung jawab negara.
  3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian.

 Komisi hukum internasional (International Law Commission/ILC), sebuah badan yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1947, melakukan studi dan kodifikasi soal tanggung jawab negara. Di mulai sejak tahun 1953, studi tentang tanggung jawab negara yang dilakukan oleh ILC akhirnya berhasil rampung setela diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2001 melalui Resolusi 56/83. Hasil studi ILC ini berbentuk draft artikel yang berjudul, “Draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts”

            Menurut Bodansky dan Crook[7], setidaknya ada beberapa isu menarik yang dapat dipelajari dari draf tersebut, yaitu :

  1. Apakah yang dimaksud dengan tindakan salah secara internasional (internationally wrongful act)
  2. Kapan pelanggaran (breach) kewajiban internasional terjadi?
  3. Kapan negara dapat bertanggung jawab atas tindakan/pembiaran nonstate actors atau negara lain?
  4. Keadaan seperti apa yang dapat membenarkan suatu tindakan negara?
  5. Apa yang harus dilakukan negara untuk memulihkan tindakan salah secara internasional? (Kompensasi, restitusi, dll.)
  6. Siapakan negara yang memiliki hak untuk melakukan gugatan?
  7. Tindakan balasan apa yang diperkenankan beserta batasan dan kondisinya?

 Tanggung Jawab Negara

            Draft artikel tanggung jawab negara yang berhasil dirampungkan oleh ILC tidak memberikan definisi tentang tanggung jawab negara. Pasal 1 draft artikel tersebut hanya memberikan penjelasan kapan tanggung jawab negara timbul, yaitu saat suatu negara melakukan tindakan yang salah secara internasional (internationally wrongful act). Tindakan salah secara internasional dapat berupa melakukan (action) atau tidak melakukan (omission) sesuatu yang memenuhi  dua elemen yang ditentukan dalam Pasal 2 yaitu :

  1. Diatribusikan kepada negara melalui hukum internasional
  2. Melakukan pelanggaran (breach) kewajiban internasional

Pelanggaran kewajiban internasional terjadi apabila tindakan negara tidak sesuai dengan apa yang ditentukan oleh kewajiban itu sendiri (Pasal 12). Dengan demikian, menurut Bodansky dan Crook, tindakan yang tidak sesuai kewajiban internasional dan diatribusikan kepada negara merupakan tindakan salah secara internasional yang menghasilkan tanggung jawab negara.[8]

            Suatu negara juga dapat dianggap memikul tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh negara lain. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 16-19 yang meliputi bantuan (aid and assistance), kontrol (direction/control), paksaaan (coercion) suatu negara kepada negara lain untuk melakukan tindakan salah secara internasional.

Atribusi

            Pasal 2 (a) draf artikel tanggung jawab negara di atas telah menyebutkan bahwa tindakan salah secara internasional dapat menimbulkan tanggung jawab negara apabila tindakan atau pembiaran tersebut dapat diatribusikan kepada negara berdasarkan hukum internasional. Unsur atribusi ini menjadi penting sebab negara merupakan entitas yang abstrak sehingga tindakan negara otomatis dilakukan oleh aparatus negara.

            Untuk itu perlu ditentukan secar rinci tindakan apa dan oleh siapa yang dapat diatribusi menjadi tindakan negara yang dapat melahirkan tanggung jawab negara. Penjelasan soal atribusi ini dijelaskan melalui Pasal 4-11.

            Pasal 4 menjelaskan bahwa tindakan organisasi negara baik pada level ekekutif, legislatif dan yudikatif merupakan tindakan negara menurut hukum internasional. Tidak masalah jika organisasi tersebut berkedudukan di pusat maupun daerah, termasuk di dalamnya individu ataupun entitas lain yang ditentukan melalui hukum nasional.

            Individu ataupun entitas lain yang tidak termasuk organisasi negara namun diberikan kewenangan berdasarkan hukum nasional untuk melaksakan beberapa elemen kewenangan negara, dapat diatribusi sebagai tindakan negara (Pasal 5). Tindakan organisasi negara maupun individu dan entitas yang diberikan kewenangan melaksanakan elemen kewenangan negara masih dianggap melakukan tindakan negara menurut hukum internasional apabila melakukan tindakan dalam kapasitas yang diberikan meskipun melampaui kewenanganya (Pasal 7)

            Soal atribusi tindakan negara ini juga mengatur bahwa apabila ada individu dan kelompok di luar ketentuan Pasal 4 dan 5 melakukan suatu tindakan yang merupakan perintah, kontrol dan arahan dari negara, maka tindakan individu dan kelompok tersebut diatribusikan sebagai tindakan negara.(Pasal 8). Kekurangan pasal ini adalah tidak menjelaskan batasan perintah dan kontrol negara terhadap individu atau kelompok yang dapat diatribusikan sebagai tindakan negara.

            Pasal 9 dan 10 mengatur tentang tindakan individu, kelompok atau pemberontak yang dapat diatribusikan sebagai tindakan negara menurut hukum internasional. Apabila individu dan kelompok melakukan tindakan-tindakan kenegaraan karena otoritas resmi tidak dapat melaksakannya, maka tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan negara. Begitu pun bagi tindakan pemberontak yang berhasil membentuk pemerintahan baru dianggap sebagai tindakan negara.

 Pidana Internasional

            Draft artikel tanggung jawab negara tidak mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab negara atas tindak pidana internasional (international crimes) yang dilakukannya. Pada pasal 40 ayat 1 menyatakan bahwa negara bertanggungjawab atas pelanggaran serius yang dilakukkan negara terhadap peremptory norm yang timbul dari hukum internasional secara umum. Unsur keseriusan pelanggaran yang dilakukan oleh negara tersebut terpenuhi apabila terjadi kesalahan besar (gross) dan sistematis yang melibatkan negara.

            Menurut Bodansky dan Crook[9], berdasarkan komentar saat penyusunan draft tersebut, peremptory norm yang dimaksud adalah tindakan agresi, perbudakan (slavery), pembunuhan masal (genocide), diskriminasi ras (racial discrimination), apartheid, penyiksaan (torture), pelanggaran prinsip dasar hukum humaniter serta hak untuk menyatakan diri sendiri (the right to self-determination). Dengan demikian, apabila negara melakukan tindakan atau pembiaran sehingga terjadi pelanggara atas kejahatan yang disebutkan di atas maka negara tersebut dapat dimintakan tanggung jawab.

Pengecualian Tindakan Negara

            Meski telah dijelaskan beberapa tindakan negara yang dapat dikenakan tanggung jawab, draft artikel tanggung jawab juga memberikan beberapa pengecualian yang tidak dapat dimintakan tanggung jawab negara. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 20-26. Adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi agar tindakan negara tidak dikategotikan melanggar kewajiban internasional adalah:

  1. Persetujuan (Pasal 20); Tindakan yang dilakukan sebuah negara kepada negara lain sepanjang disepakati dalam suatu persetujuan bersama, tidak dapat dikatakan melakukan tindakan salah menurut hukum internasional.
  2. Bela diri (Pasal 21 dan 22);Tindakan  bela diri tidak dianggap salah secara internasional asal dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Piagam PBB. Begitu juga tindakan balasan (counter measure) tidak dianggap sebagai tindakan salah secara internasional.
  3. Force Majeur (Pasal 23); Sebuah tindakan negara yang melanggar kewajiban internasional tidak dapat dimintakan tanggung jawab apabila tindakan tersebut dilakukan karena; adanya kekuatan yang tidak dapat ditolak, diluar kontrol negara, serta tidak memungkinkan melaksanakan kewajiban.
  4. Distress (Pasal 24); Tindakan negara yang diambil pada situasi sulit dimana negara harus menentukan untuk menyelematkan dirinya atau masyarakat yang berada di bawah tanggung jawabnya
  5. Necessity (Pasal 25); Tindakan yang diambil negara untuk melindungi kepentingan dirinya dengan tidak membahayakan negara lain dan masyarakat internasional secara keseluruhan.

 Konsekuensi Hukum

            Negara yang telah melakukan kesalahan secara internasional dapat dikenakan beberapa konsekuensi hukum berupa:

  1. Menghentikan dan tidak melakukan lagi tindakanya (Pasal 30)
  2. Melakukan reparasi (Pasal 31). Bentuk-bentuk reparasi ini dapat berupa restitusi (Pasal 35), kompensasi (Pasal 36), pengakuan atau permintaan maaf /satisfaction (Pasal 37), membayar bunga/ interest (Pasal 38),

Tuntutan ini dilakukan oleh negara yang merasa dirugikan oleh tindakan negar lain yang telah melanggar tanggung jawab internasional. Sayangngya, tidak ditentukan lembaga yang berwenang untuk menyerahkan gugatan. Kemungkinan besarnya, gugatan tersebut diserahkan kepada Mahkamah Internasional (ICJ)

 Hukum Pidana Internasional

            Definisi hukum pidana internasional menurut Bassiouni adalah hasil konvergensi dari dua disiplin hukum yang melengkapi dan ko-eksistensi antara hukum internasional dan aspek internasional dari hukum pidana nasional.

“International Criminal Law is a product the convergence of two different legal disciplines which have emerged and developed along different paths to become complementary and coextensive. They are :the criminal law aspects of international law and the international aspects of national criminal law[10]

Pemahaman dari definisi tersebut bahwa hukum pidana internasional memiliki dimensi hukum internasional dan hukum nasional. Hal ini tentu saja berkaitan dengan konsep yurisdiksi, subyek hukum serta perkembangan tindak pidana itu sendiri.

            Tindak pidana umumnya telah diatur dalam hukum pidana nasional. Pembunuhan misalnya, delik tersebut sudah menjadi tindak pidana universal yang telah diatur dalam semua sistem hukum pidana nasional. Akan tetapi, hukum internasional juga mengatur tentang hilangnya nyawa orang tersebut. Tentu saja ada beberapa perbedaaan..

            Jika dalam hukum nasional tindak pidana mengatur perilaku individu, maka dalam hukum internasional yang menjadi pusat perhatian adalah mengatur tingkah laku negara. Namun, seiring perkembangan zaman, subyek hukum yang diatur oleh hukum internasional juga meliputi individu. Di sinilah terlihat persamaan antara tindak pidana dalam hukum nasional dengan hukum internasional yaitu mengatur individu dan meminta pertanggungjawabanya jika melanggar.

            Perbedaan lain terletak pada sisi pertanggungjawaban. Terkadang, hukum nasional tidak mau atau tidak bisa menghukum seorang pelaku tindak pidana dengan alasan-alasan tertentu, misalnya karena jabatan politis, padahal korban yang jatuh atas suatu tindak pidana telah banyak, contoh genosida. Pada titik inilah, asumsi Baasiouni di atas dapat dipahami. Hukum internasional mencoba masuk untuk menutupi kekurangan itu. Peristiwa dalam perang dunia kedua menunjukan kepedulian masyarakat internasional untuk menghukum pelaku tindak pidana yang luput dari hukum nasional. Soal utamanya adalah demi untuk menegakkan prinsip impunitas dan kemanusiaan.

            Studi dari Bassiouni mencatat bahwa terdapat 28 tindak pidana yang diatur dalam 281 konvensi internasional sejak tahun 1815-1999. Tindak pidana yang diatur itu termasuk misalnya pembajakan, penghancuran kabel bawah laut, penguasaan pesawat yang tidak sah dan lainya.[11] Tentu saja, tidak semua jenis tindak pidana tersebut masuk dalam kategori hukum pidana internasional yang berkembang saat ini.

            Perkembangan saat ini, ketika membicarakan hukum pidana internasional adalah untuk fokus pada persoalan kekejaman (atrocity) terhadap manusia. Menurut Schabas, kecendrungan ini dimulai ketika terjadi pembantaian yang dilakukan Turki kepada bangsa Armenia pada perang dunia pertama dan kemudian berlanjut saat masyarakat internasional berhasil membentuk pengadilan militer, konvensi larangan genosida serta konvensi jenewa.[12] Kekejaman terhadap kemanusiaan itu lalu cenderung disebut dengan “crimes of state”.

            Tentu saja negara tidak mungkin melakukan itu semua sebab ia merupakan entitas yang abstrak. Negara butuh agen untuk melakukan itu semua. Inilah yang kemudian dikenal dalam ilmu hukum sebagai doktrin imputabilitas. Hukum internasional mengadopsi prinsip imputabiltas ini dalam Pengadilan Militer Nurnberg tahun 1945 yang menyatakan,

 “Crimes against international law are committed by men not by abstract entities, and only by punishing individuals who commit such crimes can the provision of international law be enforced.”[13]

 Prinsip untuk menghukum individu dan bukan negara dalam hukum pidana internasional kemudian juga diikuti dalam pengadilan ad-hoc untuk Yugoslavia saat mengadili Slobodan Milosevic.[14] Puncak pertanggungjawaban individu atas tindak pidana internasional adalah saat masyarakat international berhasil membuat pengadilan pidana permanen (Intrnational Criminal Court/ICC) pada tahun 1998. Selain mengukuhkan tanggung jawab individu dalam tindak pidana internasional, Statuta Roma 1998 juga mengkodifikasi jenis-jenis tindak pidana yang termasuk dalam hukum pidana internasional.

            Dalam hukum pidana internasonal, meski kategori kejahatan disebut sebagai “state crime”, pertanggungjawabannya tidak dikenakan kepada negara melainkan kepada individu. Perkembangan ini menarik karena semakin menguhkan keyakinan bahwa subyek hukum internasional saat ini tidak hanya terfokus pada negara saja melainkan individu.

 Analisis

            Uraian tentang draf artikel tanggung jawab negara di atas menjelaskan bahwa negara dapat dimintakan tanggung jawab apabila melakukan kesalahan secara internasional. Kesalahan ini dapat berupa melakukan (action) atau tidak melakukan (omission) sesuatu yang telah menjadi kewajibanya berdasarkan hukum internasional.

            Dalam hukum pidana internasional, meski disebut sebagai “state crimes” namun pertanggungjawaban hukumnya dikenakan kepada individu bukan entitas abstrak seperti negara. Hal ini sesuai dengan asas hukum imputabilitas dalam ilmu hukum. Namun demikian, tindak pidana yang dilakukan individu dalam pidana internasional tidak bisa dipisahkan dari jabatanya sebagai aparat negara dalam kapasitasnya menjalankan kebijakan negara. Jika demikian apakah negara dapat terbebas tanggung jawab saat individu-nya telah dihukum berdasarkan hukum internasional?

            Hal inilah yang menurut penulis sesuatu yang menarik. Jika diperhatikan perjalanan sejarahnya, ternyata konsep tanggung jawab ini pada akhirnya tidak dapat melepaskan tanggung jawab negara. Tentu saja negara sebagai entitas kolektif, yaitu bahwa negara sebagai kumpulan individu yang menentukan sebuah kebijakan.

            Apabila melihat draf artikel tanggung jawab negara, Pasal 2 (a) menyatakan bahwa tindakan aparatus negara dapat diatribusikan kepada negara. Sehingga, apabila tindakan pejabat negara memenuhi unsur atribusi tersebut, negara dapat dimintakan tanggung jawab. Hal ini tentu saja tidak menghilangkan tanggung jawab individu sebagai pelaku tindak pidana internasional sebagaimana dapat dibaca dalam Pasal 58 yang berbunyi:

“These articles are without prejudice to any question of the individual responsibility under international law of any person acting on behalf of a State”

 Tentu saja untuk meminta pertanggungjawaban negara atas tindak pidana internasional harus bisa dibuktikan adanya tindakan negara yang diatribusikan kepadanya melalui apa yang dilakukan aparatnya. Inilah yang disebut oleh Vladimir –Djuro Degan[15] sebagai elemen obyektif yang membedakannya pada elemen tindak pidana pada tanggung jawab individu yang harus memenuhi unsur actus reus dan mens rea.

            Putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) atas kasus Bosnia-Herzegovina v. Serbia tahun 2007 tentang tanggung jawab Serbia atas genosida yang dilakukan di Bosnia sangat menarik. Dalam argumentasinya, ICJ menyebutkan bahwa dalam hukum internasional tidak mengenal tanggung jawab negara dalam persoalan tindak pidana internasional. Alasanya cukup menarik, bahwa pelanggaran yang dilakukan Serbia terhadap konvensi genosida merupakan pelanggaran kewajiban yang terdapat dalam perjanjian. Hal itu tidak diartikan sebagai tanggung jawab negara atas tindak pidana.

            Tentu saja argumentasi ICJ berkaitan dengan timbulnya tanggung jawab individu dalam tindak pidana internasional yang telah dipraktikan dalam Pengadilan Nurnberg, ICTY, ICTY dan juga ICC.

            Putusan ICJ tersebut menurut penulis agak janggal. Larangan genosida dalam hukum internasional menurut hemat penulis sudah pada level peremptory norm, sesuai yang dikatakan Bodansky dan Crook. Apabila suatu negara telah melanggar peremptory norm maka berdasarkan Pasal 40 draft artikel tanggung jawab negara, negara tersebut dapat dimintakan tanggung jawab. Tentu saja tindakan tersebut harus dapat diatribusikan terlebih dahulu sebagai tindakan negara.          Genosida dalam hukum pidana internasional sudah termasuk dalam “state crime” yang berarti dianggap sebagai tindak pidana internasional. Jadi, agak aneh bahwa ICJ mengakui Serbia melakukan genosida di Srebrenica namun tidak menganggap itu sebagai tanggung jawab pidana internanasional.

            Menurut penulis negara harus tetap memiliki tanggung jawab atas tindak pidana internasional. Alasan penulis adalah sebab apa yang dilakukan aparat negara tersebut tentu saja merupakan suatu kebijakan (policy) yang diatribusikan kepada negara. Akan tetapi, menurut hemat penulis, tanggung jawab negara dalam tindak pidana internasional terbatas pada tanggung jawab membayar reparasi atas kerugian yang telah dilakukan aparatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 31-38 draf artikel tanggung jawab negara.

Kesimpulan  

            Berdasarkan uraian dan analisis di atas maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:

  1. Tanggung jawab negara di atur dalam Draft Artikel Tanggung Jawab Negara yang diadopi oleh Majelis Umum tahun 2001. Tanggung jawab negara timbul dari tindakan negara yang tidak sesuai kewajiban internasional dan diatribusikan kepadanya yang merupakan tindakan salah secara internasional.
  2. Meski tidak diatur spesifik dalam Draft Artikel Tanggung Jawab Negara tahun 2001, pasal 40 menyebutkan bahwa negara bertanggung jawab atas tindakanya yang melanggar kewajiban internasional yang termasuk kategori peremptory norms. Hukum pidana internasional mengatur tentang tanggung jawab atas tindak pidana yang termasuk dalam kategori peremptory norm seperti genosida, crime against humanity, crime against peace. Dengan demikian, sesuai Pasal 40, negara dapat bertanggung jawab dalam tindak pidana internasional. Meski demikian, tanggung jawab tersebut tidak menghilangkan tanggung jawab individu pelaku tindak pidana internasional sesuai dengan Pasal 58.

DAFTAR PUSTAKA

Andre Nollkaemper, State Responsibilty for International Crimes : A Review of Principel Reparation, Working Papers : Amsterdam Center for International Law, Amsterdam, 2009

Chia Lehnardt, Private Military Companies and State Responsibility,  International Law and Justice Working Papers, NYU Law School, New York, 2007

Daniel Bodansky dan John R. Crook, Symposium: The ILC’s State Responsibility Articles, The American Journal of International Law, Vol. 96;773, 2002

David Amstrong ed, Routledge Handbook of International Law, Routledge, New York, 2009

Elizabeth A. Martin ed., A Dictionary of Law, Oxford University Press, New York, 2002

Issabele Buffard, James Crawford et.all, International Law Between Universalism and Fragmentation, Martinus Nijhoff, Leiden, 2008

Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge University Press, Cambridge, 1997

Rebecca M.M. Wallace, International Law, Fourth Edition, Sweet&Maxwell, London, 2002

Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia, Badan Pelatihan Hukum-Pusham UII, Yogyakarta, 2005

Instrumen Hukum Internasional

Draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts

The Trial of Major War Criminals: Proceedings of the International Military Tribunal Sitting at Nuremberg Germany


[1] Rebecca M.M. Wallace, International Law, Fourth Edition, Sweet&Maxwell, London, 2002, hlm. 175.

[2] Chia Lehnardt, Private Military Companies and State Responsibility,  International Law and Justice Working Papers, NYU Law School, New York, 2007, hlm.5.

[3] Draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, Pasal 2.

[4] Elizabeth A. Martin ed., A Dictionary of Law, Oxford University Press, New York, 2002, hlm 477

[5] Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge University Press, Cambridge, 1997. hlm. 541

[6] ibid

[7] Daniel Bodansky dan John R. Crook, Symposium: The ILC’s State Responsibility Articles, The American Journal of International Law, Vol. 96;773, 2002, hlm. 773

[8] id., hlm. 782

[9] id., hlm. 785

[10] Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia, Badan Pelatihan Hukum-Pusham UII, Yogyakarta, 2005, hlm. 6

[11] William A. Schabas, “International Crime”, in Routledge Handbook of International Law, ed: David Amstrong, Routledge, New York, 2009, hlm. 269

[12] ibid.

[13] The Trial of Major War Criminals: Proceedings of the International Military Tribunal Sitting at Nuremberg Germany, Bagian 22, hlm.447.

[14] Andre Nollkaemper, State Responsibilty for International Crimes : A Review of Principel Reparation, Working Papers : Amsterdam Center for International Law, Amsterdam, 2009, hlm.7

[15] Vladimir –Djuro Degan, “Responsibility of States and Individuals for Genocide and other International Crimes”, in International Law Between Universalism and Fragmentation, ed; Issabele Buffard, James Crawford et.all, Martinus Nijhoff, Leiden, 2008, hlm. 527

Eka An Aqimuddin

Peneliti partikelir hukum internasional. Pengelola Jurnal Online Hukum Internasional di http://senandikahukum.com/. Tulisan yang pernah dipublikasikan diantaranya Mekanisme Penyelesaian Sengketa di ASEAN; Lembaga dan Proses (2011) dan beberapa artikel di media massa

You may also like...