MK Benar-Benar Terancam Darurat
Sungguh ironis, dulu ketika Akil Mochtar dicokok komisi anti rasuah, melalui operasi tangkap tangan KPK. Semua orang pada curiga hingga menghujat MK, kalau pengadilan konstitusi tertinggi itu sudah berada diambang kematian. MK dituding tidak dapat lagi berjalan sebagaimana mestinya, sebagai guardian of the constitution. Bahkan kekisruhan di ruangan sidang MK, yang merusak beberapa fasilitas MK, lagi-lagi MK yang dipersalahkan, karena memang MK sudah tidak lagi mendapat kepercayaan dari publik.
Lantas ketika dua hakim MK, Patrialis Akbar dan Maria Farida terancam legalitasnya, karena Keputusan Presiden No. 87/P/ 2013 perihal pengangkatannya sebagai hakim konstitusi digugat oleh Koalisi LSM Tim Advokasi Penyelamat Mahkamah Konstitusi dimotori YLBHI dan ICW di PTUN Jakarta, dan PTUN-pun mengabulkan permohonan dua LSM yang mengatasnamakan masyarakat itu. Publik tidak begitu “pesimis” menatap masa depan MK, kita semua pada “enjoy-enjoy’ saja, seolah ini tidak ada masalah. Padahal inilah kondisi MK berada dalam situasi, benar-benar terancam darurat.
Saya mengatakan “darurat” karena berkurangnya hakim MK, yang kini tinggal berjumlah delapan pasca penetapan Akil Mochtar sebagai tersangka oleh KPK, kemudian dua yang harus diberhentikan atas perintah PTUN, satu lagi hakim Harjono akan mengundurkan diri nantinya. Berarti jumlah hakim nantinya tinggal lima orang, praktis tidak memenuhi syarat UU No 4 Tahun 2003 jo UU No 8/2011 tentang MK, kalau sekiranya MK tetap dituntut untuk bersidang.
UU MK menyatakan “bahwa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dalam sidang pleno dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi. Namun di dalam keadaan luar biasa, dimungkinkan jumlah tersebut tidak terpenuhi sepanjang sidang pleno masih dihadiri oleh minimal tujuh hakim konstitusi.” Jikalau kondisi ini, benar-benar terjadi dipastikan hakim MK tidak dapat lagi memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara konstitusi, karena hakim yang tersedia tinggal lima orang. Pun masalah ini akan semakin runyam, jika dibiarkan hakim MK yang tersedia hanya lima orang itu, lalu kita akan diperhadapkan konstestasi pemilu 2014, sebuah agenda kenegaraan yang mana MK menjadi pengadilan perselisihan hasil pemilihan umum. Sekali lagi, kalau begini sebuah situasi MK dalam kondisi gawat darurat, jangan berharap MK dapat menjadi pengawal daulat rakyat yang sebenar-benarnya. Sedangkan Maria Farida poisisinya terancam pula, karena juga menjadi bahagian dari hakim yang diusulkan dan diangkat kembali oleh Presiden bersama dengan Patrialis Akbar berdasarkan Keputusan Presiden No. 87/P/ 2013, Kepres tersebut dituding sarat “manipulasi”, tidak transparan dan bersifat partisipatif dalam pengangkatan hakim MK, atas perintah Pasal 19 UU MK.
SBY Dilematis
Keputusan Presiden No. 87/P/ 2013 benar-benar bagai “buah simalakama”. Kalau sekiranya SBY memilih banding atas Putusan No 139/G/2013/ PTUN-Jkt, yang membatalkan Keputusan Patrialis Akbar dan Farida Maria, maka SBY mau tidak mau akan dituding menelan “air ludahnya” sendiri, bukankah alasan Presiden SBY mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2013, semangatnya adalah hal-ihwal kegentingan yang memaksa, MK mengalami krisis kepercayaan, dan penyebabnya; rata-rata Hakim MK banyak berasal dari keanggotaan partai politik. Dan Patrialis Akbar semua orang tahu, beliau berasal dari keanggotan partai politik dan waktu diangkat sebagai hakim MK, waktu itu masih aktif dikeanggotaan parpol.
Perppu No 1 Tahun 2013 menghendaki, bahwa ke depannya, bagi calon hakim konstitusi yang akan dipilih melalui panel ahli, calon yang berasal dari anggota partai politik harus lima tahun meninggalkan keanggotaan parpol, baru dapat mencalonkan sebagai hakim konstitusi. Artinya, kalau tetap SBY “ngotot” mempertahankan Patrialis melalui pengajuan banding, tidak tanggung-tanggung publik akan menilai Presiden telah “bermuka dua”. Di satu sisi SBY mempertahankan keterpilihan Patrialis Akbar yang berasal dari keanggotaan parpol, namun disaat yang sama melalui Perppu, justru membatasi hakim konstitusi harus meninggalkan parpol selang waktu lima tahun. Pertanyaannya sekarang, mau di simpan kemana muka SBY kalau tetap mempertahankan posisi Patralis Akbar saat ini?
Disisi lain kalau misalnya SBY tidak mengajukan banding atas putusan PTUN Jakarta tersebut, berarti SBY akan membiarkan MK lumpuh, karena hanya dalam waktu 14 hari putusan pembatalan Kepres N0. 87/ P/ 2013 sudah berkekuatan hukum tetap, otomatis hakim MK; Patrailias Akbar dan Maria Farida harus diberhentikan.
Kini, SBY sebagai kepala Negara ex officio juga sebagai kepala pemerintahan berada dalam situasi “dilematis”. Apakah tetap mengajukan banding atas pembatalan keperes No. 87/ P/ 2013? Ataukah memilih menerima hasil putusan No 139/ G/ 2013, kemudian memberhentikan dua nama hakim konstitusi kemarin yang telah diangkat, karena memang tidak memenuhi syarat transparan dan parstisipatif atas pengangkatannya, sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 19 UU MK.
Mengundurkan Diri
Setali tiga uang, tentu kita tidak boleh membiarkan MK kelak benar-benar gawat darurat, hingga lumpuh tidak dapat mengawal konstitusi di negeri ini. Hanya karena persoalan sumber daya manusianya yang kurang. Hakim yang kelak berjumlah lima saja sama halnya sudah terjadi kekosongan hakim, karena sidang MK hanya dimungkinkan dengan jumlah hakim sebanyak 7 orang.
Demikian halnya Patrialis Akbar sebagai pihak yang merasa dirugikan , lalu ingin mengajukan banding secara sendiri (sebagai tergugat intervensi) dalam putusan PTUN Jkt tidaklah tepat. Hukum acara PTUN sudah menentukan bahwa tergugat intervensi harus mengajukan banding dalam satu permohonan dengan tergugat utama yaitu presiden.
Lantas, bagaimana cara mentaktisi agar kedua hakim tersebut tetap dapat menjalankan tugasnya. Jikalau kelak harus mengikuti hasil putusan PTUN Jkt? Satu-satunya jalan kalau Patrialis Akbar dan Maria Farida rela mengundurkan diri, selang waktu dua atau tiga bulan misalnya. Cara tersebut dipastikan sudah dapat mengantisipasi lebih dini, sekiranya putusan PTUN Jkt dibanding tetapi malah menguatkan putusan sebelumnya.
Memang, bukan masalah atau tidak ada ketentuan yang mengharuskan kedua hakim itu mengundurkan diri, namun ini lebih pada persoalan waktu yang sulit terduga, bagaimana kelak seandainya kalau hasil putusan banding yang menguatkan itu, ternyata bersamaan dengan penyelesaian sengketa hasil pemilu legislatif dan presiden?
Seraya menunggu waktu dua bulan pengunduran diri demikian, mekanisme penggantian keduanya harus segera dilakukan dengan mempergunakan sistem dan mekanisme yang telah diatur dalam Perppu No 1 Tahun 2013 yang tinggal menunggu prosedur administratif untuk disahkan sebagai undang-undang dalam Lembaran Negara.
Jauh lebih penting di atas segalanya, dengan mencita-citakan MK yang berwibawa, transparan, sekiranya model perekerutan dengan memakai panel ahli harus segera digalakkan demi menyelematkan agenda kenegaraan (Pemilu 2014) kelak. Di sinilah benar-benar diuji hakim MK, sikap kenegarawannya, benar-benar memikirkan nasib MK ke depannya, di tengah guncangan demoralisasi publik atas sengkarut “gurita korupsi” yang melandanya.(*).