Benarkah Anas Urbaningrum Dizalimi ?
Ketidakhadiran Anas Urbaningrum dalam pertemuan antara SBY dan sejumlah Deklarator partai demokrat di acara silaturrahmi Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat (FKPD-PD) mengundang sejumlah kontroversi. Bagaimana tidak, Anas Urbaningrum sebagai Ketua umum Partai terkesan “dizalimi” oleh sejumlah petinggi partai. Juntrungnya kemudian hendak memberi kesan kepada publik bahwa ada pengurangan fungsi dan peran Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai.
Lagi-lagi badai “sunami” melanda internal Partai Demokrat. Setidaknya sentilan SBY terhadap kadernya merupakan sebuah respon akibat hiruk pikuknya skandal korupsi yang menyeret sejumlah para politisi. Termasuk aktor/ artis partai penguasa saat ini. Pengamat politik LIPI Siti Zuhro mengurai, bahwa dengan tidak hadirnya Anas Urbaningrum dalam pertemuan tersebut memberi kesan sudah ada peminggiran yang disengaja. Kalau demokrasi itu biasanya komunikasi dua arah. Namun yang terjadi seperti ini adalah “namanya era otoriter”.
Pada saat yang sama Peneliti Lingkar Survei Indonesia menilai sejumlah petinggi Partai Demokrat telah berupaya membuat Anas Urbaningrum gerah duduk di kursi Ketua Umum. Secara tidak langsung pertemuan tersebut ingin membuat Anas tidak nyaman di posisinya sekarang. Dan untuk menunjukkan, dia sudah disingkirkan.
Kemenangan Anas sebagai Ketua Umum dalam Kongres Bandung. Ternyata menyandera dan melukai sejumlah kader Demokrat yang ada di DPD dan DPC sebagai pengusung Anas.
Dari perspektif hukum dan legal formal. Anas Urbaningrum adalah ketua umum sah, yang dipilih berdasarkan kongres partai. Artinya semua kepentingan partai dari hulu hingga hilir adalah sah. Sebagai Ketua Partai yang mempunyai legitimasi penuh. Harus mengetahui kondisi internal partainya. Apalagi terkait dengan persoalan partai yang berbenturan langsung dengan agenda konsolidasi internal Partai.
Secara kelembagaan organisatoris hubungan Dewan Pembina (SBY) dan Ketua Umum (Anas Urbaningrum) seharusnya mempunyai kesamaan tujuan (visi) untuk memperjuangkan serta memelihara hubungan internal Partai. Karena mempunyai posisi sentral untuk saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Ketidakhadiran Anas dalam Pertemuan tersebut mengindikasi bahwa terjadi keretakan (dead lock) di dalam tubuh (baca: internal) Partai Demokrat.
Kiranya penulis beranggapan bahwa konflik antara SBY vs Anas Urbaningrum bukan hanya kali ini terjadi. Sekalipun secara santun dalam melakukan “perang urat syaraf” yang sengaja disembunyikan dan tidak tercium sampai ke wilayah publik. Namun ada beberapa ketegangan sebelumnya hingga berlanjut sampai sekarang.
Kisruh itu berawal dari terpilihnya Anas Urbaningrum sebagai Ketua umum Partai Demokrat dianggap merupakan “kesalahan”, bukan tanpa sebab, pada saat itu Anas berhasil mengalahkan Andi Alfian Malarangeng dan Marzuki Ali (baca: Kongres Bandung 2010 Demokrat). Padahal sejatinya Andi Mallarangeng-lah direstui oleh SBY. Mata rantai kini kembali berputar hingga perlahan-lahan melingkari kekuasaan yang dipegang Anas Urbaningrum.
Setidaknya langkah-langkah yang dilakukan oleh SBY dalam pertemuan tersebut seolah “menjepit” Anas Urbaningrum sebagai ketua umum. SBY mencoba melakukan propaganda dengan menggunakan prinsip-prinsip psikologi politik dalam memengaruhi para Deklarator untuk menjatuhkan Anas Urbaningrum. Tipu muslihat yang dilakukan oleh SBY akhirnya menutup cerita nyanyian M. Nazarudin yang selama ini selalu menyebutkan Anas Urbaningrum terkait dengan beberapa kasus korupsi.
Rentetan pemberitaan negatif mengenai kasus korupsi yang dinyayikan M. Nazarudin mempengaruhi tingkat elektabilitas Partai Demokrat. Politik saling sandera yang dilakukan oleh internal partai, menghianati panggung politik bangsa. Demokrasi sebagai perwujudan untuk mengedepankan nilai-nilai moralitas yang diamini Partai Demokrat kini dihantui oleh sejumlah broker-broker politisi internal.
Hubungan yang kurang harmonis ini. Tentunya mengakhiri perjalanan elektabilitas Partai Demokrat di mata khalayak. Semakin banyak kebohongan yang dibangun atas dasar kepentingan rakyat. Maka semakin banyak pula stigmatisasi yang diserang oleh masyarakat untuk memberikan pelabelan negatif kepada Partai.
DEMOKRAT DAN ANAS “DIKEROYOK”
Tidak bisa dipungkiri, saat ini yang terjadi adalah upaya menghancurkan partai Demokrat menjelang pemilu 2014. Secara internal Anas “dikeroyok” oleh lawan politiknya di Demokrat, “barisan sakit hati” itulah yang sampai saat ini terus menghantui Anas. Hanya dalam kurun waktu 3 bulan. Elektabilitas partai demokrat merosot hingga posisi kelima. Kalah dengan partai gerindra.
Dulunya Anas dielu-elukan kini partai yang telah membesarkan namanya. Bahkan SBY sebagai “Ayah” Demokrat telah membuang namanya. Anas kini telah dianaktirikan oleh “ayah”-nya sendiri.
Boleh jadi dikemudian hari ia akan diusir dari rumah Demokrat. Rumah yang telah menjadikannya nyeyak tertidur. Kini ramai-ramai para kerabatnya sendiri “mengeroyoknya”. Anas benar-benar telah menjadi “yatim piatu” seperti John F Kennedy pernah berkata,”Victory has a thousand fathers,but defeat is an orphan”
Pidato SBY kemarin dalam acara silaturahmi FKPD-PD ibarat senjata “bermata dua” yang menelan korban berganda. Korban yang pertama adalah Anas Urbaningrum. Ketika SBY menginstruksikan kepada kader partai demokrat yang tidak bisa bersih-bersih agar mundur saja. Sedangkan korban kedua adalah demokrat sendiri. Ketika SBY (ex officio sebagai ketua Dewan Pembina Partai Demokrat) menganggap partainya sebagai partai korup. Masih dibawah angka korupsi partai lainnya.
SBY rupanya tidak sadar jika kata-katanya akan menjadi senjata yang memakan tuannya sendiri. Demokrat membunuh demokrat. Demokrat tersandera di dalam internal demokrat sendiri. Inilah bahasa yang dimainkan oleh SBY. Entah secara sadar atau tidak sadar. Ketika SBY menyalahkan partai-partai lainya akan semakin menghantam jantung demokrat di kemudian hari. Karena partainya seolah membenarkan korupsi dilakukan oleh setiap institusi partai politik.
SBY mestinya sadar, bahwa komonikasi politik yang sehat. Bukan dengan menyalahkan partai politik lainnya. Karena tidak mungkin kesalahan ditambah kesalahan akan menghasilkan kebenaran. SBY seolah saja tidak tahu komonikasi politik. Bahwa penyebab publik mengeroyok, menghujat Anas sebagai Ketum dan Partai Demokrat. Hingga akhirnya simpati publik semakin menurun terhadap partainya. Survei terakhir Soegeng Sarjadi Syndicate bahkan menyebut popularitas Demokrat saat survey berada pada posisi keempat di bawah Golkar, PDIP, dan Partai Gerindra. Adalah datang dari internal partai sendiri. Bukan oleh siapa-siapa.
Solusi alternatif, seyogiayanya SBY dan petinggi Demokrat lainnya harus belajar. Alasan publik lari dari kepercayaan Partai demokrat. Adalah konsekuensi marketing politic ketika di masa kampanye Partai Demokrat “barang”, atau isu yang dijual adalah pemberantasan korupsi. Sehingga meskipun partai lain korupsi hukuman publik tidak sekejam yang dialami oleh partai demokrat. Kemudian, Partai Demokrat sebagai the ruling party. Sebagai partai besar dalam skala kebijakan yang besar pula. Penilaian publik pasti akan lebih banyak tertuju/ jatuh ke partai penguasa parlemen yang menggerakkan mesin/ roda pemerintahan.
Acara silaturhmi, konsolidasi atau apapun namanya. Kader dan para petinggi demokrat selanjutnya harus berbenah diri menggunakan politik santun tanpa lagi menghujat “kejahatan” partai politik lainnya.