Hukum Internasional Merupakan Hukum yang Lemah
Meskipun eksistensi hukum internasional sudah tidak perlu diragukan lagi, namun pandangan umum yang masih menghinggapi orang yang awam hukum, bahkan juga kalangan Para ahli hukum pada umumnya, bahwa hukum internasional merupakan hukum yang lemah (weak law). Pandangan ini meskipun bernada minor terhadap hukum internasional, sangat sukar untuk dibantah kebenarannya. Dihubungkan dengan kenyataan empirik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat internasional sehari-hari, sudah cukup banyak fakta yang membenarkan pandangan tersebut di atas. Peristiwa-peristiwa yang pada hakekatnya merupakan pelangaran atas kaidah hukum internasional, tetapi pelakunya (negara-negara yang melanggar) tetap saja tidak dapat diapa-apakan. Hal ini lebih tampak lagi, jika pelakunya itu negara yang tergolong kuat. Kalaupun ada sanksi yang diterapkan terhadap pelanggarannya, penerapan sanksi itupun tampak diskriminatif.
Contoh kasus yang mendukung pernyataan tersebut adalah pelanggaran yang dilakukan oleh Uni Sovyet (sekarang Rusia) yang menginvasi (menyerang dan menduduki wilayah Afganistan pada tahun 1980 dan Irak yang menginvasi Kuwait pada tahun 1990), Uni Sovyet sama sekali tidak dikenakan sanksi apapun oleh masyarakat internasional c.q. Dewan Keamanan PBB. Demikian Pula Israel yang menduduki secara illegal wilayah negara-negara Arab sejak tahun 1948, meskipun telah berkali-kali terkena resolusi Dewan Keamanan PBB, tetap tidak dihiraukan dan masyarakat internasional ternyata tidak dapat berbuat banyak. Sebaliknya Irak dengan cepat dikenakan saksi oleh Dewan Keamanan PBB atas tindakannya menginvasi Kuwait, bahkan sanksi tersebut masih terus berlangsung secara efektif hingga tahun 2000. Demikian Pula tindakan Amerika Serikat yang menginvasi Grenada, sebuah negara kecil di kawasan Laut Karibia pada tahun 1987, sama sekah tidak terkena sanksi apapun. Kalaupun ada negara yang terkena sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya, tetapi penerapannya justru tidak efektif
Kasus Afrika Selatan yang menerapkan politik Apartheid bertahun-tahun lamanya yang sudah berkali-kali terkena sanksi berupa embargo dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan olah raga, seperti ditetapkan dalam sejumlah resolusi Dewan Keamanan PBB, sama sekah tidak efektif disebabkan karena negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan sekutu-sekutunya ternyata tidak dengan sepenuh hali menerima resolusi-resolusi Dewan Keamanan tersebut.
Semuanya ini bisa terjadi oleh karena dalam suatu kasus temyata terkait kepentingan dan negara-negara di dunia ini, terutama negara-negara besar dan berpengaruh seperti telah dikemukakan di atas. Beraneka macam dan berubah-ubahnya kepentingan negara-negara sesuai dengan waktu dan tempatnya maupun situasi dan kondisinya, sangat menentukan kesediaan negara-negara menaati hukum internasional maupun kesungguhan negara-negara dalam menerapkan sanksi terhadap negara-negara yang melanggarnya. Semua ini pada akhirnya menampakkan diri dalam bentuk pertarungan memperjuangkan kepentingan masing-masing yang muncul kepermukaan dalam wujud percaturan politik internasional. Jadi negara-negara bersedia ataupun tidak bersedia menaati hukum internasional, ataupun negara-negara melanggar hukum internasional, tidak terlepas dan faktor politik. Dengan perkataan lain, dalam penataan atas hukum internasional faktor politik memainkan peranan yang sangat dominan. Dominannya faktor politik ini tentu saja tidak terlepas dari kedaulatan yang dimiliki atau melekat pada negara-negara. Selama negara-negara memiliki kedaulatan dan tidak ada lembaga atau badan supra-nasional yang berada di atas kedaulatan, selama itu pula eksistensi maupun penerapan hukum internasional tergantung pada faktor politik.