Insiden 5 Oktober
Kaget !!! kondisi ini penulis rasakan ketika santer diberitakan gedung KPK “disabotase”. Sekitar dua kompi korps cokelat berpakaian preman “menyantroni” gedung anti rasuah. Terdengar pula penyidik KPK akan ditahan. Ternyata kasus simulator SIM “memakan” korban baru.
Jumat (5/10/2012) gedung KPK ramai dikerumuni awak media. Saat itu KPK telah melakukan pemeriksaan tersangka Kasus Simulator SIM Djoko Susilo. Setelah permohonan fatwa ke Mahkamah Agung ditolak, tersangka akhirnya datang. Meski sebelumnya sempat mangkir dari panggilan KPK.
Keramaian awak media di gedung KPK sering terjadi. Apalagi bila pemeriksaan dilakukan hari jumat. KPK jilid III memiliki ciri khas tersendiri dibanding pimpinan KPK sebelumnya. Kekhasan ini dikenal dengan istilah “jumat keramat”. Hari yang sangat “ditakuti” para perampok uang negara.
Penulis mencatat “jumat keramat” KPK telah menelan beberapa korban. Pertama, Soemarmo Hadi Supatro, Wali Kota Semarang yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap RAPBD 2011. Tersangka diduga memerintahkan Sekda Akhmat Zaenuri untuk memberikan uang kepada anggota DPRD Semarang. Tersangka kemudian ditahan KPK pada tanggal 30 Maret 2012. Kedua, tersangka Rustam Pakaya (Mantan Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Depkes). Tersangka ditahan pada tanggal 20 Maret 2012 terkait keterlibatannya dalam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan untuk Pusat Penaggulangan Krisis di Kementerian Kesehatan tahun 2007. Ketiga, penahanan Angelina Sondakh (Anggota Komisi X DPR). Tersangka ditahan (27 April 2012), atas dugaan keterlibatan “pengaturan” proyek Wisma Atlet. Kasus proyek wisma atlet termasuk kasus megakorupsi ditanah air. Kasus ini sudah menelan “banyak korban”, diantaranya M. Nazaruddin. Keempat, Aat Syafaat, mantan Wali Kota Cilego. Tersangka merupakan korban “jumat keramat” pada tanggal 25 Mei 2012. Aat Syafaat tersangka dalam kasus dugaan korupsi dermaga pelabuhan Kubangsari yang merugikan negara sebesar 11 Miliar. Kelima, Miranda S. Goeltom, mantan Gubernur Senior Bank Indonesia. Tersangka ditahan pada hari jumat (1 Juni 2012), dan menempati rutan baru KPK. Miranda S. Goeltom terlibat dalam kasus suap kepada sejumlah anggota DPR dalam “memuluskan” dirinya menjadi Gubernur Senior Bank Indonesia. kasus suap ini merupakan salah satu kasus korupsi yang menyita perhatian publik. Hal tersebut karena kasus ini telah menjerat sejumlah politisi di Senayan.
Jumat keramat betul-betul menjadi keramat. Harapan jumat keramat untuk tersangka, berubah menjadi “kemarat” bagi KPK. Tatkala gedung antikorupsi ini kedatangan sejumlah tamu tak diundang. Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK) dalam konfrensi pers bersama ratusan pendukung KPK, mengatakan bahwa ada upaya “kriminalisasi” penyidik KPK. Disaat yang sama Mabes Polri melakukan klarifikasi terkait kedatangan puluhan anggota polisi di Gedung KPK. Kedatangan mereka dalam rangka berkoordinasi dengan pimpinan KPK, terkait keterlibatan salah satu penyidik KPK dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
Novel Baswedan, tersangka?
Kasus korupsi simulator SIM memang menarik kita simak. Kasus ini merupakan gebrakan luar biasa dari KPK jilid III. Sejarah mencatat baru pertama kali gedung Korps cokelat “diobok-obok” penyidik KPK. Hal ini pula semakin memperuncing hubungan kedua lembaga penegak hukum pasca Cicak Versus Buaya.
Selain itu, kasus simulator “memaksa” Presiden SBY menengahi kisruh KPK-Polri. Walaupun telat, pidato ini tetap ditunggu seluruh rakyat Indonesia. Poin penting pidato SBY berkaitan “insiden 5 Oktober” adalah soal penetapan Novel Baswedan sebagai tersangka. Kasus Novel memang menjadi kontroversi. Hal tersebut karena Novel dianggap terlibat dalam penganiayaan pencuri sarang burung walet tahun 2004. Dan nanti tahun 2012 baru tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka.
Bagi masyarakat awam penetapan tersangka ini tentuya sangat “aneh”. Mengapa kasus delapan tahun silam tidak dituntaskan. Sehingga banyak yang mempertanyakan kinerja pihak kepolisian. Penulis sendiri melihat penetapan tersangka Novel mengandung “tendensi”. Hal tersebut karena Novel termasuk penyidik KPK yang memimpin penggeledahan di gedung Korlantas Mabes Polri. Novel juga merupakan salah satu penyidik kasus simulator SIM. Kasus yang tidak menutup kemungkinan menjerat petinggi Polri lain.
Terlepas dari itu semua, penetapan tersangka Novel itu sah-sah saja. Asalkan penetapan tersebut memenuhi bukti permulaan yang cukup. Tindak pidana penganiayaan yang disangkakan kepada Novel memang termasuk tindak pidana biasa. Sehingga tanpa ada aduan dari pihak korban pun, kepolisian wajib menindaklanjutinya. Sedangkan mengenai lewat waktu (verjaring) tindak pidana penganiayaan nanti dua belas tahun (vide: Pasal 78 KUHP). Artinya penetapan tersangka Novel nanti setelah delapan tahun tidak bertentangan dengan hukum.
Preseden Buruk
Penanganan kasus Simulator SIM harus cepat tuntas. Bila dari awal pihak Polri menyerahkan kasus ini ke KPK tanpa menunggu perintah SBY. Penulis dalam opini “Mengapa Harus KPK?“ sudah menjelaskan bahwa dalam menangani kasus Simulator SIM, KPK lah yang berwenang untuk melakukan penyidikan merujuk ke Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Insiden 5 Oktober di Gedung KPK juga menjadi preseden buruk dalam pemberantasan korupsi di tanah air. Pihak Polri harusnya belajar dari kasus Susno Duadji. Orang yang memperkenalkan istilah Cicak melawan Buaya. Pihak yang bertanggungjawab terhadap pengkriminalisasian pimpinan KPK. Saat itu Susno Duadji bukannya mendapatkan dukungan, justru KPK mendapatkan simpati rakyat Indonesia. Hal ini pula yang terjadi pada saat insiden 5 Oktober.
Tentunya kita semua berharap insiden ini tidak terjadi lagi. “Sinergitas” antar penegak hukum haruslah terjalin dengan baik. Oleh karena itu untuk mewujudkan Indonesia bersih dari laku korupsi. Maka terlebih dahulu penegak hukumnya harus antikorupsi. Sebagaimana Almarhum Prof. Achmad Ali mengatakan “untuk membersihkan lantai yang kotor haruslah menggunakan sapu yang bersih”.
****Salam Antikorupsi