PKS (Jangan) Melawan KPK

Ending dari tragedi korupsi yang menohok jantung kredibilitas PKS nampaknya belum usai. Gara-gara atas nama partai.  Para elit PKS melakukan penolakan sekaligus perlawanan atas penyitaan 6 mobil di kantor PKS, yang dilakukan oleh KPK kemarin. PKS kembali menjadi bulan-bulanan media. Meski dengan ditulisnya artikel ini. Pada hari Rabu pukul 11.00 WIB, KPK telah berhasil melakukan penyitaan terhadap aset (mobil) yang diduga milik Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) itu.

Ibarat nasih sudah jadi bubur. Partai yang membawah misi Islam itu. Terlanjur sejak awal menunjukan. Ada sikap tidak koperatif terhadap KPK.  Akibatnya PKS mau tidak mau harus menuai tudingan, seolah-olah melawan KPK. Padahal KPK tidak ada tujuan lain. KPK hanya melaksanakan tugas dan kewenangannya. Dalam rangka mengamankan sejumlah aset LHI. Karena KPK mengembangkan dugaan korupsi LHI dalam formulasi Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU).

Perlawanan PKS terhadap KPK, tidak berhenti sampai disitu saja. Lagi-lagi sejumah oknum PKS malah melaporkan sepuluh orang penyidik KPK di Kepolisian. Termasuk menuduh Jubir KPK, Johan Budi telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan (Pasal 335 KUHP). Karena telah menuduh sejumlah kader PKS yang “tidak-tidak”. Elit PKS, dalam hal ini Fahri Hamzah lupa atau tidak tahu sama sekali. Kalau pasal tersebut adalah ketentuan usang. Ketika pasal peninggalan kolonial itu, di Belanda sudah lama dicabut. Sebab tidak sesuai lagi dengan perkembangan paradigma hukum progresif dewasa ini.

Sumber Gambar: kartun.inilah.com

Sumber Gambar: kartun.inilah.com

Tindakan PKS ini memberi isyarat. Jika partai yang dulunya selalu menghembuskan. Perang terbuka melawan korupsi. Kini juga dimandulkan dengan tindakan pucuk pimpinannya. Parahnya angin berhembus lain arah. PKS malah dituding hendak memperlemah, menggembosi, dan mempereteli KPK. Dengan mengadu domba kembali Kapolri VS KPK seperti derita yang menimpa KPK sedia kalah. PKS dituding hendak  menciptakan kembali kisruh KPK: Cecak VS Buaya.

Dalam konteks ini, apakah KPK benar telah salah prosedural, apakah KPK telah melanggar ketentuan KUHAP. Sebagai salah satu ketentuan yang harus dipatuhi oleh KPK dalam setiap melakukan upaya paksa. Dalam hal ini ketika KPK melakukan Penyitaan.

Standar

Penyitaan merupakan upaya paksa yang dapat dilakukan oleh Penyidik. Sebagai bahagian dari kegiatan pembuktian dalam hukum acara pidana. Selain itu dalam ketentuan KUHAP (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981) masih dikenal upaya paksa lain, diantaranya: penangkapan, penahanan, dan penggeledahan. Ketiga model upaya paksa ini, jika dicermati kasus LHI. Tampaknya KPK sudah melewatinya semua.

Pertanyaan mendasar sebenarnya dari penyitaan yang dilakukan oleh KPK terhadap sejumlah aset yang diduga milik Fathanah. Upaya hukum apa yang dapat ditempuh oleh LHI atau kuasa hukumnya jika merasa keberatan dengan tindakan penyitaan yang dilakukan oleh KPK ? Apakah  dapat dilakukan upaya hukum praperadilan ? Jawabannya tidak. Oleh karena dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP, praperadilan hanya dapat dilakukan dalam hal tidak sahnya upaya penangkapan, penahanan, dan permintaan ganti rugi.

Boleh jadi karena dasar hukum ini. Kelihatan menutup pintu bagi PKS. Hingga akhirnya beberapa elit PKS memilih untuk mempidanakan KPK. Dengan melaporkan penyidik KPK ke polisi dengan alasan mereka menyalahi Standard Operating Procedure (SOP). Meskipun dibeberapa siaran TV swasta, Johan Budi sebagai Jubir KPK menantang PKS mengajukan upaya praperadilan terhadap KPK.

Masih berdasarkan ketentuan KUHAP. Penyitaan yang dilakukan oleh penyidik harus sesuai dengan standar atau prosedur yang telah ditentukan. Seperti sebelum dilakukan penyitaan oleh penyidik, mestinya mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri.

Kecuali dalam hal tertangkap tangan atau keadaan yang sangat perlu dan mendesak, bilamana penyidik harus bertindak dan tak mungkin mendapatkan surat izin terlebih dulu, penyidik dapat menyita sebatas benda bergerak dan wajib segera melaporkan kepada ketua Pengadilan Negeri untuk memperoleh persetujuan.

Namun berbeda dengan standar penyidikan yang dilakukan KPK. Pasal 47 UU KPK, menegaskan bahwa penyitaan dapat dilakukan hanya berdasarkan bukti permulaan yang cukup, tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri. Bahkan,  Pasal 47 Ayat (2) Undang-undang a quo menegaskan bahwa ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mengatur tindakan penyitaan tidak berlaku berdasarkan Undang-undang a quo. Oleh sebab itu, KPK dapat melakukan penyitaan di luar prosedur yang diatur oleh KUHAP ataupun UU lain.

Mengakhiri

Berdasarkan kettentuan penyitaan dalam UU KPK di atas. Seyogianya PKS “sadar diri” untuk mengakhiri perlawanan terhadap KPK. Karena di samping KPK jika ditelisik dalam keteantuan lex specialis. KPK sama sekali tidak melakukan penyalahgunaan kewenangan (abuse of the power). KPK sudah berjalan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam Undang-undang.

Jadi kalau PKS memiliki harapan untuk mendulang suara di pemilu 2014 nanti. PKS tidak perlu pasang badan terhadap upaya paksa (penyitaan) yang dilakukan oleh KPK. Dengan dalih, KPK telah salah berdasarkan SOP.  Masih panjang waktu bagi PKS untuk bersih-bersih dari penghakiman peradilan publik saat ini.

Cara PKS membendung tuduhan korupsi dengan dalih konspirasi merupakan perlawanan  sia-sia saja. Sudah terlanjur publik di negeri ini percaya  Kalau  lilin harapan pemberantasan korupsi. Dibebankan di pundak KPK. Perlawanan PKS dengan melaporkan anggota penyidik KPK ke Kapolri. Justru PKS seolah menggali liang lahatnya sendiri. Dari ancaman elektoral massanya. Untuk tetap bersimpati kepada PKS. Sebagai partai yang bersih, peduli dan profesional.

Bahkan tindakan PKS yang menghalangi KPK melakukan upaya penyitaan senin kemarin (6/5/013). Seandainya  KPK juga pasang badan. Dengan melaporkan oknum PKS karena  menghalang-halangi penyitaan atau tindakan menghalang-halangi proses hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor. Boleh jadi badai korupsi impor daging sapi. Semakin menerjang elektabilitas dan popularitas kader-kader mudanya. Tentunya PKS dalam posisi ini, tidak serta merta mengamini hasil survei LSJ (Lembaga Survey Jakarta) bulan Februari kemarin. Bahwa PKS hanya mampu mendulang suara dipemilu  2014 nanti. Dalam kisaran 2,6  % saja.

Riwayat PKS belumlah tamat. Mari PKS menapak ke bumi, membuka mata secara tajam. Masih banyak kader-kader militannya di sektor bawah, memiliki mimpi dan sejuta harapan. Mereka semua pada berharap PKS tetap menjadi mulia dari segala perbuatan nista dan laku korupsi. Jangan kecewakan mereka.***

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...