Pseudodemokrasi Partai Politik Indonesia

TOKOH Filsuf kenamaan rasionalisme Rene Descartes pernah menyatakan ‘aku berpikir maka aku ada/ cogito ergo sum”.  Adagium tersebut dapat diimplementasikan dalam perkembangan, menata cara “bernegara” dewasa ini. Tak pelak dikatakan sebagai negara ideal (negara yang menghormati kehendak rakyatnya), kalau demokrasi tidak tersublimasi dalam perwujudan ornamen pemerintahan. Rakyat tidak terakui kehadirannya jika tidak berdemokrasi. Dalam konteks itu, laris manis demokrasi dikatakan sebagaimana Rene Descartes memiliki adagium tersendiri, yang  bisa menyentuh pemakaian demokrasi dapat melegitimasi negara dapat menjadi “kuat”. Slogan Descartes dapat direduksi dalam kalimat sepadan: “aku berdemokrasi maka aku ada”.

Pergerakan demokrasi dalam milenesto sejarah dunia. Berkali-kali digugat oleh para tokoh-tokohnya. Bahkan Filsuf  Yunani sekaliber Aristotelespun mengakui jika model pemerintahan “demokrasi” sebagai pemerintahan yang merosot. Tidak terkecuali mazhab sosialistmarxist, ciri khas pemerintahannya tidak pernah mengakui kelebihan demokrasi. Negara sosialis terinfiltrasi dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat yang cenderung sentralistik. Kebebasan warga negara, tetap harus “ditekan” melalui satu rezim pemerintahan saja, dengan sikap otoritariannya.

Diskursus yang diajukan oleh Karl Marx, ternyata dibantah dalam sejarah perkembangan demokrasi. Memang tidak ada sistem pemerintahan yang lebih baik, tapi hanyalah demokrasi yang terbaik diantara semua sistem pemerintahan. Mau tidak mau ide sosialis, Perjuangan sama rata sama rasa yang digungkan oleh mazhab sosialis malah mampu  beradaptasi dengan ide liberalisme.

Sumber: www.wartanusantara.com

Sumber: www.wartanusantara.com

Francis Fukuyama dengan karya agungnya “The Last Man And The End Of History” membuktikan dari tahun ke tahun ide demokrasi sebagai sebuah “hukum alam” yang dianut juga di negara-negara berkembang. Negara Timur Tengah yang tetap mempertahankan kekuasaan masa pemerintahan seumur hidup. Tidak bisa lestari sebagaimana adanya. Rakyat menggugatnya dengan landasan tidak sesuai dengan penegakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Jatuhnya presiden Mesir dan Libiya merupakan contoh konkret dari ketidakamampuan pemerintahan otoriter ini dapat bertahan.

Di era demokrasi modern, pemikiran tentang demokrasi tidak berakhir sebagai ideologi tunggal. Demokrasi bukan barang yang statis, begitu pemerintahan dapat memberikan kesejahteraan dan pelayanan publik sudah merupakan cita-cita demokrasi. Penatataan negara dengan struktur ketatanegaraannya, demokrasi menjadi “jantung” untuk menata pemerintahan yang tidak pernah berkesudahan. Dapat diamati dalam konstitusi sebuah negara, demokrasi adalah perwujudan kedaulatan rakyat, untuk melegitimasi kekuasaan agar dapat diterima sebagai pemerintahan yang tidak despotis.

Dalam ranah ini demokrasi seperti pasangan suami istri yang tidak dapat dicerai-beraikan. Hukum dan demokrasi ibarat dua sisi mata uang yang saling menyokong.  Cikal bakal demokrasi adalah kedaulatan rakyat yang pernah diramu dalam teori perjanjian oleh tiga tokoh besarnya (Thomas Hobbes, John Lock, J.J. Rousseau). sedangkan hukum lahir dari rahim kedaulatan hukum, ketika hukum dianggap sebagai pilar yang menegakkan demokrasi. Sehingga  hukumpun sebagai regulasi yang membatasi penerapan demokrasi, mengikuti terminologinya yang dikenal dengan Nomokrasi (negara hukum.) Dalam istilah asing baik negara Common Law dan Civil Law terminologi negara hukum masing-masing memakai istilah rechstaat dan rule of law.

Lalu dimana partai politik menjadi sarana perwujudan demokrasi dan negara hukum? Partai politik sesungguhya sebagai “arbiter” diantara dua elemen yang melegetimasi dua pendulum tersebut.

Partai Politik adalah pilarnya demokrasi, sementara negara hukum yang menata Partai Politik yang hendak mewujudkan prinsip demokrasi. Maka lahirlah undang-undang Partai Politik, lahir Undang-Undang Sektoral Pemilihan Umum hingga regulasi yang memberi kesahihan terhadap usulan pejabat yang dititipkan oleh Partai Politik.

Partai politik kemudian yang menjadi mesin  demokrasi, namun melupakan harapan yang dititipkan oleh demokrasi dan negara hukum. Partai politik tetap kelihatan “mendominasi” cita-cita demokrasi yang bertumpu pada perwujudan hak-hak rakyat yang diwakilkan. Di sinilah demokrasi tampil dalam kesemuan, abu-abu, abstrak, absurd, tak menyentuh harapan. Oleh karena dimanipulasi dalam polesan dan gestur yang seolah-olah (palsu), inilah yang dimaksud demokrasi seolah-olah, demokrasi setegah hati, demokrasi bias harapan, tidak menyentuh pada sisi idealnya.

Siapa dalangnya ? kenapa bisa terjadi demikian ? jawabanya adalah pengelolaan partai politik yang tidak konsisten, penuh kepentingan sehingga hanya melahirkan apa yang disebut pseudodemokrasi.

Pseudo-Demokrasi

PSEUDO-DEMOKRASI adalah merosotnya apa yang diinginkan sebagai manisfestasi kehendak rakyat agar hak-hak konstitusionalnya dapat tercapai. Pada intinya demokrasi sebagai harapan dapat mewakili kepentingan rakyat, hanya pada terminologi: dari rakyat, oleh rakyat, tetap kalimat “untuk rakyat” menjadi pertanyaan besar. Karena segala kebijakan dari pilihan rakyat itu semakin hari tak kunjung datang. Kesejahteraan hanya menjadi slogan, simbol, propaganda tidak pernah tuntas pada naluri yang diharapkan oleh rakyat.

Kesenjangan itu semakin nampak ketika demokrasi hanya menjadi milik segelintir orang, yang dekat dengan organ kekuasaan. Tidak ada lagi waktu untuk memikirkan nasib rakyat. Rakyat hanya merasakan dirinya sebagai warga negara hanya pada dua tempo, yaitu pada saat pemilihan umum sedang dihelat, dan pada saat ditagih kewajibannya untuk membayar pajak.

Pseudodemokrasi adalah melemahnya sistem pengelolaan partai politik untuk menjadi pabrik membentuk ‘pejabat negara” yang prokesejehteraan. Sehingga kepentinganpun hanya bertumpuh pada satu kelompok atau satu golongan.

Demokrasi yang diimpikan dapat mewujudkan hak-hak kolektif kembali surut ke belakang menjadi pemerintahan yang oligarki dan tiranik. Pemerintahan demokrasi tapi hanya “cantik” sekedar nama, yang terjadi adalah pemerintahan yang abadi di-drive oleh  kepentingan partai. Sehingga pemmerintahannya dinamakan pemerintahan partycracy.

Sejatinya partai politik yang berfungsi sebagai alat komunikasi politik dan rekrutmet pejabat publik, justru menciptakan demokrasi yang berkelindan dengan niat melanggengkan kuasa dan penumpukan pundi-pundi ‘modal’ partai politik.

Oleh karena itu guna mengkonkretkan tujuan utama demokrasi. Partai politik sebagai ideologisasi rakyat dari berbagai keanekaragamannya. Partai politik harus jelas positioning ideologinya. Demokrasi yang ideal (bukan demokrasi seolah-olah/ as if) hanya dapat tercipta jika dilakukan reformasi partai politik. Gagasan untuk perbaikan mesin demokrasi ini dapat dilakukan dengan berbagai metode. Agar partai politik tidak melahirkan demokrasi yang semu (pseudodemokrasi).

Cara yang dapat ditempuh adalah transparansi pengelolaan keuangan partai politik, konsistensi partai politik menyediakan calon pejabat publik yang berintegritas, akseptabel melalui perbaikan rekrutmen kader yang siap sedia untuk menjadi wakil rakyat. Termasuk “prinsip keseimbangan” perlu diatur tersendiri dalam ketentuan UU khusus sebagai perwujudan negara hukum, misalnya pembatasan spending kampanye bagi partai politik, dalam mempengaruhi dan menjual image sebagai   calon, usungan, atau kandidat yang layak pilih.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...