Menyoal Persentase Gugatan Pilkada

Pesta pemungutan suara pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak baru saja selesai pekan kemarin. Tahapan selanjutnya yaitu menunggu penetapan resmi hasil pemilihan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Kendatipun masa penetapan hasil itu belum tiba, tetapi berdasarkan rilis quick count beberapa lembaga survei dan rekap formulir C1 yang dilansir di situs KPU, sudah diketahui mana pasangan calon (paslon) menang dan mana yang terpaksa ‘lempar handuk’.
Untuk konteks Pilkada serentak di Sulawesi Selatan adalah Pilkada Kabupaten Gowa sebagai salah satu pilkada yang banyak menjadi sorotan media massa. Pendukung paslon Wattunami hampir tiap hari menghiasi pemberitaan akibat gelombang protes kepada penyelenggara pemilihan.

Berbagai tuduhan kecurangan dilontarkan. Namun teriakan-teriakan tersebut nampaknya sulit didorong ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab mengapa? Tidak lain karena ada syarat persentase selisih suara antara pemenang dan penggugat yang telah ditentukan berdasarkan Undang-Undang Pilkada.

Sumber Gambar: den.ayobai.org

Sumber Gambar: den.ayobai.org

Syarat Gugatan

Dahulu, sebelum berlakunya UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, setiap paslon yang kalah dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pengajuan gugatan, kala itu hanya dibatasi oleh limitasi waktu setelah penetapan hasil pemilihan. Belumlah dipersyaratkan mengenai selisih persentase perolehan suara, sehingganya paslon yang ‘kalah telak’ maupun yang ‘kalah tipis’ semuanya dapat mengajukan gugatan ke MK.

Kondisi berbeda dengan UU Pilkada sekarang. Dalam ketentuan ini, pilkada didesain secara serentak untuk seluruh wilayah Indonesia, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Mutatis mutandis desain pilkada serentak ini berdampak pula pada syarat pengajuan gugatan prasyarat formil ‘persentase gugatan’ ke MK.

Kini UU Pilkada membatasi syarat pengajuan gugatan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 158 UU Pilkada: “bahwa kabupaten/kota dengan jumlah penduduk di bawah atau 250 ribu jiwa maka permohonan (gugatan) dapat dilakukan jika terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak sebesar 2 persen antara pemohon (penggugat) dengan paslon peraih suara terbanyak berdasarkan penetapan hasil penghitungan suara KPUD.
Jika jumlah penduduknya 250 ribu jiwa sampai 500 ribu jiwa maka syaratnya adalah 1,5%. Lalu, pada jumlah penduduk 500 ribu sampai dengan 1 juta jiwa, syaratnya adalah 1 %. Terakhir, jika jumlah penduduknya 1 juta lebih maka syaratnya adalah 0,5%.

Apakah dasar falsafati sehingga ada pembatasan demikian? Yaitu gugatan hanya bisa diajukan manakala gugatannya berkualitas. Selain itu, maksud pembatasan demikian juga mengindari ‘penumpukan perkara’ yang tidak layak diadili oleh MK. Apalagi, memang hakim MK dengan jumlah yang terbatas, lalu akan mengadili 269 perkara dalam jangka kurang lebih 2 bulan. Praktis, satu panel hakim harus menyelesaikan 2 perkara dalam satu hari. Satu hal yang sangat melelahkan dan kemungkinan besar berdampak pada kualitas putusan a quo.

Tetapi perlu diingat bahwa di sisi lain dengan adanya pembatasan pengajuan gugatan ke MK, justru akan menutup ‘lorong keadilan’ bagi paslon yang merasa dicurangi oleh penyelenggara pilkada. Termasuk kecurangan yang dilakukan oleh paslon pilkada oposannya dalam jumlah yang besar, berkualifikasi terstruktur, sistematis dan massif (TSM).

Agar lebih jelas, begini analogi sederhananya: paslon A ‘berselisih’ suara dengan paslon B yang menang sebanyak 3 persen. Paslon A merasa dicurangi oleh KPU sehingga suaranya berkurang sebanyak 6 persen. Paslon A merasa dapat membuktikan kecurangan 6 persen tersebut. Namun berdasarkan UU, nyatanya paslon A tidak diberikan jalan untuk memperjuangkan keadilan akan kecurangan KPU sebanyak 6 persen tersebut. Karena syarat pengajuan gugatan adalah selisih suara pemenang dengan penggugat maksimal 2 persen.

Bagaimana mungkin persentase pembatasan gugatan mengalahkan persentase kebenaran dari paslon A? Di manakah paslon A hendak mencari lorong keadilan untuk memperjuangkan kerugian 6 persen karena kecurangan penyelenggara pilkada tersebut? Bukankah pembatasan demikian menutup jalan keadilan paslon dari pelanggaran hak konstitusional yang tergolong sebagai hak acces to justice?
Tujuan hakiki dari pilkada demokratis, keadilan tidak boleh dibatasi oleh angka-angka persentase. Apatah lagi jika keadilan yang diharapkan adalah pengungkapan kebenaran. Bahwa stigma yang terbangun selama ini, tujuan gugatan ke MK untuk mencari kemenangan. Tidak selamanya demikian! Ada pula pihak yang mengajukan gugatan ke MK tidak untuk mendapatkan kemenangan, tetapi hanya untuk mengungkapkan kebenaran.
Paslon harus diberikan hak untuk menunjukkan kepada publik bahwa ada proses pilkada yang berpihak, banyak kecurangan, dan manipulatif. Meskipun kemudian angka kecurangan itu tidak berpengaruh kepada kemenangan penggugat di putusan MK.

Kumulasi Gugatan

Memang konstitusionalitas Pasal 158 UU Pilkada pernah dipersoalkan oleh sekelompok mahasiswa dengan mengajukan judicial review ke MK. Namun judicial tersebut tidak dapat diterima dengan alasan pemohon tidak memiliki legal standing. Dan lagi-lagi ketentuan ini kembali di dipersoalkan oleh sekelompok advokat, tetapi hingga kini proses persidangan masih sedang berlangsung di MK.

Sebenarnya, ada jalan lain yang dapat dicoba yakni dengan mengajukan gugatan pilkada ke MK secara kumulatif dengan pengujian Pasal 158 a quo. Tentunya bagi paham positivistic, teknis pengujian ini tidak memungkinkan, tetapi jika dikaitkan dengan asas the speedy of administration, kondisinya bisa saja dibenarkan.

Kumulasi gugatan tersebut, penulis kemudian terilhami dengan adanya mekanisme constitusioal question. Mekanisme ini adalah pengujian konstitusionalitas UU. Menempatkan seorang hakim sedang mengadili suatu perkara, ragu akan konstitusional pasal yang dijadikan dasar untuk menangani perkara tersebut. Hakim perkara tersebut lalu mempertanyakan konstitusionalitas pasal tersebut kepada MK. Maka dalam konteks itu, apalah salahnya hakim MK yang menangani perkara pilkada harus terlebih dahulu menguji konstitusionalitas Pasal 158 UU a quo.

MK selalu mengkampanyekan constitusional question, sehingga untuk menguji konsistensi MK akan hal tersebut inilah saatnya dituntut keberanian hakim MK menerapkan constitusional question pula melalui kumulasi gugatan pilkada plus pengujian UU Pilkada. Semoga saja MK dapat memberikan putusan terbaik, perihal pembatasan syarat pengajuan gugatan UU Pilkada ini.*

Artikel ini Telah Muat Sebelumnya di Harian Tribun, 17 Desember 2015

Muhammad Nursal Ns

Praktisi Hukum Makassar

You may also like...