Selamat Datang Pilkada Serentak 2015
Etape demokrasi elektoral melalui gelombang pertama Pilkada serentak kini akan tiba di peraduannya. Tak lama lagi masa itu akan tiba —- 9 Desember 2015.
Kurang lebih 200 daerah di seanteror nusantara lagi-lagi akan mewujudkan hak sipil politiknya di bilik-bilik suara yang telah disediakan oleh penyelenggara pemilihan (KPUD/KPS/PPS). Dan tak terkecuali Provinsi Gorontalo dari beberapa daerahnya (Kabupaten), juga akan diuji kesiapan bagi warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam menentukan pemimpin daerahnya masing-masing.
PRINSIP KEBEBASAN
Satu hal yang perlu diketahui oleh setiap yang memiliki hak pilih. Terhadap hak-haknya yang diwadahi oleh “negara” merupakan hak yang mengandung “kebebasan”. Kebebasan yang dimaksud di sini, yakni; dalam diri pribadi, oleh “negara” tidak dapat melakukan “pemaksaan” bagi setiap pemilih untuk terfokus pada satu pilihan yang menjadi “mutlak” dinobatkan sebagai wakil dirinya.
Hak sipil dalam makna “kebebasan” tersebut merupakan onderdil materil “regim Pemilu” yang terderivarasi dalam mawujud prinsip-prinsip yang berlaku untuk pemilihan jabatan politik (Pemerintahan Daerah).
Apakah sesungguhnya makna dibalik prinsip kebebasan itu? MR SM Amin (1976: 6) dalam bukunya “Selayang Pandang Demokrasi” menjawabnya secara lugas “bahwa melakukan intimidasi, paksaan, bujukan dalam suatu pemungutan suara si pemilih untuk calon yang diingini, adalah bertentangan dengan unsur bebas. Pemberian suara yang demikian adalah tidak sah.” Sehingganya, melalui Pilkada serentak di akhir tahun ini untuk kepada Pemilih, silahkan menggunakan hak pilih itu dalam termin “kebebasan” tanpa intimidasi, tanpa paksaan, dan tanpa bujukan.
Secara keseluruhan bagi pemilih di negeri serambi ini, dalam konteks ada yang merasa dipaksa, diintimidasi, kemungkinan kasusnya terjadi dalam skala kecil, pada persitiwa tertentu saja. Yaitu, perihal Pasangan Calon/Tim Kampanye yang melakukan mobilisasi Aparatur Sipil Negara, lalu memaksa mereka, mengintimidasi sehingga menjatuhkan pilihan bukan lagi dalam nilai-nilai kebebasan yang dianutnya. Hal demikian perlu menjadi perhatian bagi Paslon/Tim kampanye, kalau perbuatannya merupakan tindak pidana pemilihan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00 (vide: Pasal 70 ayat 1 juncto Pasal 189 UU Pilkada).
Bahkan demi menjaga marwah “demokrasi” dalam Pilkada. UU kemudian tidak hanya melakukan kriminalisasi terhadap Paslon/Tim Kampanye yang berani mempengaruhi ASN agar terlibat dalam praktik haram yang meruskan prinsip kebebasan memilih. Pun ASN yang secara sukarela, tegas-tegas dan nyata-nyata “menguntungkan” Paslon tertentu, kepadanya juga diancam dalam pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00 (Vide: Pasal 71 ayat 1 juncto Pasal 188 UU Pilkada).
MONEY POLITIC
Selanjutnya, prinsip kebebasan yang paling sering ternodai dalam setiap perhelatan pemilihan, apalagi kalau bukan tradisi “money politic”. Sebuah tradisi yang sudah menahun, dan berulang-ulang kejadiannya. Bahkan “tradisi haram” ini, malah yang sering dinantikan oleh pemilih. Ada yang dilakukan pada masa kampanye, pada masa tenang. Dan puncaknya “muntah” semua di pagi hari, detik-detik pemilih menuju bilik suara “serangan fajar” hampir saja selalu menjajaki pemilih.
Dalam menyikapi kejadian ini, sebagian orang, termasuk sebagaian pengamat politik mengeluhkan perwujudan “demokrasi,” nyatanya menemui jalan buntu ketika hendak dijalankan dalam makna substansif. Konon katanya, mustahil menghilangkan tradisi money politic manakala kesejahteraan warga pemiih masih rendah. Dan saya kira kondisi yang dialami bagi sejumlah pemilih di tempat terselenggaranya pemilihan Kepala daerah, untuk konteks wilayah Gorontalo, juga kesejahteraan warganya masih banyak dalam standar menengah ke bawah.
Itulah sebabnya, yang harus diketahui oleh mereka, melalui tulisan singkat ini. Bahwa pada hakikatnya menghilangkan praktik “money politic” juga sangat ditentukan oleh pemilih itu sendiri. Saatnya, pemilih sadar diri secara psikologis; “apalah artinya dengan imbalan ratusan ribu rupiah dibandingkan pada waktunya mendapatkan pemimpin daerah yang abai terhadap warganya dari kesejahteraan”
Selemah-lemhanya “iman” demokrasi, sungguh Pemilihan Kepala Daerah tidak menjadi sah kalau pemilih masih terpengaruh dengan pembujukan melalui imbalan dan/atau janji lainnya. Pemilih harus menanamkan kesadaran kolektif, bahwa tak seorangpun bisa mengganggu “kebebasan” hak pilihnya.
Datangnya UU Pilkada yang mempertegas “money politik” sebagai anak haram demokrasi. Money politic merupakan tindak pidana pemilihan yang bisa mendiskualifikasi Paslon ketika terbukti tindak perbuatannya. Ketentuan tersebut, janganlah dipahami sebagai hukum yang tidak pro “kebebasan” bagi pemilih. Dengan beranggapan menerima uang dari Paslon, lalu memilihnya adalah juga kebebasan. Sikap demikian salah! Sebab kebebasan yang dimaksud dalam prinsip demokrasi, adalah kebebasan tanpa pembujukan. Kalau sudah menerima uang, kendatipun tidak menjatuhkan pilihan kepadanya, mutatis-mutandis makna “kebebasan” itu juga sudah terenggut dari nilai asalinya.
Kita punya UU yang begitu sempurna. Sempurna karena bisa menjerat pula pemilih yang menerima imbalan dari Paslon/tim kampanye (Vide: Pasal 149 ayat 2 KUHP). Tetapi lagi-lagi ketentuan demikian tak ada gunanya. Toh tidak pernah terdapat kejadian, pemilih yang ketahuan menerima dari Paslon/tim kampanye tertentu. Lalu, diproses secara hukum. Rasa-rasanya memang tidak adil kemudian, kalau hanya gara-gara suap politik bagi pemilih mereka harus meringkuk dipenjara, sementara kondisi ekonomi mereka memaksanya harus menerima “suap politik” dalam nilai yang sekecil itu.
Segala persoalan yang bisa merenggut demokrasi dalam tataran substantifnya ini. Tentunya menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi tim Pengawas Pemilihan yang sudah diamanatkan kepadanya. Maukah Ia bekerja sama dengan Kepolisan sebagai penyidik tindak pidana pemilihan dalam melakukan pengawasan secara simultan dan tepat waktu demi mencegah rutinitas “serangan fajar” yang selalu saja mewarnai hari (H) Pilkada?
Kalau memang terdapat utusan Paslon yang nyata-nyata melakukan “serangan fajar” tidak perlulah tim pengawas pemilihan merasa takut untuk melaporkan hal ini kepada penyidik tindak pidana pemilihan. Segerakan pada pemerosesan hukum hingga pembuktiannya di Pengadilan. Dan KPUD sudah wajar berdasarkan kewenangannya mendiskualifikasi Paslon pelaku tindak pidana suap politik itu dari “gelanggang” Pemilihan Kepala Daerah.
Mari menjemput Pilkada serentak di akhir tahun ini. Tunaikanlah pemilihan dalam sendi-sendi demokrasi; say no “money politic”. Selamat datang Pilkada serentak 2015. Pilkada yang menjadi “batu uji” bagi penyelenggara, “batu uji” bagi pemilih atas kesanggupannya untuk menghelat Pilkada serentak nasional di tahun 2027 nanti. Kalau anda sebagai pemilih, maka di tangan anda pula menjadi penentu berjalannya Pilkada di atas sendi-sendi demokratisnya.*