Melantik Bupati Tersangka, Why Not?
Puncak demokrasi elektoral melalui gelombang pertama Pilkada serentak 2015, Provinsi Sulawesi Selatan juga turut andil dalam menapaki momentum tersebut. Tepatnya, 17 Februari 2016 kemarin yang bertempat di Kantor Gubernur Sul-Sel telah dilantik sepuluh Bupati terpilih dari masing-masing daerah berdasarkan penetapan hasil pemilihan KPUD.
Lalu peristiwa pelantikan itu, kemudian terbersit catatan “buruk” sebab terdapat Bupati terpilih yang seolah-olah dipaksakan untuk dilantik sebagai pengembang amanah dari daerahnya. Bagaimana tidak, dari sepuluh Bupati yang sudah dilantik kemarin, jauh dari awal sudah tersebut dua nama Bupati terpilih yang dinyatakan berstatus tersangka. Beliau adalah Bupati terpilih Kabupaten Maros (Hatta Rahman) dan Bupati terpilih Kabupaten Barru (Idris Syukur).

Sumber Gambar: makassar.tribunnews.com
Berstatus Tersangka
Memori kolektif publik yang saat ini berada dalam arena eforia pemberantasan korupsi. Harus kita mahfumi bersama kalau hampir 99,99 persen, selalu melakukan penolakan terhadap Bupati terpilih berstatus tersangka agar jangan dilantik. Ringkasnya, ia tidak perlu menjabat sebagai Pemerintah Daerah karena “kredibiltasnya” sudah “terlabelisasi” berperangai buruk juga tercela. Bagaimana mungkin akan menjalankan kebijakan berdiri di atas prinsip good and clean goverment kalau mengurus dirinya saja belum usai.
Lebih-lebih kemudian persoalannya akan semakin menjadi pelik. Andaikata Bupati berstatus tersangka tersebut harus berurusan dengan tindakan projustitia terhadap dirinya, untuk menjalani masa penahanan. Tentu tidak mungkin kepadanya bisa diamanahkan kewenangan kalau harus memerintah dibalik jeruji besi.
Seakan-akan publik yang tidak mau tahu dengan sebuah principat “presumption of innocence”. Untuk mengukur dan memastikan salahnya seseorang haruslah berdasarkan putusan pengadilan inkra, lalu dengan serta merta kepadanya baru pada saat itu pula pantas melekat dalam dirinya sebagai terpidana.
Akan tetapi lagi-lagi publik kadung tidak pernah mau tahu postulat yang dinamakan due process of law. Selagi orang sudah ditetapkan sebagai tersangka, apalagi dalam sangkaan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana yang menimpa Hatta Rahman dan Idris Syukur saat ini. Publik maunya, jangan pernah melantik Bupati terpilih kalau sudah berstatus tersangka, sebab ini sebuah alibi yang akan mengangkangi nilai tertinggi dari hukum itu sendiri, dalam puncak abstraksinya yang bernama etika dan moral.
Labelisasi “kejahatan” terlalu dini yang selalu saja disematkan pada setiap orang yang berstatus tersangka, pun pada akhirnya ekspektasi publik kemudian menjadi beku lalu mencair, dan kembali lagi membeku. Pada yang semuanya itu, bisa diterima sebagai konsensus bersama dengan mengharapkan Bupati terpilih berstatus tersangka harus rela mengundurkan diri atau dengan berlapang dada untuk melepaskan jabatannya yang di depan mata.
Andaikata kinerja penegakan hukum kita bekerja di on the track-nya. Tak ada salahnya memiliki pengharapan demikian. Tetapi, siapakah yang bisa menjamin? Tidakkah nuansa penegakan hukum kita yang rata-rata disasar oleh institusi Kepolisian di sana-sini terjadi carut marut? Dengan seenaknya, bahkan dengan sewenang-wenangnya, terlalu “murah” dan gampang bagi institusi korps berbaju coklat itu mendaulat seseorang sebagai tersangka. Berbagai liputan media kiranya telah menyimpan sejumlah catatan kelam demikian. Ada-ada saja kemudian seorang yang sudah dinyatakan sebagai Paslon Kepala Daerah atau lebih dari pada itu sudah dinyatakan sebagai Bupati terpilih. Lalu tiba-tiba “di siang bolong” kepadanya ditetapkan dalam status tersangka, dengan motif terselubung di dalamnya; entah kebencian dari lawan politiknya melalui politisasi kasus, entah pula karena ujung-unjung penetapan status tersangka itu adalah pesanan kasus dari lawan politiknya.
Sungguh kemudian hukum bisa menjadi diam, terpaku, tak mampu ia memberi solusi. Dan siapa yang bisa memastikan kalau nyatanya esok-hari Bupati yang berstatus tersangka itu, tiadalah ia terbukti dugaan tindak pidananya melalui putusan pengadilan inkra. Bersamaan dengan itu pula, andaikata Bupati berstatus tersangka sudah diberhentikan secara permanen dengan cara tidak melantiknya. Apakah melalui “hukum” dengan seperangkat perundang-undangannya sudah menyediakan solusi jitu, perihal pemulihan akan hak-haknya untuk kembali menduduki jabatannya, sebab ia tiada terbukti sebagai orang yang tercela.
Saya kira dengan menghalangi-halangi proses pelantikan bagi Bupati berstatus tersangka. Justru dikemudian hari, hukum yang semestinya berdiri di tahta keadilannya, bisa-bisa bergerak dalam ruang hampa yang tak akan berdaya dalam memulihkan orang yang tidak memiliki sikap tercela untuk menduduki “pranata hukum” yang bernama Pemerintahan Daerah.
Why Not?
Sejatinya Undang-Undang Pilkada dus Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang dalam satupun ayatnya, tidak melarang untuk melantik Kepala Daerah terpilih berstatus tersangka. Undang-Undang a quo sudah menghimpun kekuatan “etik dan moral” secara proporsional dalam meletakkan hak-hak tersebut. Baik hak-hak individual maupun hak kolektif dihadapan hak sipil politik, tidak boleh ada yang saling mengeliminasi.
Kekhawatiran kita bersama bahwa melantik Kepala Daerah yang berstatus tersangka akan berimplikasi pada urusan Pemerintahan Daerah yang tak karuan. Sebab sang pemimpinnya sedang berada di balik jeruji besi. Tidak perlu disikapi dan ditakuti berlebihan. Pun dengan adanya Wakil Kepala Daerah yang sudah resmi menjalankan tugas-tugas pemerintahan karena telah dilantik bersama dengan Kepala Daerah, tidak akan berdampak signifikan terhadap tata kelola pemerintahan daerah itu.
Alih-alih kita selalu menolak secara keras untuk melarang pelantikan Kepala Daerah berstatus tersangka. Lalu tidak pernah terpikirkan segala konsekuensi hukumnya, bahwa dengan gampangnya seorang begitu saja ditetapkan tersangka. Entah apa yang terjadi kalau suatu waktu telah diselenggarakan Pemilu Presiden; sudah ada nama Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang akan dilantik di hadapan MPR. Dan tiba-tiba Presidennya dinyatakan dalam status tersangka, apakah Presidennya juga jangan dilantik karena ini demi semangat pemberantasan korupsi? Saya kira, tidak mungkin demikian nalar hukum konstitusinya. Pengisian jabatan pemerintahan harus disegerakan demi mengindari pemerintahan yang tak bertuan.
Urusan pejabat terpilih berstatus tersangka dengan kewajiban melantiknya merupakan urusan publik, dengan kepentingan umum yang harus diutamakan. Silahkan nonaktifkan untuk sementara sang Bupati berstatus tersangka itu asal saja ia sudah dilantik, sebab bagaimana mungkin menonaktikannya kalau tidak pernah ia dilantik. Jadi, pada hakikatnya melantik Bupati berstatus tersangka, why not?
Telah Muat di Harian Tribun Timur, 19 Februari 2016