Toleransi Terhadap Koruptor
Tahun 2004 Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk. Sebagaimana amanah dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Lembaga khusus ini dilahirkan karena pemerintah menganggap penegakan hukum pemberantasan korupsi yang dilakukan secara konvensional mengalami berbagai hambatan. Atau belum optimalnya kinerja lembaga penegak hukum konvensional seperti kepolisian dan kejaksaan.
Fungsi KPK sebagai trigger mechanism yang berarti mendorong atau stimulus agar lembaga hukum konvensional bergerak cepat dalam pemberantasan korupsi, tenyata belum sesuai dengan apa yang kita harapkan. Lembaga antirasuah seolah-olah berjalan sendiri. Padahal ketiganya berwenang dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini juga semakin diperparah dengan melemahnya dukungan pemerintahan, terlihat dari Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan Hari Antikorupsi dan Hak Asasi Manusia (10/12/2012). Bahwa negara wajib menyelamatkan pejabat negara yang tidak paham dan tidak punya niat untuk korupsi, tapi kemudian melakukan kesalahan bernama korupsi.
Alasan Kemanfaatan
Berbeda KPK yang gencar menindak pelaku korupsi dengan prinsip zero tolerance to corruption, korps Adhyaksa justru memperlihat sisi toleransi terhadap pelaku korupsi. Berdalih demi alasan kemanfaatan, meminamisir penggunaan anggaran dalam pengungkapan kasus korupsi kecil, kejaksaan agung menerbitkan surat edaran bernomor B-113/F/Fd.1/05/2010 kepada kejaksaan tinggi seluruh Indonesia. Agar dalam kasus dugaan korupsi, masyarakat dengan kesadarannya telah mengembalikan kerugian negara yang nilainya kecil perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti.
Tindakan kejaksaan agung, tentu saja menimbulkan kecurigaan. Ditengah tingginya semangat masyarakat mendukung penegak hukum menindak tegas para penggarong uang negara. Apalagi sudah jelas berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 4 menegaskan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.
Artinya besar atau kecil jumlah kerugian uang negara tidak bisa dijadikan dasar penghentian perkara. Sedangkan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara akan dijadikan salah satu faktor yang meringankan bagi pelaku.
Kemanfaatan untuk siapa?
Terlepas bertentangan dengan UU Pemberantasan Korupsi. Menarik pula untuk dibedah pernyataan Jaksa Agung Basrie Arief di Istana Negara terkait surat edaran Jaksa Agung tentang Penangan Kasus Korupsi (29/1). Ia mengakui pihaknya tidak bernafsu memenjarakan pelaku korupsi yang nilai kerugian negara tidak signifikan. Selain proses hukum begitu panjang dan melelahkan, biaya dikeluarkan negara untuk kasusnya begitu besar. Tujuan penegakan hukum termasuk pemberantasan korupsi juga menyangkut kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Kemanfaat ini, menyangkut manfaat yang diperoleh masyarakat dan negara. Namun, bukan berarti pihaknya tidak berkomitmen dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Argumentasi Basrie Arief memang sangat kontadiktif. Satu sisi menekankan kepada tujuan kemanfaatan, sehingga pelaku korupsi cukup mengembalikan uang hasil korupsinya dan semuanya beres. Uang negara kembali tanpa negara melakukan pemborosan anggaran dalam mengungkap praktik korupsi. Di sisi lain, kejaksaan tetap komitmen melakukan pemberantasan korupsi.
Bila seperti itu alur pemikirannya, maka pihak kejaksaan telah menggunakan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi. Menurut Howard Zehr, restorative justice dilakukan untuk memulihkan sesuatu menjadi baik seperti semula dengan melibatkan para pihak. Pertanyaan kemudian, apakah konsep ini bisa diterapkan dalam kasus korupsi? Padahal kita ketahui bersama laku korupsi bukanlah kasus kejahatan biasa seperti pencurian Pasal 362 KUHP, dimana cukup mengganti kerugian seharga barang yang dicuri. Sehingga kepentingan pelaku dan korban bisa terakomodir, berujung kepada perdamaian kedua belah pihak.
Kejaksaan Agung juga harusnya paham, bahwa konsep restorative justice selain mensyaratkan kepentingan pelaku dan korban, juga perlu melihat dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat.
Artinya, dalam konteks penanganan kasus korupsi meskipun tujuan kemanfaat terpenuhi dengan dikembalikannya uang negara, tetapi tidak boleh menafikkan dampak negatif ke depan dari sisi pemberantasan korupsinya. Pertama, tercipta bentuk kompromi terhadap korupsi. Pejabat negara tidak akan takut lagi merampok uang negara karena bila ketahuan cukup dengan mengembalikan kerugian uang negara. Disaat yang sama merusak kinerja lembaga penegak hukum lain yang sementara genjar memberantas laku korupsi dan meruntuhkan semangat memerangi korupsi di kalangan masyarakat.
Kedua, pelaku korupsi akan berlomba-lomba melakukan tindak pidana pencucian uang (money laundry) sebelum mengembalikan uang korupsinya kepada pihak kejaksaan. Ketiga, menjadi celah bagi pihak kejaksaan untuk berkongkalikong dengan pelaku korupsi. Disebabkan tidak jelasnya besaran kerugian negara yang tergolong korupsi kecil. Walhasil transaksi perkara kasus korupsi akan semakin marak terjadi. Tidak menutup kemungkinan kasus korupsi kakap pun akan disulap menjadi kasus korupsi teri.
Oleh karena itu, seyogianya tujuan hukum kemanfaatan dengan menerapkan konsep keadilan restoratif (restorative justice) belum tepat diterapkan dalam kasus korupsi. Walaupun pada dasarnya UU Pemberantasan Korupsi lebih menekankan pada pengembalian uang negara. Tetapi pemidanaan harus tetap dijatuhkan, karena tujuan pemidanaan bukan hanya sebagai efek jera bagi pelaku. Disisi lain pidana juga mencegah orang lain untuk melakukan perbuatan tersebut. Ingat, dengan ancaman pidana saja laku korupsi masih marak terjadi, apalagi kalau ditolerir.