Tumpang Tindih Pencabutan Hak Politik
Paling tidak terdapat tiga kasus besar yang pernah dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik. Tanpa mengingkari kalau masih banyak kasus-kasus lainnya yang juga pasti dikenakan hukuman tambahan demikian. Pertama, kasus korupsi dalam proyek simulator SIM yang melibatkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Irjen Pol. Djoko Susilo. Kedua, kasus pengadaan daging sapi impor yang melibatkan eks petinggi PKS Luthfi Hasan Ishaq. Ketiga, yang baru-baru ini diputuskan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta atas pencabutan hak politik terdakwa korupsi; Rachmat Yasin dalam kasus suap tukar guling hutan lindung
Dari tiga kasus besar tersebut, pasca putusan pengadilan atas setiap terpidananya. Dengan adanya hukuman tambahan pencabutan hak politik yang dijatuhkan kepada mereka. Ekspektasi publik, dapat dikatakan sungguh luar biasa.
Tetapi hal yang patut dicatat, in casu a quo terhadap pencabutan hak politik, jika ditelusuri semua ketentuannya dalam perundang-undangan banyak mengalami tumpang tindih aturan atau konflik antar norma.
Tumpang Tindih Aturan
Untuk sarjana hukum dan para penggiat hukum Hak Asasi Manusia (HAM) yang berpandangan; pencabutan hak politik adalah pelanggaran HAM. Hal itu masih dapat terbantahkan, sebab setiap hukuman pada dasarnya memang adalah pelanggaran HAM, tetapi pelanggarannya diperbolehkan, sepanjang berdasarkan Undang-Undang (UU).
Penyelidik dan Penyidik yang melakukan penangkapan, penahanan, dan perampasan harta benda yang berhubungan dengan perbuatan pidana adalah melanggar HAM, namun karena alasan tertentu yang dibenarkan berdasarkan KUHAP, maka hal itu bukan lagi terklasifikasi dalam pengurangan HAM. Hal demikian juga berlaku dalam hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik, yang dibenarkan berdasarkan KUHP (Pasal 10 huruf b angka 1, Pasal 35, dan Pasal 38). Termasuk dalam konteks perbuatan tindak pidana korupsi juga dibenarkan adanya hukuman pencabutan hak politik. Sebagaimana dalam frasa Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: “Selain pidana tambahan yang dimaksud dalam KUHP…”
Persoalan mendasar dan patut untuk menjadi catatan dalam implementasi hukuman pencabutan hak politik, yaitu terjadinya tumpang tindih aturan, baik dalam beberapa Undang-Undang, maupun adanya putusan MK yang mengatur masalah tersebut. (baca: Berlebihan, Pencabutan Hak Politik koruptor)
Pertama, terutama dalam kasus korupsi, pencabutan hak politik atas putusan pengadilan, kendatipun masih jelas acuannya dalam KUHP, merupakan putusan yang berlebihan—tidak ada artinya—-bahkan tidak ada gunanya. Sebab hanya menjadi “pemanis sesaat” bagi publik yang begitu besar ekspektasinya terhadap hakim yang berani menggunakan hukuman tambahan itu. Kenapa berlebihan? Oleh karena tanpa adanya pencabutan hak politik, sebagai pencabutan hak untuk dipilih melalui beberapa UU yang relevan dengan kesempatan untuk menduduki jabatan publik (seperti anggota DPR-DPD-DPRD, Hakim Agung atau pejabat negara lainnya) sudah dipersyaratkan “tidak pernah dijatuhi hukuman pidana dengan tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih.” Dan ingat! perbuatan tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang ancaman hukumannya di atas lima tahun. Artinya, tanpa dimasukkan dalam vonis pengadilan pun; pencabutan hak politik itu langsung berlaku ke padanya.
Kedua, limitasi mulai berlakunya, atau dengan kata lain mulai dihitungnya atas terpidana yang menjalani hukuman tambahan pencabutan hak politik (hak memegang jabatan, hak memiih dan dipilih: Pasal 35 KUHP) juga masih tumpang tindih dengan putusan MK (Mahkamah Konstitusi). Pasal 38 KUHP menentukan “pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan pengadilan mulai dijalankan” Sementara melalui putusan MK Nomor 4/PUUVII/ 2009 (24 Maret 2009) telah menetapkan bahwa hukuman pencabutan hak politik itu dianggap konstitusional dengan batasan pencabutan hak hanya berlaku sampai lima tahun sejak terpidana selesai menjalankan hukumannya. KUHP menggariskan pada hari putusan pengadilan mulai djalankan pencabutan hak politik atas terpidananya. Itu artinya bagi yang dihukum penjara misalnya akan terhitung masa pencabutan hak politik tersebut pada saat mulainya menjalani masa pemidanaan (penjara/kurungan). Sedangkan Putusan MK sudah menetapkan pula batasannya; yaitu hitungannya dimulai sejak terpidana selesai menjalani masa hukuman pokoknya (terutama pidana penjara dan kurungan). Memang sebaik dan idealnya putusan MK harus diikuti dan menjadi acuan bagi hakim pengadilan (MA hingga jajarannya: PN/Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi) sebab Putusan MK berlaku final and binding. Tetapi masih ada juga hakim yang sering mengabaikan putusan MK, dengan berlindung pada prinsipat; independensi masing-masing peradilan.
Ketiga, pencabutan hak politik berdasarkan putusan MK Nomor 4/PUUVII/ 2009 juga menetapkan bahwa pencabutan hak itu hanya berlaku sampai lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, dan kemudian dapat menduduki jabatan yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan, selain jabatan yang diraih karena pengangkatan atau penunjukan. Persoalannya kemudian dalam beberapa ketentuan UU {seperti UU Pileg (DPR, DPD, dan DPRD); dan UU Pilkada/Perppu Pilkada} masih mempersyaratkan bagi calon pejabat tersebut yang akan dipilih oleh rakyat “tidak pernah dijatuhi hukuman pidana karena tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih”. Bagaimana mungkin seorang mantan Narapidana misalnya sudah menjalani masa pencabutan hak politiknya selama lima tahun, lalu hendak menjadi calon anggota DPR (jabatan yang dipilih oleh rakyat) adalah secara konstitusional (berdasarkan Putusan MK) sudah dibolehkan, tetapi oleh UU masih membatasinya.
Keempat, oleh putusan MK yang sudah membatasi masa pencabutan hak politik hanya berlaku lima tahun. Tetapi berdasarkan ketentuan KUHP; khususnya dalam Pasal 38, untuk hukuman seumur hidup masa pencabutan hak politiknya berlaku seumur hidup pula. Tumpang tindinya di sini, terletak pada putusan MK sudah menentukan masa pencabutan hak politik hanya lima tahun, sementara KUHP; pencabutan hak politik justru berlaku seumur hidup. Andaikata hukuman seumur hidup, ketika diberlakukan pencabutan hak politik dengan mengikuti limitasi berdasarkan putusan MK tersebut, maka pencabutan hak politik tidak dapat berlaku lagi, sebab fase menghitungnya, dimulai dari selesainya masa hukuman pokok (yaitu hukuman seumur hidup). Pertanyaan singkatnya adalah bagaimana caranya memulai menjalani pencabutan hak politik, sementara masa menjalani hukuman pokoknya seumur hidup tidak jelas kapan selesainya.
Sinkronisasi UU
Berdasarkan segala tumpang tindih yang terjadi dalam setiap ketentuan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik, perlu sinkronisasi norma, untuk mengakhiri konflik antar UU di dalamnya. Pertama, KUHP dengan revisinya kelak harus memberlakukan limitasi penghitungan pencabutan atas hak politik bagi siterpidana sesuai dengan putusan MK tersebut.
Kedua, UU terkait pemilihan jabatan yang dipilih melalui rakyat (seperti DPR, DPD, DPRD dan Kepala Daerah minus Wakil Kepala Daerah yang hanya diangkat/ditunjuk berdasarkan Perpu Pilkada) juga harus sinkron dengan putusan MK; tetap dibolehkan terpidana yang dikenakan sanksi pidana lima tahun atau lebih, dapat mencalonkan dalam jabatan publik itu setelah menjalani masa pencabutan hak politiknya berdasarkan limitasi yang ditetapkan melalui putusan MK. Itupun jika ada yang mempermasalahkan tidak pantasnya terpidana korupsi untuk menduduki jabatan publik yang dipilih oleh rakyat, berarti harus mengajukan judicial review ke MK, agar putusan MK tersebut “digantikan” dengan putusan MK yang baru.
Ketiga, dalam perspektif pribadi penulis; sebaiknya pencabutan hak politik untuk ikut memilih ditiadakan atau dihapus saja dalam ketentuan UU, sebab hak untuk memilih meskipun adalah seorang terpidana atau mantan Narapidana, implikasi hukumnya ketika menjalankan hak politiknya tersebut, tidak terlalu urgen dampaknya terhadap kondisi stabilitas kenegaraan.
Dalam konteks inilah suara-suara dari aktivis HAM juga pastinya akan terakomodasi. Dan di sini pula awal untuk menutup celah, filosofi hukum pidana; sebagai hukum yang paling jelek. Tetapi jika dilaksanakan dengan hati-hati, dengan mengakomodasi semua hak dasar maupun hak asasi. Maka hukum akan kembali ke asalinya; yaitu hukum untuk manusia, bukan manusia untuk dihukum.*