Sanksi Pidana Bagi Saksi Yang Memberikan Keterangan Palsu Oleh Kaisaruddin Kamaruddin

Kaisaruddin Kamaruddin
SAKSI adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (Pasal 1 butir 26 KUHAP).
KETERANGAN SAKSI adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP).
Berdasarkan Pasal 160 (3) KUHAP, bahwa Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.
Jika saksi meberikan keterangan yang bertentangan dengan keterangan terdahulu dalam pemeriksaan pendahuluan (BAP Penyidikan), bahkan menyatakan mencabut keterangan terdahulu, maka Hakim tidak serta merta menyalahkan saksi, akan tetapi menanyakan kepada Saksi “alasan apa” sehingga saksi mencabut keterangan yang terdapat dalam BAP. Apabila Saksi meberikan alasan yang masuk akal, maka pencabutan isi BAP tersebut dapat diterima.
Sebagai contoh diberikan oleh DJOKO PRAKOSO (1988:20), bahwa Seorang saksi yang dahulu memberi keterangan yang panjang lebar, dengan detail tentang tanggal, warna mobil, siapa-siapa yang ikut, apa yang dibicarakan oleh orang-orang yang ikut dan sebagainya mengenai suatu perkara, dan di Pengadilan menarik kembali keterangan-keterangan tersebut, maka kesaksian tersebut tidaklah dapat dipercaya.
Dengan kata lain bahwa apabila saksi pada mulanya memberikan keterangan yang begitu rinci atau detail dan runtut tentang suatu peristiwa, kemudian pada saat di persidangan dia mencabutnya kembali, maka hal tersebut patut dipertanyakan alasannya, karena kondisi seperti itu sudah patut disangka telah melakukan keterangan palsu dibawah sumpah yang sering disebut SUMPAH PALSU.
Jika alasan pencabutan BAP karena terdapat “PAKSAAN atau TEKANAN” dari Penyidik, maka hakim dapat mengkonfrontir antara Saksi dengan Pemeriksa.
Jika terbukti bahwa dalam pemeriksaan pendahuluan “terdapat” cara-cara yang bertentangan dengan hukum seperti adanya paksaan, intimidasi dan sebagainya, maka pencabutan isi BAP tersebut dapat diterima, dan yang bersangkutan tidak dapat dikategorikan memberikan keterangan palsu. Sebaliknya jika terbukti bahwa pada saat pemeriksaan pendahuluan “tidak terdapat” paksaan, intimidasi atau cara-cara yang bertentangan dengan hukum, maka dapat disangka bahwa keterangan saksi tersebut bohong alias palsu.
Dalam Pasal 174 KUHAP ditegaskan bahwa apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu. Kemudian, apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa “DAPAT” memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan SUMPAH PALSU.
Kesengajaan memberikan keterangan palsu di bawah sumpah, diatur dalam Pasal 242 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
- Barangsiapa dalam hal peraturan perundang-undangan memerintahkan supaya memberi keterangan atas sumpah atau mengadakan akibat hukum pada keterangan tersebut, dengan sengaja memberi keterangan palsu atas sumpah, dengan lisan atau dengan surat, oleh dia sendiri atau oleh wakilnya yang ditunjuk untuk itu pada khususnya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun;
- Kalau keterangan palsu atau sumpah itu diberikan dalam suatu perkara pidana dengan merugikan si terdakwa atau si tersangka, maka yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun;
- Disamakan dengan sumpah yakni janji atau pemastian yang diminta berdasarkan peraturan perundang-undangan atau sebagai pengganti sumpah tersebut;
- Pencabutan hak-hak yang disebutkan dalam Pasal 35 No.1 – 4 dapat dijatuhkan.
Menurut WIRDJONO PRODJODIKORO (1986:173) bahwa untuk sumpah palsu, cukup bahwa sebagian dari keterangannya tidak benar, jadi tidak perlu semua ketarangannya itu bohong. Lebih lanjut dikatakan bahwa si pemberi keterangan “harus tahu” bahwa keterangannya tidak benar.
Senada dengan itu menurut R. SOESILO (1995:183) mengatakan bahwa supaya dapat dihukum pembuat harus mengetahui bahwa ia memberikan suatu keterangan dengan sadar bertentangan dengan kenyataan dan bahwa ia memberikan keterangan palsu ini di atas sumpah. Jika pembuat menyangka bahwa keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, akan tetapi akhirnya keterangan ini tidak benar, dengan lain perkataan, jika ternyata ia tidak mengenal sesungguhnya mana yang benar, maka ia tidak dapat dihukum.
SAKSI YANG MEMEBERIKAN KETERANGAN PALSU DI DEPAN SIDANG PENGADILAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Terdapat aturan khusus (lex specialis) untuk saksi yang memberikan keterangan palsu di depan persidangan dalam tindak pidana korupsi, yaitu diatur dalam Pasal 22 Jo Pasal 35 UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20 tahun 2001, sebagai berikut:
“Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 atau Pasal 36 yang DENGAN SENGAJA TIDAK MEMBERI KETERANGAN atau MEMBERI KETERANGAN YANG TIDAK BENAR, dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000.00 (enam ratus juta rupiah).”
Pasal 35 dan 36 mengatur tentang Kewajiban menjadi saksi dalam tindak pidana korupsi. Sebagai contoh kasus, Putusan Putusan PN PEKANBARU Nomor 7/Pid.Sus/Tipikor/2014/PN.Pbr Tahun 2014, yang menghukum 7 (tujuh) tahun penjara kepada terdakwa yang telah memberikan keterangan palsu dalam tindak pidana korupsi.
SAKSI YANG MEMEBERIKAN KETERANGAN PALSU DI DEPAN SIDANG PENGADILAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
Hal ini juga diatur secara khusus (lex specialis) dalam Pasal 143 UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika bahwa Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Terdapat beberapa faktor penyebab seorang saksi memberikan keterangan palsu di depan pengadilan, antara lain:
- Saksi bermaksud melindungi terdakwa;
- Saksi bermaksud memberatkan terdakwa;
- Saksi mendapat tekanan/ancaman dari pihak lain yang tidak menginginkan perkara menjadi terang;
- Saksi bermaksud untuk tidak melibatkan orang lain yang juga turut serta dalam tindak pidana;
- Saksi menginginkan keterlibatan orang lain (yang sebenarnya tidak terlibat) dalam tindak pidana;
- Saksi berpotensi menjadi tersangka.