Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

Sebelum terbentuknya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Pembebanan jaminan hak atas tanah tunduk pada hipotik atas tanah dalam buku II KUH Perdata dan credietverband dalam staatsblad 1908 – 542 Jo. S. 1973 – 190. Dalam ketentuan tersebut berdasarkan praktik kebiasaan, yang selalu terjadi adalah pembuatan kuasa memasang hipotik. Debitor jarang sekali atau bahkan tidak terjadi pihak-pihak menempuh langsung pembebanan hipotik, disebabkan penandatangan akta hipotik sampai keluarnya sertifikat hipotik memerlukan waktu yang lama.

Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (selanjutnya disingkat UUHT) yang berangkat dari instruksi imperatif Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-pokok Agraria (Pasal 51). Tidak jauh berbeda dengan proses penerbitan akta hipotik. Pada sertifikat hak tanggungan juga dikenal Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

Dalam penjelasan Pasal 15 ayat 1 UUHT dinyatakan bahwa pemberian hak tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi hak tanggungan dengan cara hadir di hadapan PPAT. Hanya apabila karena suatu sebab tidak dapat hadir sendiri di hadapan PPAT, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya, dengan suart kuasa membeBankan hak tanggungan yang  berbentuk akta otentik.

Pembuatan SKMHT selain oleh Notaris juga ditugaskan kepada PPAT. Karena PPAT ini keberadaannya sampai pada wilayah kecamatan dalam rangka pemerataan pelayanan di bidang pertanahan. Isi SKMHT ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.

SKMHT harus merupakan kuasa yang khusus untuk membebankan hak tanggungan, dalam arti tidak boleh dicampuri dengan kuasa atau akta lain. Misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek hak tanggungan, atau memperpanjang hak atas tanah (Supriadi, 2007: 187).

Tujuan dari SKMHT adalah semata-mata membebankan hak tanggungan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan pembebanan hak tanggungan atau sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1795 KUH Perdata Jo. Pasal 15 ayat 1 Sub a UUHT “hanya mengenai suatu kepentingan tertentu”

SKMHT juga tidak dapat disubtitusikan sebagaimana kuasa lainya seperti surat kuasa dalam gugatan peradilan (lih: Pasal 1803 KUH Perdata). Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal  15 ayat 1 Sub b, dan harus menyebutkan dengan jelas objek hak tanggungannya, jumlah hutangnya dan nama-nama identitas debitor, apabila pemberi hak tanggungan bukan debitor sendiri (Pasal 15 ayat 1 Sub c UUHT).

SKMHT dibuat dalam bentuk kuasa mutlak. Dalam arti tidak berakhir karena sebab-sebab apapun, kecuali kuasa itu telah dilaksanakan atau selesai masa berlakunya (Pasal 15 ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 UUHT).

Ciri lain yang istimewa dari SKMHT adalah, bahwa terhadap tanah-tanah yang sudah terdaftar, SKMHT harus sudah digunakan dalam waktu satu bulan sejak diberikan (Pasal 15 ayat 3 UUHT). Suatu kuasa dibatasi jangka waktunya, mengingat berdasarkan kebebasan berkontrak. Orang boleh memperjanjikan apa saja asal tidak bertentangan dengan hukum yang bersifat memaksa, ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Pasal 15 ayat 3 UUHT menegaskan “bahwa terhadap tanah-tanah yang sudah terdaftar, SKMHT wajib segera diikuti dengan pembuatan APHT dalam jangka waktu satu bulan sesudah diberikan.” Terhadap tanah-tanah yang belum terdaftar, kewajiban tersebut harus dipenuhi dalam waktu tiga bulan. Apabila persyaratan tentang jangka waktu tersebut tidak dipenuhi maka SKMHT menjadi batal demi hukum (nool and voidg).

Ketentuan tersebut di atas terdapat pengecualian terhadap kredit-kredit tertentu, seperti kredit program, kredit usaha kecil, Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dan kredit yang sejenis. Penentuan batas waktu berlakunya SKMHT untuk jenis kredit tertentu tersebut diatur dalam  Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 4 tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Berlakunya SKMHT Untuk Menjamin Jenis-Jenis Kredit Tertentu.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...