Ihwal Pidana Predator Seksual Anak, Herry Wirawan

DR AMIR ILYAS, SH., M.H. (DOSEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNHAS)

Vonis penjara seumur hidup, Herry Wirawan (HW), predator seksual pemerkosa 13 santriawati sebagaimana dibacakan oleh majelis hakim yang diketuai Yohannes Purnomo Suryo, sepertinya belum berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut ditunjukkan atas desakan keluarga korban melalui kuasa hukumnya, KPPAI, dan tak terkecuali khalayak, agar Penuntut Umum mengajukan upaya hukum banding. Mereka pada menghendaki agar HW diganjar dengan pidana mati.

Berdasarkan Undang-undang Perlindungan Anak (Perubahan terakhir melalui UU No.17/2016) dikenal dua jenis sanksi pidana yang dapat diterapkan bagi predator seksual anak, yaitu pidana pokok (penjara/penjara seumur hidup, denda, dan hukuman mati) dan pidana tambahan (Pengumuman identitas pelaku). Selain sanksi pidana, dikenal pula sanksi tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Dalam kasus kekerasan seksual HW, tuntutan kepada yang bersangkutan juga terdapat sanksi berupa pembekuan aset dan pembubaran yayasan pondok pesantren yang dikelolanya. Kemudian, ada lagi sanksi merampas harta kekayaannya untuk dilelang.

Dengan melalui Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 989/Pid.Sus/2021/PN.Bdg. Terlihat  ada tiga sanksi kepada HW yang cukup menarik untuk didiskusikan. Diantaranya: (1) Pemberian restitusi kepada anak korban bukan menjadi tanggungan HW, tetapi menjadi tanggungan negara; (2) Pembekuan, pencabutan, dan pembubaran yayasan yang dikelola HW, majelis tidak sejalan dengan tuntutan Penuntut Umum, karena tindakn untuk itu harus melalui gugatan perdata; (3) Perampasan aset yayasan yang dikelola HW juga tidak dapat dijalankan, karena aset tersebut merupakan milik yayasan yang pelaksanaan lelang, penjualan, maupun tindakan lainnya dapat dilakukan setelah dibubarkannya yayasan berdasarkan putusan pengadilan melalui likuidator yang ditunjuk.

Sanksi-sanksi lainnya, seperti penjara seumur hidup, denda, pengumuman identitas pelaku, kebiri. Dalam hemat penulis sanksi tersebut tidak menjadi penting lagi untuk didiskusikan, sebab secara normatif memang demikian keadaannya. Tidak ada lagi denda kalau dijatuhkan penjara seumur hidup. Tidak mungkin juga dapat dilaksanakan sanksi pengumuman identitas pelaku dan kebiri, karena pada saat yang sama hukuman seumur hidup tidak ada selesainya masa pidana pokok. Dengan mengingat kedua jenis sanksi tersebut berdasarkan UUPA dan PP No. 70/2020, nanti bisa dijalankan kalau terkait dengan pidana yang memungkinkan narapidana bersatus bebas (selesai menjalani masa pemasyarakatan).

PP Nomor 43 Tahun 2017 sebagai turunan dari Pasal 71 D  ayat 1 dan ayat 2 UUPA (UU No. 35/2014), secara yuridis memang dibenarkan anak korban atau keluarga korban untuk mengajukan restitusi kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual, baik dengan melalui penyidik atau penuntut umum dengan penilaian angka kelayakan restitusi dari LPSK. Untuk kemudian permohonan restitusi tersebut oleh penuntut umum mencantumkan dalam tuntutannya, sesuai dengan  fakta persidangan yang didukung  dengan alat bukti.

Pertanyaannya, mengapa dengan dikabulkannya permohonan restitusi tersebut malah dibebankan kepada negara, bukan kepada pelaku. Padahal ini bukan tentang permohonan kompensasi, yang memang dapat dimintakan kepada negara. Dalam pandangan penulis, Pasal  67 KUHP pada dasarnya tidak mengecualikan restitusi sebagai hal yang tidak dapat lagi dibebankan kepada pelaku, meskipun ia dijatuhi pidana penjara seumur hidup. Restitusi merupakan sanksi tindakan, bukan sanksi pidana pokok, bukan pula sanksi pidana tambahan. Apalagi dalam Pasal 71 D UUPA diakui sebagai hak yang dapat dimintakan oleh si korban atau keluarganya melalui putusan pengadilan. Cuma yang menjadi persoalan, bagaimana kalau ternyata si pelaku tidak mampu membayar restitusi tersebut, apakah asetnya bisa dirampas untuk menutupi restitusi atas anak korban, ataukah menjadi tanggung jawab negara.

Seandainya di masa mendatang, kalau dibuat ketentuan sanksi pidana tambahan dalam UUPA. Terhadap pelaku yang tidak melakukan pembayaran restitusi kepada anak korban, bisa dilakukan perampasan aset. Lagi-lagi masalah akan muncul, kalau pelaku tidak punya aset, atau aset tersebut tidak mencukupi untuk pembiayaan restitusi. Jika hendak dibarter dengan pidana pengganti berupa kurungan, juga menjadi tidak mungkin karena pelaku sudah menjalani pidana penjara seumur hidup. Jadi pada titik ini, sesungguhnya putusan pengadilan memberikan peringatan kepada pembentuk undang-undang, bahwa revisi UUPA di masa mendatang untuk sanksi pelaku kekerasan seksual terhadap anak berupa penjara seumur hidup atau hukuman mati. Lebih baik untuk dan demi kepentingan biaya pemulihan fisik, psikis, dan mental anak korban dikanalisasi melalui pemberian kompensasi, bukan dengan melalui restitusi.

Sementara mengenai pembekuan, pencabutan, pembubaran, dan perampasan aset yayasan. Sudah saatnya mengadopsi UU Tipikor yang membenarkan diberlakukannya sanksi pidana tambahan semacam itu dengan melalui perkara pidana, tanpa harus melalui gugatan perdata. Apalagi dengan berkaca pada kasus HW, sedari dini kita semua sudah menyadarinya kalau kasus ini sudah termasuk sebagai kejahatan yang sifatnya serius. Meraka, anak-anak dihancurkan masa depannya, sama dengan menghancurkan nasib dan tumbuh kembang beradabnya bangsa itu sendiri.*

 

 

Oleh: Amir Ilyas

Dosen Ilmu Hukum Unhas

ARTIKEL INI SEBELUMNYA PERNAH DIMUAT DI HARIAN SINDO MAKASSAR, FEBRUARI 2022

You may also like...