Kikuk Setelah Penjabat Ditunjuk

Sumber Gambar: tribunnews.com

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian memerintahkan bawahannya merancang peraturan pelaksana penunjukan penjabat (pj) kepala daerah baru. Instruksi tersebut muncul setelah penjabat yang ditetapkan pemerintah pusat pada Mei lalu berbuah penolakan dari beberapa kepala daerah definitif.

“Berdasarkan pengalaman di gelombang pertama, kami melihat aspirasi masyarakat dan kami memahami banyak sekali kepentingan berbagai pihak tentang kedudukan pj kepala daerah,” kata Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Benni Irwan kepada reporter detikX pekan lalu.

Benni Irwan mengatakan draf tersebut sudah dibuat. Saat ini pembahasan rancangan itu masih dilakukan di lingkup internal Kemendagri.

Penunjukan 48 penjabat—lima di antaranya gubernur—sebelumnya merupakan gelombang pertama. Jika ditotal, pemerintah pusat harus menunjuk 271 penjabat kepala daerah karena masa jabatannya habis, sementara undang-undang mengamanatkan pilkada serentak digelar pada 2024. Sampai akhir tahun ini, ada 101 jabatan kepala daerah yang kosong.

Pemerintah perlu mengisi kekosongan jabatan itu dengan ASN eselon I untuk jabatan gubernur dan eselon II untuk bupati/wali kota. Mereka yang ditunjuk sebagai penjabat bakal memimpin daerah dalam waktu satu sampai dua setengah tahun atau separuh dari masa jabatan kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan langsung.

Semula, Mendagri Tito Karnavian yakin tidak perlu peraturan pelaksana mengenai penunjukan penjabat kepala daerah. Itu sebabnya, dia menetapkan 48 nama penjabat pada gelombang pertama.

Dampaknya, penunjukan penjabat itu menuai protes dari berbagai pihak. Dua gubernur sempat enggan melantik penjabat kepala daerah yang diutus Kemendagri. Pertama, Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba, yang seharusnya segera melantik penjabat Bupati Pulau Morotai. Kedua, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi, yang juga menunda pelantikan penjabat bupati di dua wilayahnya, yakni Kabupaten Buton Selatan dan Muna Barat.

Dituding Tak Transparan

Koalisi Masyarakat Sipil pun turut mempertanyakan proses penunjukan penjabat yang dilakukan Tito Karnavian. Buntutnya, Koalisi melaporkan Tito Karnavian ke Ombudsman RI pada Jumat, 3 Juni 2022. Koalisi menduga Tito telah melakukan tindakan malaadministrasi. Alasannya, Tito dianggap menunjuk penjabat tanpa melalui proses yang demokratis, transparan, dan akuntabel.

Koalisi telah meminta Tito membuka dokumen mengenai proses penunjukan 48 penjabat kepala daerah. Ketertutupan pemerintah pusat kemudian menimbulkan kecurigaan bahwa penunjukan penjabat berkaitan dengan pengamanan suara untuk Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.

Menurut Koalisi, Kemendagri seharusnya membuat peraturan pelaksana terlebih dahulu sebelum menunjuk penjabat kepala daerah. Hal ini merupakan penafsiran atas tiga putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu Putusan 67/2021, 15/2022, dan 18/2022.

MK memang menolak permohonan dalam tiga amar putusan tersebut. Tetapi, dalam pertimbangan hukumnya, MK memberikan pandangan mengenai pengisian penjabat kepala daerah. Pada putusan 67/2021, misalnya, MK menyatakan pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menerbitkan aturan pelaksana dari Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang berisi tata cara mengisi kekosongan jabatan kepala daerah.

Dengan adanya aturan turunan tersebut, mekanisme dan persyaratan mengenai penunjukan penjabat kepala daerah akan terukur dengan jelas. Pengisian posisi penjabat pun tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.

“Kalau kata MK, penunjukan pj ini harus transparan, akuntabel, partisipatif, dan terbuka. Seharusnya ada mekanisme yang mencakup hal-hal itu,” kata perwakilan koalisi, Kahfi Adlan Hafiz, dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Kapuspen Kemendagri Benni Irwan membantah tudingan itu. Menurutnya, proses penunjukan 48 penjabat kepala daerah itu sudah mempertimbangkan seluruh aturan. Dia pun mengklaim bahwa Kemendagri telah menerapkan nilai-nilai demokrasi.

Benni menjelaskan, sebelum pemerintah pusat menetapkan nama-nama penjabat kepala daerah, Kemendagri telah meminta usulan ke daerah. Nama-nama itu kemudian diverifikasi secara administratif dan dibahas melalui sidang tim penilai akhir (TPA). TPA diketuai oleh presiden dan beranggotakan kepala kementerian serta lembaga terkait.

“Di dalam ruang sidang (TPA) itu ditampilkan usulan. Kemudian usulan itu dibahas, dilihat latar belakang, pengalaman, mengupas profil individu tersebut. Kemudian juga melihat kondisi daerah tempat yang bersangkutan akan ditugaskan,” kata Benni. “Pada akhirnya, Presiden (Joko Widodo) yang memutuskan berdasarkan hasil sidang itu.”

Kendati begitu, Kemendagri berdalih akan tetap mempertimbangkan aspirasi masyarakat mengenai perlunya pembuatan peraturan pelaksana mengenai penunjukan penjabat. Belum jelas mengenai bentuk aturan itu nantinya, sebatas peraturan Menteri Dalam Negeri atau peraturan pemerintah. Yang jelas, diupayakan peraturan tersebut sudah bisa diterapkan sebelum penunjukan penjabat gelombang kedua.

Di sisi lain, saat ini Kemendagri sedang menjaring nama-nama calon penjabat kepala daerah di Provinsi Aceh. Sebanyak 10 kepala daerah di sana akan habis masa jabatannya pada awal Juli mendatang, termasuk gubernur.

Benni tidak menjelaskan secara rinci mengenai substansi peraturan pelaksana penunjukan penjabat yang sedang dibahas di Kemendagri. Namun, dia mengatakan, regulasi itu juga akan mengatur mengenai partisipasi masyarakat. “Tidak eksplisit bisa mengusulkan, tetapi masyarakat bisa berpartisipasi,” katanya.

Rawan Penyalahgunaan Jabatan

Peneliti Perludem Kahfi Adlan Hafiz mengatakan keterbukaan sangat penting dalam proses penunjukan penjabat kepala daerah. Sebab, menjelang Pilkada Serentak dan Pilpres 2024, jabatan kepala daerah sangat rawan disalahgunakan.

Kahfi menjelaskan, meski posisi kepala daerah diisi oleh ASN, yang notabene harus bersikap normal, pelanggaran-pelanggaran sangat mungkin terjadi. Pada Pilkada 2020, misalnya, pelanggaran netralitas ASN bahkan mencapai ratusan. “Banyak sekali kepala daerah menggunakan ASN untuk menguatkan kemungkinan keterpilihannya,” katanya.

Berdasarkan data Komisi ASN, pada tahun 2020, terhitung hingga 15 Juni, terdapat 351 pengaduan yang diteruskan oleh Bawaslu dan 243 di antaranya sudah diterima oleh KASN. Sedangkan sebelumnya, hingga Desember 2019, ada 412 pengaduan yang diterima oleh KASN dan Bawaslu, 386 di antaranya sudah masuk dan diproses menjadi rekomendasi oleh KASN dengan ASN yang melanggar sebanyak 528 orang.

Kahfi menjelaskan, dengan jabatan kepala daerah, seseorang bisa mengarahkan pegawai-pegawai ASN di daerah untuk mendukung pasangan calon tertentu. Pada gilirannya, para ASN itu akan mempengaruhi masyarakat.

“Di dalam struktur sosial kita, ASN itu profesi yang cukup terpandang sehingga, ketika dia bilang pilih A di komunitasnya, ya, akhirnya pada pilih A,” kata Kahfi.

Itu sebabnya, Kemendagri perlu membuat peraturan teknis penunjukan penjabat kepala daerah yang transparan, akuntabel, dan demokratis. Kahfi mengusulkan, dalam proses penetapan penjabat, seharusnya ada perwakilan dari daerah yang terlibat dalam pembahasan di sidang TPA.

“Jangan sampai penunjukan pj ini merusak konsepsi otonomi daerah, konsepsi yang menghargai kedaerahan,” tuturnya.

Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PAN Guspardi Gaus memandang seharusnya ada mekanisme yang menjamin bahwa penunjukan penjabat itu benar-benar berdasarkan usulan dari daerah. Dengan begitu, keputusan itu bisa merepresentasikan keinginan masyarakat.

DPRD, sebagai perwakilan rakyat, seharusnya juga diajak mengusulkan dan mengikuti pembahasan. “Selama ini, kan, hanya pemerintah daerah yang mengusulkan tiga nama,” kata Guspardi.

Dari usulan DPRD dan pemda itu, Guspardi melanjutkan, baru dibahas bersama pemerintah untuk kemudian ditetapkan nama penjabat. Dengan begitu, prosesnya jadi lebih demokratis.

Senada, anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera menambahkan pemerintah perlu mengumumkan nama-nama calon penjabat terlebih dahulu sebelum ditetapkan. Ini penting untuk membuat prosesnya menjadi transparan.

“Untuk Pj DKI, misalnya, kekosongan jabatan akan mulai pada Oktober. Pada bulan Juni atau Juli, Pak Tito sudah menyampaikan ada tiga kandidat. Itu transparan. Jadi masyarakat mau kasih masukan, monggo,” kata Mardani.

Dia melanjutkan, PKS menginginkan Kemendagri mengeluarkan peraturan pelaksana penunjukan penjabat dalam bentuk peraturan pemerintah. Format ini dipandang akan lebih kuat secara hukum dibanding permendagri. Selain itu, prosesnya pun lebih ketat karena memerlukan naskah akademik dan focus group discussion para pakar.

Meski begitu, pandangan berbeda muncul dari Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDIP Junimart Girsang. “Di antara teman-teman DPR, termasuk di Komisi II, memang kami belum satu persepsi,” katanya.

Junimart memandang Kemendagri tidak perlu membentuk peraturan baru untuk menunjuk penjabat kepala daerah. Menurutnya, apa yang dilakukan Tito Karnavian sudah sesuai dengan prosedur. “Sudah ada yang mengatur. Aturan teknis itu dibuat kalau aturan itu tidak ada,” katanya.

Adapun peraturan-peraturan yang dia maksud adalah UU 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, UU 5/2014 tentang ASN, dan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian UU 34/2004 tentang TNI dan UU 2/2002 tentang Polri.

Sedangkan terkait putusan MK Nomor 15 Tahun 2022, menurut Junimart, pembentukan peraturan pelaksana mengenai penunjukan penjabat kepala daerah bukanlah sebuah kewajiban.

“Tidak ada satu pun di amar putusan MK yang bilang harus buat aturan teknis. Yang saya baca, di pertimbangan ada, itu pun saran. Kalau begitu, kan, bila dianggap perlu. Kalau dianggap nggak perlu, ya, tidak butuh juga aturan teknis,” katanya.

 

Oleh:

May Rahmadi

Wartawan Detik.com*

DETIKNEWS-X, 14 Juni 2022

Sumber: : https://news.detik.com/x/detail/investigasi/20220614/Kikuk-Setelah-Penjabat-Ditunjuk/

You may also like...