Ada Apa dengan Vonis Kasasi Edhy Prabowo?

Dr. Amir Ilyas, SH., M.H.
DOSEN HUKUM PIDANA UNHAS
Nit agit exemplum litem quo lite resolvit. Vonis kasasi oleh tiga majelis hakim Mahkamah Agung, Sofyan Sitompul (ketua), Gazalba Saleh (anggota), dan Sinintha Yuliansih Sibarani (anggota) yang mengurangi hukuman penjara dan hukuman tambahan pencabutan hak politik terhadap terdakwa Edhy Prabowo. Selanjutnya, oleh beberapa pengamat dan aktivis korupsi mencoba membandingkan vonis tersebut dengan beberapa perkara sebelumnya yang juga mengalami pemangkasan hukuman, seperti hukuman terhadap pengacara OC Kaligis yang dari sebelumnya 10 tahun menjadi 7 tahun penjara. Vonis mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang menjadi 8 tahun dari sebelumnya 14 tahun penjara. Kemudian vonis mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman yang dipangkas menjadi 3 tahun dari sebelumnya 4,5 tahun penjara. Tiba-tiba mengingatkan saya dengan postulat diawal tulisan ini, yang berarti “menyelesaikan suatu perkara dengan mengambil contoh perkara lain sama halnya dengan tidak menyelesaikan perkara itu.”
Maksudnya, diskusi tersebut hanya akan menjadi wacana liar tanpa sedikitpun akan memberikan pengaruh atau tekanan kepada hakim-hakim selanjutnya dalam menangani perkara-perkara korupsi. Mungkin juga, dalam tinjauan socio-legal, komparasi kasus yang seperti itu dapat memiliki arti secara akademis, tetapi hanya sebagai gejala sosial semata.
Uniknya vonis penjara 5 tahun terhadap eks Menteri Kelautan dan Perikanan itu yang sebelumnya ditingkat banding divonis penjara 9 tahun. Justru ditanggapi serius oleh Komisi Pemberantasan Korupsi melalui pelaksana tugas Juru Bicara bidang Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi Ali Fikri: “Kecewa dengan diskon hukuman Edhy Prabowo, karena vonis semacam itu katanya tidak memberikan efek jera terhadap tindak pidana korupsi.” Katanya lagi: “Pemberian efek jera merupakan salah satu esensi penegakan hukum tindak pidana korupsi yang bisa berupa besarnya putusan pidana pokok atau badan, serta pidana tambahan seperti uang pengganti ataupun pencabutan hak politik.”
Pertanyaan untuk KPK, apa yang keliru dengan putusan tersebut? Bukankah dalam tuntutan JPU KPK dahulu menuntut Edhy Prabowo agar divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Sekarang, justru putusan MA sejalan dengan apa yang diminta oleh JPU KPK dalam tuntutannya. Sehingga pun misalnya kalau vonis tersebut dianggap sebagai putusan absurd atau paradoks, tidakkah JPU KPK juga terlibat di dalamnya.
Oleh karena itu, wacana untuk melempar kesalahan demikian tidaklah berguna, sebab kalau kesalahan penegak hukum selalu dicari-cari berdasarkan produk hukum yang telah dikeluarkannya tidak akan ada akhirnya. Bahkan, pembentuk undang-undang Tipikor pun bisa dibebani kesalahan, dengan cara berpikir seperti itu, yang telah merumuskan ancaman pidana penjara delik suap secara terbuka dengan karakter stelsel pidana maksimum-minimum.
Apakah putusan tersebut ada peluangnya untuk diajukan upaya hukum luar biasa dalam bentuk Peninjauan Kembali (PK)? Bisa saja dilakukan upaya tersebut oleh Edhy Prabowo sebagaimana yang pernah dilakukan dahulu oleh advokat Lucas, kemudian MA membebaskan Lucas karena dinilai tak terbukti merintangi penyidikan. Namun bagi JPU KPK sudah tidak dapat lagi mengajukan upaya demikian, sebab selain terbatasi melalui Pasal 263 ayat 1 KUHAP (PK hanya untuk terpidana atau ahli warisnya) dan Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016. Juga terasa janggal pasti baginya jika melakukan upaya peninjauan kembali, saat yang sama apa yang telah diputus oleh MA sudah sejalan dengan tuntutannya dahulu. Apalagi berdasarkan praktik, sudah berkali-kali JPU KPK pernah mengajukan upaya PK, terutama untuk putusan bebas selalu ditolak oleh Mahkamah Agung.
Daripada hanya debat kusir jalanan, selalu mengkritik putusan MA yang mengurangi hukuman penjara terdakwa dalam beberapa kasus korupsi. Alangkah baiknya kalau setiap ada putusan semacam itu menjadi kajian para akademisi melalui proses eksimanasi di kampus-kampus perguruan tinggi, terutama para dosen di fakultas hukum. Selain langkah eksaminasi bisa menjadi pembelajaran para mahasiswa, setidak-tidaknya dapat pula menjadi koreksi dan bahan pertimbangan bagi para hakim ke depannya dalam mengadili kasus-kasus serupa. Karena boleh jadi mendebat dan mengkritik putusan hakim, kita lebih banyak terpengaruh dengan isu media, dibandingkan mengetahui isu hukum dan fakta konkrit perkara-perkara tersebut.
Praktik eksaminasi di negara seperti Amerika Serikat, seluruh putusan-putusan hakim setelah dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Putusan-putusan tersebut selanjutnya dikirimkan ke seluruh perguruan tinggi untuk dikaji dan dibahas oleh tim ahli. Dan tidak jarang hasil eksaminasi para ahli dari kampus-kampus, sekalipun itu adalah putusan yang tidak dapat diintervensi, menyebabkan hakim bersangkutan dijatuhi sanksi, untuk sementara waktu tidak dapat mengadili perkara.
Baiknya, praktik semacam ini bisa dipikirkan ke depannya sebagai tambahan wewenang komisi yudisial, demi terjaganya kemandirian hakim, dan saat yang sama kritik yang sifatnya untuk menjaga integritas dan profesionalitas hakim, juga tetap dapat terjaga.
Oleh:
Amir Ilyas
Dosen Ilmu Hukum Unhas
Artikel ini sebelumnya telah tayang di Harian Sindo Makassar, 14 Maret 2022