Memutus Korupsi Lewat Pilpres
Debat putaran pertama pasangan Capres-Cawapres telah berlalu. Dengan mengangkat tema “Demokrasi, Pemerintahan Bersih dan Kepastian Hukum”. Konten yang dipilih untuk mengukur sejauhmana pemahaman, penguasaan materi dan gagasan-gagasan mereka ketika terpilih nantinya menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Dari tiga item yang dipaparkan, topik pemerintahan bersih tentu memiliki porsi tersendiri bagi para aktivis antikorupsi, tentunya dengan alasan mendasar. Pertama, semua lini penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif marak melakukan praktik korupsi. Sebut saja kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 tercacat sejarah “menyumbangkan” Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng dan Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kedua, Kementerian-kementerian seyogianya melaksanakan tugas pelayanan publik telah menjadi ATM partai politik. Menteri yang ditunjuk dari kader partai politik (koalisi pemerintah) sibuk berburu rente. Misalnya kasus korupsi pengurusan kuota impor daging sapi yang melibatkan pihak PT Indoguna dengan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq. Dan kasus korupsi pembangunan sport center Hambalang yang menjerat sejumlah politisi partai berlambang bintang mercy.
Menariknya salah satu pasangan kandidat Presiden melihat akar persoalan mengguritanya laku korupsi disebabkan rendahnya gaji pegawai negeri. Sehingga untuk memberantas penyakit bandit tersebut dengan cara menaikkan gaji mereka.
Jawaban ini menurut hemat Penulis sangatlah dangkal. Persoalan korupsi bukanlah akibat kebutuhan (corruption by need). Melihat fakta di lapangan pelaku-pelaku kejahatan banyak melibatkan pejabat-pejabat tinggi negara yang dari segi penghasilan sangat lebih daripada cukup. Data KPK tahun 2004 sampai per 31 Maret 2014 mencatat pelaku korupsi dari unsur anggota DPR/ DPRD berjumlah 73 orang, lembaga negara/ kementerian 12 orang, Gubernur 10 orang, kepala daerah/ wakil 35 orang dan Hakim berjumlah 10 orang. Artinya adalah laku korupsi telah bergeser dari corruption by need menjadi corruption by greed (akibat keserakahan). Di saat yang sama data ini menjadi salah satu penyumbang buruknya Indonesia di mata dunia. Terlihat dari tahun 2013, Indonesia masih berada pada urutan ke 114 dari 177 negara dalam peringkat Corruption Perception Index (CPI). Hasil buruk yang sangat berpengaruh terhadap pihak luar yang ingin berinvenstasi.
Prasaran KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang lahir di rahim reformasi. Institusi penegak hukum yang khusus dibentuk sebagai trigger mecanism bagi lembaga penegak hukum konvensional (Kepolisian dan Kejaksaan). Dua lembaga yang dianggap belumlah optimal dalam rangka melakukan langkah-langkah pemberantasan korupsi.
Setelah terbentuk tahun 2004 ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Semakin hari kinerja lembaga antirasuah memperlihatkan tren positif. Sejumlah kasus megakorupsi satu persatu memperlihat titik terang. Kasus yang pelakunya melibatkan orang-orang memiliki relasi kuasa besar. Contohnya kasus century yang disinyalir melibatkan Wakil Presiden Boediono kala menjabat Gubernur Bank Indonesia, kasus korupsi pembangunan wisma atlet, kasus simulator SIM ditubuh instansi kepolisian, kasus suap mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan yang terbaru penetapan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka korupsi pengelolaan dana haji.
Prestasi-prestasi yang ditorehkan KPK patutlah kita apresiasi. Meski masih banyak juga kalangan yang melihatnya sebagai “musuh”. Kpiawaan dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan juga haruslah diimbangi dengan langkah-langkah pencegahan sebagaimana termaktub dalam Pasal 6 huruf d UU Nomor 30 Tahun 2002.
Sebab itulah lewat Pilpres KPK jilid III meluncurkan Buku Putih Delapan Agenda Antikorupsi Bagi Presiden 2014-2019. Buku yang berisi gagasan dan pengalaman lembaga antirasuah dalam proses menjaga kebocoran anggaran negara karena laku korupsi. Gagasan dilandasi cita-cita sejati untuk membangun Indonesia yang berdaulat, memiliki marwah, berkeadilan sejahtera dan bebas dari korupsi.
Gagasan-gagasan KPK yakni reformasi birokrasi dan perbaikan administrasi kependudukan, pengelolaan Sumber Daya Alam dan penerimaan negara, perbaikan infrastruktur, penguatan aparat penegak hukum, dukungan pendidikan nilai integritas dan keteladanan, perbaikan kelembagaan partai politik, serta peningkatan kesejahteraan sosial.
Dua sasaran yang ingin dicapai dalam penyampaian rumusan gagasan Komisi Pemberanatasan Korupsi. Pertama, KPK mengharapkan gagasan tersebut bisa dirumuskan menjadi suatu program dan menjadi fokus strategi ketika kandidat presiden ini, kelak secara definitif, menduduki kursi jabatan sebagai presiden.
Kedua, kandidat presiden dan KPK sejak awal sudah menciptakan komunikasi konstruktif untuk kepentingan program pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dan KPK sebagai lembaga negara, pada hakikatnya, secara bersama, mempunyai kepentingan yang sebangun: mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.
Oleh karena itu, bila ingin memutus rantai korupsi. Masyarakat harus mampu menilai visi-misi, program kerja para kandidat Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019 sebelum menjatuhkan pilihan. Karena kewajiban negara mensejahterakan rakyatnya sesungguhnya sudah tertuang secara tegas dan eksplisit dalam konstitusi.