Penghianatan Cendikiawan & Kaum Intelektual
Meski Julian Benda. Seorang Filsuf Prancis telah lama menutup mata, tertidur panjang dalam liang lahat, di liang kuburnya. Suaranya hingga hari ini, masih berdendang merdu di telinga para kritikus posmodern (Derrida, Horkeimer, Julia Kristieva, T. Adorno, dan P. Freire). Melalui karyanya La trahison des Clers, Pengkhianatan Kaum Intelektual, Benda Setidaknya menghentak gendang telinga para kaum intelektual yang telah berselingkuh, bersenggama, kawin silang (hybrid). Atau lebih ekstrim lagi dapat dikatakan bahwa para kaum intelektual ini telah melakukan “hybridy-sasi politik” pada kekuasaan. Menghalalkan segala cara politik Machievellian untuk meraup keuntungan, dan melanggengkan kekuasan, melalui parodi penciptaan bahasa regulasi serba multitafsir.
Organisasi kemahasiswaan sebagai cikal-bakal pembentuk karakter individu. Organisasi keagamaan baik yang radikal, menentang kebijakan pemerintah, maupun yang tak peduli dengan kebijakan pemerintah. Sepertinya hilang berlalu, tidak berpengaruh apa-apa ketika individu tersebut menduduki suatu jabatan (ambtenaar) dalam pemerintahan. Agama, politik, moral, etika, dan sikap bajik (sophia) para penguasa berbanding terbalik sejak ia menjadi mahasiswa.
Sejak mahasiswa, para politisi sangat kritis menyikapi kebijakan eksekutif dan parlemen. Tapi sejak kekuasaan-pun di tangannya, Tidak jauh berbeda dengan sikap para politisi yang mempermainkan hidup-mati, kaya-miskin, sakit-sehat, terhadap orang yang dikuasai itu (baca: rakyat). Atau pejabat dari kaum intelektual yang dimaksud ini malah lebih parah lagi, dari regim sebelumnya (baca: regim Soeharto). Inilah penghianatan kaum intelektual yang dimaksud oleh Julian Benda.
Sedari awal memang Benda sudah memprediksi bahwa ruang, tempat bermain. Para kaum intelektual, kaum cendikiawan tidak mesti bersentuhan dengan arena kekuasaan dan politik. Karena baginya kaum intelektual dicirikan dengan moralitas, penyeruh kebenaran. Sedangkan kekuasan dicirikan dengan kondisi yang mempunyai kekuatan untuk melakukan pemaksaan (coercion). Maka saat itupula adagium kekuasan cenderung korup dan sewenang-wenang (power tend to corrupt, versi Lord Acton) terbukti. Arena kekuasaan dan jabatan hanyalah menjadi tempat para elit politik melakukan “kejahatan massal”, penipuan publik, pelanggaran hak asasi, serta peciptaan kejahatan berdimensi sempurna (perfect crime).
Berapa banyak penguasa, pejabat memeraktikan penghianatan ala-kaum intelektual ? Pendidikan dan agama laris diperjualbelikan demi menumpuk harta. Sang penguasa tiada melakukan kesalahan, selalu dipolitisir, diparodi, dibaurkan, bahwa kebijakan yang diambil dengan menggunakan uang negara adalah demi menyelematkan negara dari keterpurukan dan defisit ekonomi. Kebijakan yang diambil “penting” karena hal itu akan mengancam stabilitas perkenomian bangsa. Kasus Century menjadi bukti dari “gaya bahasa” pemerintah. Konon katanya untuk menyelamatkan negara. Padahal dana Century disematkan untuk kemenangan suatu organisasi politik (baca: partai) agar penguasa dengan sokongan dana berlebih (baca: ongkos politik) jabatannya tetap langgeng sekaligus nan-abadi, selamanya.
Siapa yang melakukan praktik korupsi ? Penghianatan terhadap negara kalau bukan kalangan intelektual, cendikiawan. Para kaum intelektual telah melakukan kejahatan “besar-besaran.” Jutaan hingga miliaran rupiah dikorup semata-mata untuk kekayaan pribadi. Tidak ada lagi moralitas, hati nurani, rasa ibah akan penderitaan rakyat. Gizi buruk, busung lapar, menjadi fenomena banal. Sesuatu hal yang “biasa” terjadi dan seakan-akan (as if) merupakan “kodrat Tuhan” yang tidak bisa dihentikan. Kemiskinan, kelaparan, dan perumahan kumuh menjadi fenomena sekaligus bagian dari metropolitan, sewaktu-waktu mereka terancam, akan tergusur.
Semenjak politisi ini menyandang diri sebagai intelektual terbukti telah melakukan penghianatan intelektual. Kaum intelektual rupanya bukanlah ladang untuk menempati jabatan dalam suatu lembaga negara.Tengok saja para koruptor kelas kakap. Pada umumnya mereka dari kalangan kaum cendikiawan. Akbar Tandjung meski bebas dari pemidanaan, menyisakan luka lama dalam kasus kurupsi Bulog, hanya untuk melanggengkan saat itu “hegemoni” partai dengan simbol “pohon beringin”. Dan hal itu terulang dalam kasus Nazaruddin, Angelina Sondakh, Rozalina Manulang, korupsi dalam proyek Wisma Atlet dan Hambalang benar-benar menyeret sejumlah petinggi Demokrat.
Jika suatu waktu Anas Urbaningrum terbukti jua sebagai pelaku tindak pidana korupsi, pelaku tindak pidana pencucian uang (TPU) maka publik tak perlu heran dan kaget, seorang kaum cendikiawan, kaum intelektual. Yang dulunya istiqamah mengawasi kebijakan legislasi dan kebijakan eksekutif. Nampaknya, hanyalah “senda gurau” di masa muda. Sekarangpun mereka adalah penghianat, sedetikpun tidak pernah memikirkan lagi, nasib rakyat.
Intelektual Organik
Meski berbeda dengan pandangan J. Benda, Gramsci sebagai Filsuf Italia melalui catatannya, dibalik penjara (the prizon of note books). Masih menyimpan kepercayaan terhadap kaum intelektual. Namun, yang unik dari pemikiran Gramsci adalah dengan ditempatkannya para akademisi, guru besar, profesor sebagai intelektual mekanik. Intelektual mekanik dikatakan sebagai kaum yang mencari segala macam cara, taktik, dan strategi unutuk melanggengkan tokoh, penguasa, partai dan organisasi tertentu, dalam pemerintahan (baca: lembaga negara).
Sementara yang dikategorikan sebagai intelektual organik adalah mereka yang memilih menjadi kaum cendikiawan, hidupnya diabadikan untuk negara. Sekedar menjadi parlemen jalan saja. Tokoh demikian phobia pada janji kursi kekuasaan. Marzinah yang mati menggenaskan oleh “blender kekuasaan”. Wiji tukul yang hingga kini abadi puisi-puisinya, didendangkan oleh kaum demonstran hingga menggetarkan jantung kaum awam, ketika di “hegemoni” oleh jutaan ayat dan pasal-pasal, bahwa regulasi diciptakan tidak lain, bukan untuk kemaslahatan dan hajat hidup orang banyak.
Hal ini pula yang mengilhami tokoh-tokoh lainya. Seperti Nurcholis Madjid, Kuntowijuyo, Pramoedya A. Toer, Jalaluddin Rakhmat takut bersentuhan dengan kekuasaan. Tidak pernah disaksikan batang hidungnya dilayar, ditonton oleh jutaan pemirsa, sibuk “berpuisi”. Merasa dianiayah oleh rakyatnya sendiri. Kaum cendikiwan sekelas mereka (baca: intelektual organik) lebih memilih membuat “prosa” ketimbang puisi yang meninabobohkan dari “kodrat Tuhan”, bahwa kemiskinan yang menderah bangsa ini adalah memang sudah demikian adanya.
Memutar arah jarum jam, surut ke belakang. Filsuf Eksistensial seperti Heideger, Sartre, Nietzche dikenal ekstrim dalam melanggengkan kekuasaan untuk diri sendiri (will to power). Namun tidak pernah tertulis dalam sejarah, mereka melakukan pengianatan, hingga menyakiti orang-orang yang dikuasainya.
Tampaknya, karya Plato dalam buku yang ditulisnya “the law” bahwa oleh karena kaum cendikiawan sulit diketemukan, maka hukumlah yang memerintah. Segalah kehendak, kebijakan, keputusan, ketetapan harus dikendalikan oleh undang-undang. Telah usang teori tersebut, ketika kaum cendikiawan banyak yang lahir namun telah “berselingkuh” dengan regulasi yang tercipta (baca: dilembagakan dalam lembaga negara). Hukum dan cendikiawan telah melakukan perceraian terhadap kepentingan rakyat.
Perjanjian masyarakat dengan penguasa ala-Hegel, Hobes, John Locke dan J.J Rouseau dianalogikan sebagai “bulan madu” rakyat dan penguasa. Rakyat tidak pernah sama sekali diundang menikmati panorama keindahan kekuasaan. Jika generasi koruptor selalu hadir dari kalangan kaum cendikiawan sudah mestinya kita mengatakan “selamat tinggal kaum cendikiawan, selamat tinggal kaum intelektual.” Para cendikiawan dan kaum intelektual di negeri ini benar-benar telah wafat semuanya.