Pasal Keranjang Sampah UU Pemilu

Sumber Gambar: kabar.news
Penyelenggaraan pemilu serentak 2019 dengan masa kampanye yang berlangsung cukup panjang, telah memakan banyak “korban” kepala daerah untuk berurusan dengan Badan Pengawas Pemilu. Sejumlah kepala daerah yang tercatat dalam dugaan melakukan pelanggaran kampanye diantaranya: Ridwal Kamil (Gubernur Jawa Barat) dan Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta).
Dan tak ketinggalan pula di Sulawesi Selatan, saat ini Nurdin Abdullah (Gubernur Sulawesi Selatan) dan Ramdan Pomanto (Walikota Makassar) juga mengalami nasib serupa. Dilaporkan oleh Panglima relawan PAS 08 Sul-sel (Ryan Latief) Ke Bawaslu Sul-Sel, karena terlibat dalam kegiatan kampanye Pilpres dalam acara Silaturahmi Akbar Rakyat Makassar Bersama Jokowi, “Jangan Biarkan Indonesia Mundur Lagi” di Celebes Convention Center, Sabtu 22 Desember 2018 silam.
Sanksi Hukum
Sanksi hukum atas pelanggaran kampanye yang dilakukan oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota dikenal dua bentuk yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi pada hakikatnya bertujuan untuk mencegah munculnya sanksi pidana (Pasal 75 Junto Pasal 62 PKPU Kampanye Pemilu).
Sayangnya sanksi ini hanya tertuang dalam PKPU, tidak tertuang dalam UU Pemilu sehingga fungsi pencegahan pelanggarannya, oleh KPU bersama dengan Bawaslu tidak berjalan secara efektif. Kepala daerah yang melakukan pelanggaran kampanye ujuk-ujuknya diproses dalam format penyelesaian tindak pidana Pasal 547 UU Pemilu.
Padahal kalau diperhatikan dengan teliti anatomi Pasal 547 a quo, cenderung bias untuk menjerat pelaku yang berkualitas sebagai pejabat negara yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu pada masa kampanye.
Biasnya ketentuan tersebut tampak dalam beberapa unsur-unsur tindak pidananya. Pertama, kualitas pelaku tindak pidananya adalah pejabat negara. Dalam teori ketatanegaraan istilah pejabat negara setidak-tidaknya hanya terbagi dalam tiga organ, yaitu Presiden, DPR RI, dan Hakim Pengadilan. Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah pejabat yang menjalankan fungsi pemerintahan daerah, sehingganya lebih tepat digolongkan sebagai pejabat pemerintah.
Kedua, unsur objektif berupa membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan. Keputusan merupakan produk hukum pejabat pemerintah, sedangkan tindakan merupakan instrumen hukum pejabat pemerintah. Untuk mengukur suatu keputusan atau tindakan dalam hubungannya dengan pasal aquo, berdampak pada dua keadaan antara berwenang atau tidak berwenang yang kesemuanya potensial disubjektifikasi oleh Bawaslu, Penyidik Kepolisian dan Kejaksaan dalam wadah Sentra Gakumdu. Apakah menguntungkan atau merugikan peserta pemilu? Makanya jangan kaget, banyak kasus pidana pemilu berdasarkan hasil kajian Bawaslu sudah di-declare memenuhi semua unsur tindak pidanya, tiba di kepolisian kembali mentah dengan sendirinya.
Ketiga, unsur kesalahan berupa kesengajaan dalam pasal a quo, selain sebagai rangkaian dengan perbuatan membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan, bahwa perbuatan itu adalah pelaksanaan niat (begin van uitvoering), juga satu nafas dengan akibat hukumnya berupa merugikan atau menguntungkan peserta pemilu. Tidak ada standar yang pasti untuk dapat mengukur peserta pemilu untung mendapatkan suara atau rugi tidak mendapatkan suara. Hari ini memberikan pengaruh kepada pemilih, keuntungan atau kerugiannya nanti terjadi setelah pemungutan suara. Oleh karena itu, dalam hemat penulis unsur sengaja dalam pasal a quo, lebih cenderung bercorak sengaja sebagai maksud yang dalam teori maupun praktik tidak menjadi penting dibuktikan keadaan batin pelaku, cukup dengan menerangkan ada tidaknya keputusan atau tindakan yang ilegal dalam kaitannya dengan kegiatan kampanye.
Keempat, locus perbuatan yang meniscayakan harus pada masa kampanye memunculkan tafsir ganda antara waktu kampanye saja atau termasuk pula dengan setiap bentuk metode kampanye. Seorang kepala daerah sedang berada di rumah jabatan misalnya sedang ber-selfie karena kebiasaannya mengacungkan dua jari. Lalu tiba-tiba foto itu tersebar oleh orang lain di media sosial atau ada pihak lain yang menyimpan foto tersebut untuk dijadikan bukti pelaporan ke Bawaslu, maka tindakan kepala daerah tadi dapat pula ditarik-tarik sebagai pelanggaran kampanye pemilu, meskipun tidak dilakukan dalam kegiatannya sedang menghadiri kampanye resmi. Cukup dengan dalil bahwa perbuatan itu dilakukan masih dalam rentan waktu yang bersesuaian dengan jadwal kampanye pemilu.
Tebang Pilih
Dari kekaburan Pasal 547 UU Pemilu sebagai pasal keranjang sampah, dapat dipastikan menjerat pelaku tergantung subjektifitas Bawaslu dan Penyidik Kepolisian, like or dislike. Bahkan cenderung ditaktisi pula oleh Kepala Daerah. Anies Baswedan dinyatakan tidak terbukti pelanggarannya karena tindakannya bukan dilakukan pada kegiatan kampanye pemilu. Nurdin Abdullah berdalil ia hanya datang, duduk, dan diam, pada kegiatan silaturahmi akbar Jokowi, ia tidak sedang berkampanye. Ramdhan Pomanto beralibi ia hadir dalam kegiatan kampanye itu, bukan dalam status sebagai Walikota, tetapi sebagai pribadi (ana’ lorong).
Dari pada ketentuan tersebut menimbulkan distorsi tebang pilih di tengah-tengah perhelatan pemilu serentak 2019. Cenderung menimbulkan praduga, tajam untuk capres nonpetahana, tapi tumpul untuk capres petahana. Terkait dengan pelanggaran kampanye oleh kepala daerah, sebaiknya KPU RI, Provinsi, dan Kabupaten/Kota mengefektifkan metode pencegahan, dari pada penindakan. Dengan melalui otritas KPU, bisa menerbitkan keputusan pelarangan Kepala Daerah agar tidak mengikuti kegiatan kampanye pemilu karena tidak memenuhi syarat berdasarkan regulasi kepemiluan. Ia tidak cuti atau kegiatan kampanye yang akan diikuti bukan hari libur.*