Merekonstruksi “Money Politic” Pemilu

Sumber Gambar: tribunnews.com
Kampanye pemilu serentak 2019 yang sudah mulai berjalan sekarang hingga 13 April 2019 nanti, isu money politic salah satunya menjadi perbincangan menarik baik bagi peserta, penyelenggara, maupun para penegak hukum. Untuk selanjutnya, demi konsistensi dalam artikel ini, penulis akan menggunakan istilah “delik memberikan uang kepada pemilih.”
Unsur objektif mengenai jenis delik ini, dalam undang-undang pemilu terbagi dalam dua bentuk perbuatan materil yang berlaku secara alternatif, yaitu menjanjikan atau memberikan uang/materi lainnya. Sementara unsur subjektifnya yang juga berlaku secara alternatif, ialah ”dengan maksud” supaya pemilih tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah.
Rumusan ketentuan delik a quo bukan hanya terlalu panjang teks atau kalimatnya. Akan tetapi lebih dari itu, terdapat unsur yang sebenarnya tidak bersesuaian dengan kepentingan hukum yang hendak dilindungi, yaitu hak pemilih untuk memberikan suara sebebas-bebasnya.
Rekonstruksi Delik
Seharusnya salah satu delik yang tercantum dalam Undang-Undang Pemilu tersebut, cukup dikonstruksi dalam rumusan: “setiap orang yang memberikan uang atau barang yang memiliki nilai kepada pemilih, dipidana dengan pidana penjara … atau denda …”
Selain itu menjadi perlu pula pencantuman ketentuan pada ayat selanjutnya, yang menyatakan bahwa “pemberian bahan kampanye kepada pemilih tidak termasuk memberikan barang sebagaimana dimaksudkan pada ayat sebelumnya.” Ketentuan ini menjadi penting sebagai alasan penghapus pidana khusus yang pada prinsipnya kegiatan membagi-bagi bahan kampanye kepada pemilih memang dibenarkan berdasarkan Undang-undang pemilu.
Hakikat perbuatan yang dilarang terkait dengan pasal a quo, adalah memberikan uang atau barang yang bernilai kepada kepada pemilih. Unsur inilah sebenarnya yang dapat dikatakan sebagai bestandel delict (unsur utama) yang menunjukkan sifat melawan hukum dari perbuatannya. Dal hal ihwal bahwa yang merusak kebebasan hak pilih, adalah karena ada orang yang memberikan uang atau barang kepada pemilih.
Sementara unsur tentang menjanjikan tidak ada guna-gunanya dicantumkan dalam ketentuan tersebut. Sebab kata-kata mengenai menjanjikan lebih tertuju pada kepentingan hukum yang bertujuan melindungi kewenangan suatu pejabat negara atau pegawai negeri dalam hal perbuatan suap-menyuap, agar tidak bertindak lain dengan menjual kekuasaan yang ada padanya. Dalam penyelenggaraan pemilu, siapa pejabat? calon bukan pejabat, apalagi tim dan peserta kampanye.
Gara-gara adanya unsur “menjanjikan” dalam pasal a quo, penulis bahkan pernah menemukan sebuah kasus yang janggal, visi-misi yang dikemukakan oleh seorang calon pada saat berkampanye oleh penegak hukum “dibelokkan” sebagai delik menjanjikan materi lainnya kepada pemilih. Contradictio intermenis, saat mana seorang calon diwajibkan memiliki visi dan misi, namun di sisi lain malah berimplikasi pidana.
Mengenai tidak perlunya pula dicantumkan unsur subjektif “…agar supaya pemilih tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah….” Yaitu mustahil memverifikasi keadaan-keadaan tersebut, sebab antara seorang memberikan uang dengan terpengaruh hak kebebasannya untuk memilih, jarak waktunya cukup lama dengan harus menunggu masa pemungutan suara terlebih dahulu. Tidak hanya itu, memilih merupakan hak yang sama sekali tidak bisa disangkutpautkan kalau terdapat hubungan erat dengan pernah tidaknya menerima uang.
Suatu perbuatan yang sifatnya rahasia dan apalagi bukan kejahatan, buat apa dicantumkan dalam suatu rumusan delik. Hal itu sama saja dengan tindakan, membuat sesuatu menjadi susah, padahal esensial sebenarnya lebih gampang.
Penerima Uang
Konsekuensi hukum yang secara jelas menunjukkan bahwa memilih atau tidak memilih merupakan hak, maka sungguh logis seorang pemilih yang menerima uang tidak patut dipidana. Sekali lagi, bahwa yang mengganggu keadilan pemilu dalam wadah fair dan proporsional, bukanlah pemilih, tetapi orang yang memberikan uang kepada pemilih. Ada tidaknya uang yang pernah diterima oleh pemilih, ia masih memiliki kehendak bebas untuk menentukan pilihan. Apalagi waktu dan tempat untuk menyalurkan hak pilihnya dijamin asas kerahasiaannya di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Undang-undang Pemilu yang tidak menjerat penerima uang dalam ihwal dilaksanakan pemilihan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Dibandingkan Undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, Undang-undang Pemilu yang lebih tepat secara filsufis maupun secara sosiologis.
Dengan menjerat penerima uang dalam suatu undang-undang pemilihan, sudah banyak kejadian yang mempertontonkan penegakan hukum berlaku secara diskriminatif, dan tidak tepat sasaran. Ada rakyat papa yang hanya menerima Rp.50.000 divonis penjara 2 tahun hingga sanak keluarga tidak ada lagi yang mengurus dan menyantuni.
Kasus perkasus, pihak yang memberikan uang tak pernah diusut tuntas oleh kepolisian. Delik ini, ditataran praktik hanya menjadi ajang tebar pesona dan ajang popularitas penegak hukum memburu kasus delik pemilihan, menangkap dan menahan pihak yang menerima uang, namun sang pemberinya dibiarkan berkeliaran di alam bebas dan terbuka.
Penyelesaian kasus yang berkenaan dengan delik pemilihan jauh dari harapan. Seperti keberhasilan kepolisian menangani kasus narkotika. Banyak pelaku yang terjaring, tetapi setelah di cross check yang tertangkap lebih dominan pengguna, ketimbang pengedar dan bandar. Aparat penegak hukum tak ingin dikatakan sepi dalam penanganan kasus delik pemilihan, sehingganya yang menjadi target adalah rakyat papa. Sungguh amat jauh dari target untuk menjaring mafia pemilu yang nyata-nyata merusak jantung elektoral demokrasi.*