Save Audrey Justice for Child

Sonny Kusuma, S.H., M.H., CP,Sp.
Advokat & Anggota Tim Modul Sistim Peradilan Pidana Anak ( SPPA ) bagi Aparat Penegak Hukum/Instansi Terkait Kementrian Hukum RI & HAM-UNICEF.

Siswi SMP di Pontianak yang berinisial ABZ (15 tahun) menjadi korban pengeroyokan oleh 12 Siswi SMA,aksi pengeroyokan itu terbilang sadis.Beruntung aksi brutal itu terlihat oleh warga yang bergegas melerai korban kemudian melapor ke Polres Pontianak.

Pengeroyokan ini terjadi Jumat 29 Maret 2019 sekitar pikul 14.30 WIB.Korban yang berada di rumah,dijemput temannya dengan tujuan rumah sepupu yang juga masih usia bawah umur.kemudian korban dibawa kesuatu tempat dan dikeroyok dan dianiaya sampai babak belur oleh para remaja tersebut dan salah satu diantara mereka merusak organ vital korban.

Dalam laporan Polisi (LP) bernomer  LP/662/VI/RES.!.!8/2019/KALBAR/RESTA PTK Tanggal 8 April 2019,saksi korban yang berinisial ABZ masih dirawat dirumah sakit dan dalam penanganan dokter.

Akibat dari perbuatan yang berutal dari para remaja tersebut dikalangan masyarakat,dunia sosmed bahkan masyarakat duniapun saling menanggapi dan memberikan simpati yang dalam bagi korban Audrey dengan Tagar (#JusticeForAudrey)

Lalu pertanyaanya bagaimana penegak hukum dapat menangani perkara ini sesuai dengan hukum yang berlaku dengan tetap tidak mengenyampingkan rasa keadilan masyarakat?

RISET KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA ( KPAI )

Menurut riset yang dilakukan KPAI tahun 2018 dari 15 lapas anak di Indonesia,faktor pendorong perbuatan kejahatan tersebut mulai dari pergaulan hingga media sosial.Faktor-faktor yang mendorong anak melakukan kejahatan didominasi oleh pengaruh teman dan pergaulan yang berlebihan.” Media sosial itu mengarah pada pencabuln dan pemerkosaan kemudian kurangnya pendidikan agama dan tontonantersebut “ Menurut Putu Elvina Komisioner KPAI.

 ANAK  BERHADAPAN DENGAN HUKUM

Berbagai faktor memungkinkan bagi anak untuk melakukan kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat mereka terpaksa berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan. Anak yang melakukan tindak pidana ini bisa disebut pula dengan anak yang berhadapan dengan hukum.

Berdasarkan pasal 1 ayat 3 UU no 11 tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak juga menjelaskan anak yang berkonflik dengan hukum yaitu Anak yang berkonflik dengan hukum selanjutnya disebut sebagai nak adalah anak yang telah berumur 12 ( dua belas ) tahun,tetapi belum berumur 18 ( delapan belas ) tahun yang diduga melakukan tindak pidana “

Terkait upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, sistem peradilan pidana anak harus dimaknai secara luas, ia tidak hanya dimaknai hanya sekedar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum semata. Namun sistem peradilan pidana anak harus juga dimaknai mencakup akar permasalahan  mengapa anak melakukan perbuatan pidana dan upaya pencegahannya. Lebih jauh, ruang lingkup sistem peradilan pidana anak mencakup banyak ragam dan kompleksitas isu mulai dari anak melakukan kontak pertama dengan polisi, proses peradilan, kondisi tahanan, dan reintegrasi sosial, termasuk pelaku-pelaku dalam proses tersebut.

Perlindungan terhadap anak ini juga mencakup kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Perlindungan anak-anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), merupakan tanggung jawab bersama aparat penegak hukum. Tidak hanya anak sebagai pelaku, namun mencakup juga anak yang sebagai korban dan saksi. Aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH agar tidak hanya mengacu pada Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Sistem  Peradilan Pidana Anak atau peraturan perundang-undangan lainnya yang  berkaitan dengan penanganan ABH, namun lebih mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal

FAKTOR ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM

Setidaknya ada 4 (empat) hal yang perlu dilakukan para pihak, mulai dari negara, sekolah dan orang tua serta lingkungan  untuk mengurangi terjadinya kriminalitas anak.

  1. Faktor keluarga yang sangat dominan menentukan bagi perkembangan anak,bagaimana orang tua mengajarkan pendidikan agama dan budi pekerti yang baik.dan yang paling penting  orang tua memberikan contoh tauladan;
  2. Banyaknya kejahatan dan aksi kriminalitas yang dilakukan anak harus dilihat secara utuh, baik sebagai korban atau pelaku. Anak sebagai pelaku krimininalitas lebih banyak dipengaruhi faktor lingkungan dan pergaulan yang tidak bersahabat;
  3. Faktor lingkungan disekolah dengan pendidikan yang berkarakter sikap sopan santun bersikap jujur adil dalam prlaku sehari-hari , tentunya dengan sekolah yang ramah anak;
  4. Pemerintah harus memastikan muatan kekerasan dan konten pornografi tidak ditayangkan di media. Dan menggalakkan upaya pencegahan kekerasan dan kriminalitas anak. caranya dengan promosi kehidupan yang harmoni dan ramah anak. memberikan pendidikan yang ramah anak.

PERANGKAT HUKUM  PERLINDUNGAN ANAK

Komitmen Pemerintah terhadap perlindungan anak dalam konteks Internasional adalah dengan telah di ratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Dengan demikian, Indonesia telah mengikatkan diri untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam KHA.

 Kemudian diikuti dengan penandatanganan Deklarasi Konferensi Tingkat Tinggi Anak (KTT Anak) di New York, 30 September 1990 serta Deklarasi Stochklom untuk Agenda Aksi menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak tahun 1996.

Kewajiban dari Ratifikasi tersebut adalah Indonesia harus memberikan laporan atas pelaksanaan KHA secara periodik setiap lima tahun sekali. Kendati selalu mengalami keterlambatan, Indonesia telah mengirimkan laporan periodik ketiga dan keempat untuk periode 1997-2007 yang telah diterima oleh Komite Hak Anak PBB pada tanggal 18 Oktober 2012. Terakhir, Indonesia juga melakukan dialog dengan Komite Hak Anak sebagai badan pemantau Convention on the Rights of the Child atau CRC pada 5 Juni 2014 di Jenewa.

 INSTRUMEN INTERNASIONAL

  1. Keppres No.36/1990 tentang Pengesahan Convention on the
    Rights of the Child
    (Konvensi tentang Hak-hak Anak)
  2. Resolusi PBB No.40/33 tanggal 29 November 1985 tentang
    Peraturan-peraturan Standar Minimum PBB mengenai Administrasi Peradilan Anak (Beijing Rules)
  3. Resolusi PBB No.663C (XXIV) tahun 1957 tanggal 31 Juli 1957, dan Resolusi PBB No.2076 (LXII) tahun 1977 tanggal 13 Mei 1977 tentang Standar Minimum Perlakuan Terhadap Tahanan.
  4. Resolusi PBB No.45/113 tanggal 14 Desember 1990 Peraturan PBB untuk Perlindungan Anak yang Terampas Kemerdekaannya.
  5. Resolusi PBB No.45/112 tanggal 14 Desember 1990 tentang
    Pedoman PBB mengenai Pencegahan Tindak Pidana Anak (Riyadh Guidelines).

UNDANG-UNDANG & KESEPAKATAN PERADI DENGAN KEMENTERIAN PP&PA.

  1. UU No.11 tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak;
  2. UU No.35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No:23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
  3. UU No.16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum;
  4. Kesepakatan Bersama antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonsia dengan Perhimpunan Advokat Indonesia No.08/Set/MPP-PA/D.IV/04/2012, No.003/PERADI-DPN/MOU/IV/2012 tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

RERTORATIVE JUSTICE.

Konsep Restorative Justice (Keadilan Restoratif) pada dasarnya sederhana.Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman); namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan.

Hal ini didasarkan pada sebuah teori keadilan yang menganggap kejahatan dan pelanggaran, pada prinsipnya adalah pelanggaran terhadap individu atau masyarakat dan bukan kepada negara.Restorative Justice (Keadilan Restoratif) menumbuhkan dialog antara korban

Dalam ke-Indonesia-an, maka diartikan bahwa Restorative Justice sendiri berarti penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana dan secara bersama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

DIVERSI

Diversi atau penyelesaian perkara secara informal diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak tahun 2012. Dengan diversi, anak yang berhadapan dengan hukum akan diupayakan untuk menyelesaikan persoalan hukumnya secara musyawarah, dan dengan demikian tidak dikenai sanksi pidana pemenjaraan, melainkan lebih kepada pembinaan.

Penerapan diversi didasarkan pada pertimbangan masa depan dari si anak. Dalam prosesnya, akan dilibatkan psikolog, polisi, advokat, jaksa, hakim, petugas Bapas, petugas Lapas dan warga masyarakat. Namun diversi hanya bisa diterapkan kepada anak yang bukan resedivis dan tindak kejahatan yang dilakukan ancamannya tidak di atas tujuh tahun penjara.

Pasal 8 ( 1 ) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orangtua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

Pasal 10 ( 1 ) Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari upah mimimum provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat dilakukan oleh Penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat.

PENUTUP

Anak sebagai generasi penerus bangsa berhak memperoleh perlindungan baik secara fisik,mental maupun sosial sehingga anak dapat tumbuh berkembang secara sehat dan wajar. Aparat Penegak Hukum wajib memberikan perlindungan kepada anak berhadapan dengan hukum dengan  peraturan yang berlaku. Pendekatan keadilan Restoratif perlu dijadikan sebagai landasan pelaksanaan sistim peradilan anak terpadu bagi anak yang berhadapan dengan hukum.

Oleh:

Sonny Kusuma, S.H., M.H., CP,Sp.

Advokat & Anggota Tim Modul Sistim Peradilan Pidana Anak ( SPPA ) bagi Aparat Penegak Hukum/Instansi Terkait Kementrian Hukum RI & HAM-UNICEF.

 

You may also like...