Prof Eddy: “Eksaminasi Atas Pemberhentian KPU, Evi Novida”

(Prof Edward Omar Sharif Hiariej, Sumber Gambar: hukumonline.com)

Kasus Posisi

  1. Bahwa Putusan DKPP dalam perkara a quo telah memberhentikan secara tetap Evi Novida Ginting Manik sebagai Anggota KPU dan peringatan keras terakhir terhadap beberapa Anggota KPU lainnya.
  2. Bahwa Pengadu, Hendri Makaluasc dalam sidang terbuka Majelis DKPP pada tanggal 13 November 2019 telah mencabut aduan.
  3. Bahwa Pasal 19 Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 manyatakan bahwa dalam hal Pengaduan dan/atau Laporan yang telah dicatat dalam Berita Acara Verifikasi Meteriil dicabut oleh Pengadu dan/atau Pelapor, DKPP tidak terikat dengan pencabutan Pengaduan dan/atau Laporan.
  4. Bahwa berdasarkan Pasal 31 ayat (4) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 antara lain menyatakan bahwa pelaksanaan persidangan meliputi mendengarkan keterangan pengadu atau pelapor di bawah sumpah.
  5. Bahwa dalam banyak kasus yang diperiksa DKPP, persidangan tidak dilanjutkan manakala pengadu telah mencabut aduannya.

Permasalahan Yuridis

Berdasarkan Kasus Posisi di atas, adapaun permasalahan yuridis adalah apakah Putusan DKPP dapat dibenarkan, padahal Pengadu telah mencabut aduannya ?

Analisis Yuridis

Berdasarkan Kasus Posisi dan Permasalahan Yuridis, adapun analisis AHLI sebagai berikut :

PERTAMA, pembagian hukum secara garis besar meliputi hukum

materiil dan hukum formil. Hukum materiil adalah substansi suatu aturan, baik yang bersifat mengatur, perintah maupun larangan. Bahkan, adakalanya dalam perintah atau larangan tersebut disertai sanksi.

Sedangkan hukum formil atau disebut juga sebagai hukum acara adalah untuk menegakkan hukum materiil.

KEDUA, haruslah dipahami bahwa landasan filsafati hukum acara adalah untuk mencegah tindakan sewenang-wenang aparatur negara yang menggunakan hukum tersebut. Oleh karena itu hukum acara harus bersifat keresmian dengan berpegang pada prinsip lex scripta (aturan tertulis), lex certa (aturan yang jelas) dan lex stricta (aturan yang ketat).

KETIGA, dengan mengingat landasan filosofis, sifat dan prinsip dalam hukum acara, maka jika terdapat ketidakjelasan berlakulah postulat exeptio firmat regulam. Artinya, hukum acara harus diartikan sedemikian rupa sehingga tidak merugikan pihak yang terdampak dari putusan tersebut.

KEEMPAT, dalam hukum acara selalu mengatur hal ikhwal pembuktian yang bersifat rigid dan tidak dapat disimpangi. Oleh sebab itu, hukum acara lebih menitikberatkan pada keadilan prosedural dan bukan keadilan substansial.

KELIMA, in casu a quo, Pengadu telah mencabut aduannya pada awal sidang, seyogyanya sidang tidak lagi dilanjutkan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan :

Pertama, dalam hukum acara berlaku postulat judex ne procedat ex officio yang berarti di mana tidak ada penggugat, di sana tidak ada hakim. Postulat tersebut mengandung kedalaman makna bahwa hakim hanya bersifat pasif atas pangaduan atau gugatan. Dengan demikian, ketika Pengadu telah mencabut aduan, maka perkara harus dihentikan.

Kedua, berkaitan dengan pembuktian. Pasal 31 ayat (4) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 menyatakan bahwa Persidangan DKPP antara mendengarkan keterangan Pengadu. Landasan filosofis ketentuan ini merujuk pada postulat actori incumbit probatio. Artinya, siapa yang mendalilkan, dialah yang wajib membuktikan. Pembuktian oleh Pengadu adalah causa proxima diperiksanya aduan lebih lanjut. Ketika aduan telah dicabut, secara mutatis mutandis tidak ada lagi dalil yang seharusnya dibuktikan Pengadu, maka dengan sendirinya pemeriksaan perkara tidak lagi dilanjutkan.

Ketiga, masih berkaitan dengan pembuktian, dalam perkara – selain kasus pidana – mengenal hirarki alat bukti. Bila merujuk kepada Pasal 31 ayat (4) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019, legal standing dan keterangan Pengadu diletakkan paling atas. Artinya, keterangan Pengadu menempati hirarki teratas untuk membuktikan dalil-dalil yang diungkapkan. Dengan demikian, ketika Pengadu mencabut aduannya, maka pembuktian lebih lanjut terhadap perkara a quo tidak dapat lagi dilanjutkan.

KEENAM, ketentuan Pasal 19 Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 yang menyatakan “tidak terikat” atas aduan atau laporan yang telah dicabut bersifat multi tafsir. Jika terjadi demikian, seyogyanya dikembalikan kepada adagium exeptio firmat regulam bahwa penafsiran tidak boleh merugikan pihak yang terdampak dari suatu putusan. Selain itu, dalam beberapa kasus, DKPP selalu menghentikan perkara bilamana Pengadu telah mencabut aduannya.

KETUJUH, masih terkait dengan ketentuan Pasal 19 Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 yang menyatakan “tidak terikat” atas aduan atau laporan yang telah dicabut, bila perkara a quo dilanjutkan, hal ini bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 yang mana Pengadu harus membuktikan dalil-dalil dalam aduannya. Bila merujuk postulat lex posteriori derogate legi priori yang berarti bahwa aturan yang baru mengesampingkan aturan yang terdahulu, seyogyanya jika Pengadu telah mencabut aduannya maka perkara tidak diteruskan karena berkaitan dengan pembuktian sebagaimana yang tercantum dalam aturan yang baru.

KEDELAPAN, pengaduan selalu didasarkan pada kerugian yang timbul pada Pengadu. Jika Pengadu telah mencabut aduannya, maka kerugian tersebut dianggap tidak pernah telah ada. Oleh sebab itu pembuktian terkait kerugian tersebut tidak perlu lagi dilanjutkan. Dengan kata lain persidangan terhadap perkara a quo haruslah dihentikan.

Kesimpulan

Berdasarkan Kasus Posisi, Permasalahan Yuridis dan Analisi Yuridis di atas, kesimpulannya adalah bahwa Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/ 2019 tidak berdasarkan atas hukum bahkan cenderung abuse of power.

Oleh:

Eddy O.S Hiariej

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta, 23 Maret 2020

You may also like...