Mewaspadai Kaum Belia Menjadi Calon Teroris

Seto Mulyadi (Sumber: merdeka.com)

BEBERAPA tahun lalu, aksi bom bunuh diri dilakukan oleh satu keluarga, lengkap kedua orangtua dan anak-anak mereka. Belum lama ini, aksi mengerikan serupa dilakukan oleh pasangan suami istri. Konon, bom bunuh diri adalah cara mereka melalui masa bulan madu. Kemudian, peristiwa penembakan sekaligus bunuh diri di Mabes Polri. Pelakunya ialah seorang wanita belia.

Regenerasi teror sedemikian rupa mendorong saya untuk menulis naskah ini.Ada dua pesan yang ingin saya sampaikan kepada khalayak. Pesan pertama untuk para orangtua. Dulu, seorang kader teror membutuhkan guru atau sosok yang berkarisma untuk mencuci otaknya. Itu artinya dibutuhkan interaksi antarindividu secara intensif agar proses radikalisasi alam pikiran dan perilaku dapat berlangsung tuntas.

Sekarang, regenerasi teror berlangsung melalui dua tahap yang sama sekali baru. Tanpa guru, tanpa tinggal di lokasi yang sama, tetapi proses menjelmanya seorang yang baik menjadi pelaku teror tetap dapat berlangsung. Didahului oleh proses swaradikalisasi.

Dengan mengandalkan informasi di media daring, media sosial, dan aplikasi pengiriman pesan berbasis ponsel, siapa pun secara mandiri dapat memengaruhi isi pemikirannya sendiri. Sifat media daring yang customizable semakin memungkinkan individu bersangkutan memilih jenis informasi yang ia inginkan.

Akibatnya, begitu berada di dalam pusaran informasi-informasi berbau teror, ia akan semakin mencandu dan semakin terobsesi pada kekerasan, serta tidak mudah untuk keluar dari situ. Tidak hanya tata nilai pribadi yang berubah secara besar-besaran. Perilakunya pun mengalami pembaruan total. Ia mulai belajar merakit bom, memetakan titik-titik kelemahan lokasi yang diincar, serta mengidentifikasi pola kebiasaan pihak yang ingin dihancurkannya. Setelah semua ‘keterampilan baru’ itu dianggap cukup, ia pun bersumpah untuk menjalankan operasi mautnya.

Ini saya istilahkan sebagai swaperekrutan. Pada titik inilah, sempurna sudah pemikirannya yang semakin radikal, tindak-tanduknya pun semakin nyata sampai ke titik brutal. Proses swaradikalisasi dan swaperekrutan ini, bila tidak segera diantisipasi, dikhawatirkan akan semakin menciptakan musim semi bagi berkecambahnya pelaku teror. Imajinasi saya ini, semoga keliru total. Untuk itu, saya menaruh harapan tinggi pada predictive policing dan counter narratives. Predictive policing adalah tagline yang (saat itu) diutarakan oleh Komjen Listyo Sigit pada saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan sebagai calon Kapolri.

Dengan predictive policing, Polri diharapkan dapat memantau, lalu menginterupsi secepat mungkin komunikasi-komunikasi teror yang berlalu-lalang di alam maya. Karena kalangan belia merupakan warga asli net (digital natives) maka—tak pelak—populasi kaum muda (termasuk anak-anak) boleh jadi akan semakin banyak terjaring. Dalam situasi seperti itu, predictive policing perlu semakin dijalankan oleh Polri dengan segala kearifan, dan patut disodorkan kepada individu-individu berusia anak-anak yang terpapar pada pesan-pesan ‘edukatif’ bermuatan teror.

Perlakuan terhadap mereka tentu patut dibedakan dengan penegakan hukum yang dikenakan terhadap netizen dewasa yang terindikasi menjadi pelaku teror. Predictive policing dapat diibaratkan sebagai jaring yang menangkap sampah yang mengalir di sungai deras. Agar dapat kembali menyirami lingkungan, sungai yang sama perlu dinaturalisasi dengan pasokan air bersih.

Adapun counter narratives adalah air bersih itu. Konkretnya, negara perlu menebar seluas-luasnya berbagai catatan prestasi tentang Pancasila sebagai ideologi bangsa. Apabila predictive policing bekerja masif, tapi pada saat yang sama dunia daring tetap penuh sesak dengan centang perenangnya kehidupan bernegara dan tidak ada narasi-narasi positif yang menandinginya, maka tidak tertutup kemungkinan akan ada sekian banyak warganet (terutama kalangan muda) yang tergoda untuk mencari tata nilai baru.

Tak terkecuali berkenalan, bahkan mengadopsi tata nilai yang menghalalkan darah manusia. Narasi-narasi tandingan, dengan demikian, dapat dipahami sebagai rekayasa virtual yang ditujukan agar kaum muda di Tanah Air tetap mempunyai perbendaharaan ingatan positif tentang Pancasila dalam jumlah yang memadai. Dengan ketersediaan pesan positif yang mencukupi, generasi muda kita akan berpuas hati dengan ideologi yang sejauh ini sudah menjadi kesepakatan nasional.

Sebagaimana kemerdekaan sebagai berkah dan rahmat Tuhan Yang Mahakuasa, tumpah ruahnya pasokan narasi lurus di dunia virtual akan meyakinkan kaum muda bahwa Pancasila adalah anugerah terbaik dari Tuhan bagi tanah tumpah darah dan seluruh rakyat Indonesia. Perlindungan khusus dari pesan bagi para orangtua, saya beralih ke pesan bagi masyarakat. Saya dapat membayangkan kegusaran khalayak luas ketika menyaksikan aksi teror yang dilakukan oleh sebuah keluarga. Namun, khalayak yang sama perlu kiranya diingatkan agar tidak melakukan stigmatisasi terhadap anak-anak dari orangtua yang melakukan aksi tersebut.

Bukan satu-dua kali anak atau keluarga pelaku teror terusir dari kampung halaman mereka. Warga tampaknya waswas bahwa anak atau keluarga pelaku teror cepat atau lambat juga akan menjadi teroris. Betapapun reaksi semacam itu dapat dipandang manusiawi, peraturan perundang-undangan melarang bentuk perlakuan tersebut. Pasal 59 ayat 2 butir o UU Perlindungan Anak memberikan jaminan bahwa anak-anak yang menjadi korban stigmatisasi harus memperoleh perlindungan khusus.

Stigmatisasi dimaksud, bahkan secara khusus disebut UU berkaitan dengan pelabelan yang dikenakan pada orangtua anak-anak tersebut. Dalam ungkapan sederhana, anak tidak sepatutnya terkena getah dari perbuatan jahat orangtua mereka. Konsekuensi Pasal 59 UU Perlindungan Anak adalah negara tidak boleh tinggal diam ketika menghadapi situasi anak-anak (dan keluarga) terpidana teroris—apalagi terduga teroris—diusir oleh masyarakat setempat.

Kepada anak-anak itu, negara wajib serta bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus berupa konseling, rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial (Pasal 71B). Secara berurutan, negara dimaksud adalah pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya (Pasal 59 ayat 1).

Kiranya negara perlu hadir. Sebab, apabila negara absen, justru tersedia alasan untuk risau bahwa pengabaian tersebut akan menabur benih-benih keliru pada diri anak-anak yang terusir itu. Padahal, justru regenerasi itulah yang ingin dihindari dan diputus secara bersama oleh kita semua. Semoga.*

Oleh:

Seto Mulyadi Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

Sumber: Opini Media Indonesia, 8 April 2021

You may also like...