Protokol Konstitusional Penundaan Pemilu

Sumber Gambar: tanda-baca.co.id
SPEKULASI penundaan pemilu yang ditengarai untuk syahwat perpanjangan periode Presiden/Wakil Presiden sepertinya belum usai, meskipun KPU RI dan Komisi II DPR RI sudah menyetujui jadwal pemungutan suara pemilu 14 Februari 2024. Khutbah penundaan itu kembali didengungkan oleh Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar, yang turut diamini pula oleh Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan. Saat yang sama Ketum Golkar Airlangga Hartarto juga memberi Sinyal kuat, pemilu 2024 bisa diundur waktunya. Berikut dengan berbagai pertimbangan penundaan tersebut, dikarenakan stabilitas ekonomi, pandemi, perang (Rusia VS Ukraina) yang bisa berdampak pada perekonomian Indonesia, dan tingginya tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintahan Jokowi.
Tulisan singkat ini tidak lagi bermaksud untuk membantah satu-persatu argumentasi penundaan tersebut sebagaimana dihembuskan oleh tiga petinggi partai itu. Dengan mengingat bantahan yang demikian, sudah banyak bertebaran di berbagai media, termasuk tulisan Ibu Sri Rahmi di harian ini.
Lebih menarik untuk menjadi bahan diskusi kemudian, apakah penundaan pemilu yang berimplikasi pada habisnya masa jabatan Presiden/Wakil Presiden, DPR RI dan DPD RI, UUD NRI 1945 punya protokol konstitusional? Dengan mekanisme apa, dan pejabat siapa yang dapat mengisi tiga kekuasaan tersebut, saat semuanya sudah berakhir masa jabatannya?
Sudah banyak pakar dan profesor hukum tata negara mengemukakan bahwa masalah seperti ini harus ditinjau dari perspektif legalitasnya, dari sisi konstitusi, dengan pendekatan historis, yuridis, sosiologis, dan fungsional. Sayangnya, tinjauan perspektif konstitusi yang dimaksudkannya itu, tidak dikemukakan secara konkrit sebagaimana pendapat Prof. Yusril di berbagai lini media massa.
Sejarah Penundaan
Isu hukum penundaan pemilu dalam sejarah ketatanegaraan kita sesungguhnya sudah pernah terjadi, bahkan berkali-kali. Sejak Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta telah terpilih secara aklamasi sebagai Presiden dan Wakil Presiden, telah direncanakan penyelenggaraan pemilu pada Januari 1946 berdasarkan Maklumat Pemerintah 3 November 1945. Perencanaan pemilu 1946 nyatanya tidak berhasil, karena selain alasan keamanan (agresi militer Belanda) terjadinya pula perubahan bentuk negara kesatuan RI menjadi negara serikat. Nanti pada tahun 1955 berhasil dilaksanakan pemilu berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR.
Berdasarkan Pasal 59 UUDS 1950, yakni masa jabatan anggota DPR hanya selama 4 tahun. Maka berarti, pemilu selanjutnya yaitu pada tahun 1959. Namun pemilu 1959 dilakukan penundaan ke 1960 dengan lagi-lagi alasan keamanan. Penundaan ini mendapat sokongan dari sejumlah elit parpol yang sesungguhnya dilatari oleh ketakutan akan kecenderungan PKI merebut pemerintahan jika pemilu diselenggarakan pada tahun itu.
Akibat penundaan pemilu 1959, DPR hasil pemilu 1955 dibubarkan dengan Penpres Nomor 3 tahun 1960, yang kemudian dibentuk DPR sementara oleh Presiden Soekarno bernama DPR GR. Pemilu 1960 yang dijanjikan pada akhirnya kemudian batal, dan ditunda ke 20 Mei 1962. Dan seterusnya pemilu 1962 lagi-lagi ditunda karena alasan menunggu kembalinya Irian Barat ke pangkuan RI.
Baru kemudian pada tahun 1966 Soekarno kembali merencanakan jadwal pemilu setelah peristiwa G30S 1965. Sayangnya rencana itu tak kunjung datang hingga kejatuhannya dalam Sidang Istimewa dengan Ketetapan MPRS XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Tap MPRS tersebut selanjutnya memberikan mandat kepada Jenderal Soeharto untuk mengemban amanat sebagai Pejabat Presiden sampai dilaksanakannya Pemilihan Umum. Ketentuan ini juga merupakan tindak lanjut dari Tap MPRS XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan selambat-lambatnya pada 5 Juli 1968. Dalam perkembangannya, ternyata ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 TAP MPRS/MPRS/1966 tidak bisa dilaksanakan.
Langkah selanjutnya ialah mengubah Ketetapan tersebut dengan Ketetapan MPRS XLII/MPRS/1968 tentang Perubahan Atas Ketetapan MPRS XI/MPRS/1966 yang mengamanatkan Pemilu harus diselenggarakan selambat-lambatnya pada 5 Juli 1971. Pemilu kedua, baru bisa diselenggarakan pada 5 Juli 1971, yang berarti setelah empat tahun Soeharto berada di kursi prabon kepresidenan.
Penundaan pemilu 1968 kala itu mengalami penundaan tentu tidak dapat dilepaskan dari sentimen politik PKI beserta dengan ketakutan akan kembali menguatnya dukungan ke Soekarno. Dan perlu diingat setelah pemilu 1971, ada jeda 6 tahun kemudian, baru diadakan pemilu lagi (1977). Lagi-lagi, persoalannya hegemoni pemerintah melalui penyederhanaan partai dan golongan karya. Ritual siklus pemilu lima tahunan baru tampak nyata setelah pemilu 1977 hingga pemilu 1998.
Namun satu hal yang perlu dicermati untuk pemilu 1955 di masa orde lama dengan payung hukum UUDS, di sana tidak ada ketentuan mengenai jadwal lima tahunan pemilu. Salah Soekarno dengan dekritnya, ia berwenang membubarkan DPR, tetapi ia sesungguhnya tidak berwenang untuk mengangkat DPR GR dari DPR RI 1955 (yang masa jabatannya sudah habis).
Demikian pula dengan UUD 1945 (sebelum amandemen) yang menahkodai pemerintahan orde baru, sekalipun ditentukan masa jabatan presiden selama lima tahun, tapi MPR (DPR – utusan daerah – utusan golongan) yang memilih dan mengangkat presiden tidak terbatas kekuasaannya, sehingga tanpa pemilu pun, dua elemen kekuasaan ini tetap bisa eksis.
Sejarah ketatanegaraan penundaan pemilu, jika hendak dijadikan preseden untuk penundaan pemilu 2024, sesungguhnya tidak tepat. Dengan alasan, dahulu selain tidak dikenal siklus pemilu lima tahunan dalam UUDS dan UUD 1945, tanpa pemilu pun tidak akan meninggalkan vakumnya kekuasaan parlemen dan presiden. Berbeda dengan UUD NRI 1945 (pasca amandemen), begitu pemilu 2024 ditunda, maka saat yang sama DPR – DPD (MPR) dan Presiden, pasti akan habis masa jabatan untuk semuanya.
Pasal 22 E
Sejumlah pengamat dan politisi mengutip Pasal 22 E ayat 1 UUD NRI 1945 untuk menguatkan pendapatnya tentang inkonstitusionalnya penundaan pemilu 2024. Namun dalam hemat saya, ketentuan ini tidaklah mengunci untuk tidak dapatnya dilakukan penundaan pemilu yang berimplikasi pada hal-hal habisnya masa jabatan DPR – DPD (MPR) dan Presiden.
Dalam perdebatan para anggota PAH BP MPR, tentang Pasal 22E memang terjadi diskusi alot mengenai siklus lima tahunan pemilu (asas pemilu berkala). Ada yang mengusulkan agar digunakan kalimat “selambat-lambatnya” lima tahun, untuk menghindari kalau dilakukan percepatan pemilu (seperti pemilu 1999). Atau dalam hal misalnya Presiden dan Wakil Presiden mangkat, maka bisa dilakukan percepatan pemilu. Namun usulan itu kemudian bisa terkonsolidasi, tidak diperlukan kalimat selambat-lambatnya, karena pun kalau terjadi kekosongan masih dapat dilakukan pengisian melalui pemilihan oleh MPR yang diusulkan oleh Parpol atau gabungan Parpol yang Paslon Presiden dan Wapresnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya, sampai habis masa jabatannya (Pasal 8 ayat 3 UUD NRI 1945).
Tidak sempat terbesit di pikiran PAH amandemen UUD kala itu, kalau penundaan pemilu bisa berdampak pada kevakuman kekuasaan Presiden dan MPR. Dipikirannya, kalaupun terjadi penundaan, tetap diharapkan terselenggara pemilu dengan hasil akhir, jabatan Presiden, DPR, dan DPD akan terisi tepat pada waktunya. Itulah sebabnya mereka pada bersepakat untuk masalah penundaan pemilu cukup diatur dalam undang-undang, yang kemudian dikenal ada pemilu susulan dan ada pemilu lanjutan.
Protokol Konstitusional
Tanpa bermaksud setuju dengan usulan penundaan pemilu, apalagi dengan alasan stabilitas ekonomi, dan pandemi yang masih debatable. Perlu dipikirkan hal krusial lainnya, kalau terjadi peperangan, kekacauan massal, bencana alam yang meluluhlantakkan Ibukota negara, menyebabkan memang pemilu tidak bisa lagi diadakan sama sekali. UUD NRI 1945 sudah pasti harus memberikan jalan keluar sebagai bentuk dan keadaan hukum protokol konstitusional penundaan pemilu.
Berharap kepada pelaksana tugas Presiden, Menlu, Mendagri, dan Menhan, sudah pasti juga tidak mungkin karena pejabatnya pun sudah berakhir. Selain kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan membentuk undang-undang, masih ada tertinggal kekuasaan kehakiman, yaitu MK dan MA. MK harus segera mengeluarkan putusan sebagai interpretasi konstitusional perihal perpanjangan masa jabatan DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden sampai selesai dilaksanakannya pemilu.*
Oleh:
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Alumni PPs Hukum UMI Makassar
ARTIKEL INI SEBELUMNYA TELAH DIMUAT DI HARIAN TRIBUN TIMUR MAKASSAR, 7 MARET 2022