Menegakkan Geopolitik Bebas Aktif

I GEDE WAHYU WICAKSANA (sumbe r image: jawapos.com)

MASYARAKAT dunia menanti kapan dan bagaimana perang antara Rusia dan Ukraina berakhir. Berbagai skenario ramai diperbincangkan. Misalnya, bila Rusia kalah, artinya Presiden Vladimir Putin akan kehilangan muka dan mungkin harus meninggalkan pucuk kepemimpinan di Kremlin.

Sebaliknya, jika Rusia menang dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky terguling, Barat (Amerika Serikat dan sekutu NATO) akan melakukan pembendungan (containment) agar Putin tidak tambah agresif. Masih ada sederet prediksi yang beredar dan hampir semua berpusat ke pergeseran geopolitik global, khususnya perimbangan kekuatan (balance of power) di Eropa, Timur Tengah, dan Asia-Pasifik.

Bagi Indonesia, apa pun hasil perang Rusia-Ukraina akan mempunyai dampak geopolitik sama, yakni mempercepat pembentukan tatanan kawasan Asia-Pasifik atau Indo-Pasifik yang sedang bergulir. Logikanya sederhana. Semua aktor yang berkepentingan dalam perang di Ukraina, baik langsung maupun tidak langsung, memiliki peran dan pengaruh di Asia-Pasifik.

Dinamika ekonomi, keamanan, dan politik Asia-Pasifik selama tiga dasawarsa setelah Perang Dingin semakin rentan terhadap intrusi beragam bentuk kebijakan negara-negara besar. Seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, India, Jepang, dan Rusia yang tengah bersaing untuk mempromosikan dan menegakkan formula orde mereka masing-masing. Respons Tiongkok dan India masih pasif terhadap serangan Putin ke Ukraina. Padahal, Tiongkok telah membangun relasi ekonomi strategis dengan Rusia dan India dibantu Rusia saat menghadapi konflik perbatasan dengan Tiongkok. Sementara itu, Tokyo dan Washington tegas menentang Moskow, tetapi belum juga ada gerakan mengarah ke konfrontasi militer dengan Rusia.

Sejak 2017 AS, Australia, India, dan Jepang mereaktivasi kerja sama militer the Quad yang ditanggapi dingin oleh Tiongkok dan Rusia. Sejauh ini yang bisa ditafsirkan ialah semua menunggu sambil menghitung efek untung rugi perang terhadap kepentingan nasional mereka.

Yang menarik untuk dibandingkan dengan Indonesia ialah sikap India. Jakarta dan New Delhi merupakan dua pilar sejarah gerakan nonblok. Dengan alasan mempertahankan posisi tidak memihak, India memilih abstain terhadap resolusi PBB yang mengutuk agresi Putin. Sedangkan Indonesia mendukung, namun dalam pernyataan resmi tidak menyebut kata invasi maupun menyalahkan Rusia. Keputusan ini dikaitkan dengan kepentingan ekonomi bersama Rusia yang sedang tumbuh, alasan kemanusiaan terhadap rakyat Ukraina, hingga menjaga reputasi Indonesia di G20.

Sepintas lalu kedua negara terlihat nonblok. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pendirian mereka didasarkan pada pemahaman tentang geopolitik? India mengerti geopolitik, karena dengan cara abstain India berupaya untuk berada di tengah-tengah Rusia dan the Quad. Di mana panggung Asia-Pasifik menjadi pertimbangan utama.

Sedangkan Indonesia memilih tidak menyudutkan Rusia sekaligus bersimpati kepada Ukraina tanpa visi geopolitik Indo-Pasifik, melainkan sebatas kepentingan pragmatis. Padahal, arena utama hubungan internasional Indonesia adalah Indo-Pasifik, bukan organisasi seperti G20. Kiprah presidensi G20 hanya setahun, sedangkan keterlibatan dalam perhelatan geopolitik Indo-Pasifik merupakan keniscayaan. Memosisikan diri nonblok agar legitimasi dalam G20 terjamin menunjukkan kegagalan memahami geopolitik.

Nonblok hanyalah satu taktik dari politik luar negeri bebas aktif. Makna dan tujuan bebas aktif sering dikecilkan seolah harus selalu nonblok. Sejatinya bebas aktif berarti Indonesia independen dalam menentukan pilihan kebijakan luar negeri dan aktif memperjuangkan kepentingan nasional. Indonesia boleh saja memihak asalkan opsi yang diambil benar-benar bermanfaat bagi kepentingan vital bangsa. Pencetus bebas aktif Mohammad Hatta menginginkan agar kiprah Indonesia di kancah dunia tidak didorong oleh kehendak atau kebutuhan negara lain.

Kalau tidak ada kepentingan negara lain, untuk apa wakil menteri luar negeri AS berterima kasih karena Indonesia telah turut mensponsori resolusi antioperasi militer Rusia? Ini kepentingan siapa? Seperti kasus integrasi Timor Timur yang juga diminta oleh Washington, namun akhirnya mereka juga yang memojokkan Indonesia atas pelanggaran HAM di sana. Indonesia harus hati-hati.

Seperti India, Indonesia sudah punya kemitraan ekonomi strategis dan kerja sama alutsista dengan Rusia. Tidak ada skema komprehensif di bidang ekonomi dan militer dengan Ukraina. Lalu atas dasar kepentingan apakah Jakarta menyetujui resolusi yang mengecam Rusia? Hal ini bukan semata soal bahasa dan gestur diplomasi, tetapi konsiderasi geopolitik. Indonesia tidak pernah diajak masuk ke dalam the Quad meskipun secara geografis cakupan operasi the Quad meliputi perairan di sekeliling Nusantara.

Kalau saja mampu menilai arti penting ekuilibrium kawasan, para pembuat keputusan pasti tidak akan mengambil opsi keliru seperti mendukung resolusi terhadap Rusia. Beda dengan India yang tahu betul bahwa untuk mewujudkan keseimbangan di Asia-Pasifik, harus benar-benar imparsial.

Barangkali karena pemerintah sekarang tidak lagi bicara tentang poros maritim sehingga Indo-Pasifik kurang atau tidak mendapat perhatian serius. Prioritas kebijakan diplomasi periode kedua Presiden Joko Widodo adalah ekonomi dan peningkatan peran di lembaga-lembaga multilateral global. Oleh sebab itu, G20 dinilai sangat penting. G20 memang wadah diplomasi ekonomi prestisius, namun tidak punya nilai geopolitik strategis bagi Indonesia. Sekadar forum pertukaran gagasan dan rekomendasi kebijakan finansial. Di tingkat implementasi belum ada bukti empiris diplomasi G20 mampu mereformasi tatanan ekonomi dunia agar lebih menguntungkan negara-negara berkembang.

Tujuan jangka panjang politik luar negeri Indonesia harus kembali dijangkarkan pada elemen-elemen esensial geopolitik di wilayah Asia dan Pasifik. Integritas teritorial dan kedaulatan bangsa Indonesia terkait langsung dengan keamanan Indo-Pasifik.

Sejauh ini instrumen terpenting yang dimiliki Indonesia adalah ASEAN dan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific sebagai prakarsa kolektif negara-negara Asia Tenggara untuk berkontribusi dalam proses pembangunan ketertiban dan stabilitas kawasan. Bagaimana ASEAN Political and Security Community merespons perkembangan geopolitik ke depan masih belum ada tanda-tanda yang jelas. Semua negara besar dan kuat di Asia-Pasifik terhubung dengan ASEAN Regional Forum dan berkomitmen patuh pada ASEAN Treaty of Amity and Cooperation. Mereka semua juga berpartisipasi dalam diplomasi pertahanan ASEAN Defence Ministers Meeting. Dalam dua institusi ini peran ASEAN masih hanya sebagai hub, bukan driver.

Mengapa tidak memanfaatkan momentum saat ini untuk mengintensifkan dan meng-upgrade peran sebagai driver di ruang geopolitik sendiri? Jangan menunggu hingga the Quad atau siapa pun mengambil alih Indo-Pasifik. ●

 

Oleh:

I GEDE WAHYU WICAKSANA

Dosen Hubungan Internasional FISIP Unair Surabaya

JAWA POS, 7 Maret 2022

Sumber : https://www.jawapos.com/opini/07/03/2022/menegakkan-geopolitik-bebas-aktif/

You may also like...