Memahami Situasi di Ukraina
Situasi di Ukraina telah bereskalasi menjadi perang terbuka antara Rusia dan Ukraina. Korban telah berjatuhan dan dunia sedang berupaya untuk menghentikannya. Apabila berlanjut dan pasukan dari berbagai negara terlibat, bukannya tidak mungkin Perang Dunia III tidak terelakkan.

Hikmahanto Juwana (Sumber: tribunnewswiki)
Dua narasi
Dalam perspektif Rusia, operasi militer yang dilancarkan adalah dalam rangka kerja sama pertahanan antara Rusia dan dua republik yang baru saja mendapatkan pengakuan dari Rusia pada 21 Pebruari 2022 atas kemerdekaannya dari Ukraina, yaitu Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Lugansk. Dua republik ini diproklamirkan oleh para separatis Ukraina sejak 2014.
Presiden Rusia Valdimir Putin mendalilkan operasi militer tersebut dilakukan berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB yang memberi hak negara untuk membela dirinya baik secara individual maupun kolektif melalui pakta pertahanan. Bagi Putin, tindakan polisionil yang dilakukan oleh Ukraina merupakan agresi terhadap dua negara yang telah diakui oleh Rusia.
Sementara dalam perspektif Ukraina, pengakuan Rusia terhadap Republik Rakyat Donetsk dan Lugansk dianggap sebagai tindakan Rusia tidak menghormati integritas wilayah Ukraina. Terlebih serangan senjata (armed attack) yang dilancarkan oleh Rusia merupakan serangan agresi dari suatu negara terhadap Ukraina.
Serangan balasan yang dilakukan oleh Ukraina pun didasarkan pada Pasal 51 Piagam PBB. Dalam konteks demikian, hukum internasional hanya digunakan sebagai legitimasi baik Rusia maupun Ukraina untuk menggunakan kekerasan (use of force).
Ukraina mafhum apabila militer mereka berhadapan dengan Rusia, maka akan sulit untuk memukul mundur Rusia. Di sinilah dalam beberapa minggu belakangan Ukraina berkeinginan untuk bergabung dengan NATO. Apabila Ukraina tergabung dalam NATO, maka serangan terhadap satu anggota NATO berarti serangan terhadap semua anggota NATO.
Ini pun yang diharapkan oleh NATO sehingga NATO memiliki legitimasi untuk menyerang balik serangan senjata dari Rusia. Tidak heran apabila Presiden Putin beberapa waktu lalu mengancam akan menyerang Ukraina apabila Ukraina bergabung ke NATO.
Untuk dipahami saat ini, Presiden Ukraina tidak sama dengan Presiden Ukraina sebelumnya yang sangat pro terhadap Rusia. Hal ini yang membuat Presiden Putin merasa tidak nyaman dengan kebijakan Presiden Ukraina.
Mengecam
Mayoritas negara Eropa Barat dan Amerika Serikat serta Australia berada di pihak Ukraina dan karena itu menyesalkan dan mengecam operasi militer yang dilancarkan oleh Presiden Putin. Operasi milter yang dilancarkan oleh Rusia dan serangan balik oleh Ukraina berpotensi untuk bereskalasi menjadi PD III apabila negara-negara pendukung Ukraina menerjunkan pasukan militernya.
Berbagai upaya telah dilakukan. Negara-negara Eropa Barat dan AS menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia agar Rusia menghentikan aksinya. Namun, sanksi tersebut tidak akan efektif karena tiga alasan.
Pertama, sanksi ekonomi baru akan terasa di level masyarakat Rusia dan para elite dalam waktu enam bulan bahkan satu tahun ke depan.
Kedua, pengenaan sanksi ekonomi terhadap Rusia besar kemungkinan tidak berpengaruh secara signifikan. Ini berbeda apabila sanksi ekonomi dikenakan kepada Iran ataupun Korea Utara.
Ketiga, bukannya tidak mungkin Rusia saat dikenai sanksi ekonomi masih mendapat bantuan dari para sekutunya, bahkan oleh China yang melihat potensi keuntungan secara finansial. Ini mengingat penjatuhan sanksi ekonomi dilakukan oleh setiap negara yang menentang Rusia, bukan oleh Dewan Keamanan (DK) PBB.
Peran Indonesia
Presiden Joko Widodo telah tepat menyatakan sikap Indonesia terkait situasi di Ukraina dengan mengatakan, ”Penanganan krisis Ukraina harus dilakukan secara cermat agar bencana besar bagi umat manusia bisa dihindarkan.” Pernyataan Presiden telah konsisten dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
Apabila Presiden mengecam, bahkan menyebut Rusia telah melakukan ”invasi”, maka terlihat keberpihakan Indonesia terhadap Ukraina yang didukung oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat serta Australia.
Presiden Jokowi juga menghindari diri untuk membuat pernyataan yang membenarkan sikap Presiden Putin untuk mengakui dua Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Lugansk. Oleh karena itu, siapa pun yang kalah ataupun menang dalam peperangan di Ukraina tidak bisa menuduh Indonesia memiliki keberpihakan.
Sikap tidak memihak Indonesia bukan berarti Indonesia hendak mencari selamat, melainkan ini dilakukan agar Indonesia dapat secara aktif berupaya agar perang tidak bereskalasi menjadi lebih besar. Indonesia dengan politik luar negeri bebas aktif tidak boleh sekadar menjadi penonton, tetapi harus mengambil berbagai inisiatif agar perdamaian tercipta.
Inisiatif ini semakin penting dirasakan karena Indonesia saat ini sedang menjabat presidensi G20. Satu-satunya upaya terbuka untuk penyelesaian damai adalah melalui Majelis Umum (MU) PBB. Dalam MU PBB semua negara anggota mempunyai kedudukan yang sama dan tidak ada yang mempunyai hak veto. Semua negara anggota memiliki satu suara yang sama.
Dalam sejarahnya, MU PBB pernah melaksanakan tugas menjaga perdamaian. Pada tahun 1950 saat pecah perang di Semenanjung Korea, MU PBB mengeluarkan resolusi yang disebut sebagai Uniting for Peace.
Hasil konkret dari penyelesaian Ukraina di MU PBB adalah diterbitkannya resolusi yang meminta negara-negara yang bertikai untuk segera melakukan gencatan senjata. Apabila resolusi ini tidak dipatuhi, maka MU PBB memberi mandat kepada negara-negara untuk mengerahkan pasukan terhadap negara yang tidak mematuhi gencatan senjata.
Untuk keberhasilan tugas MU PBB, Presiden Jokowi dapat mengutus Menlu Retno LP Marsudi untuk melakukan shuttle diplomacy dengan melakukan pembicaraan ke berbagai pihak, termasuk Sekjen PBB, Menlu Rusia, Menlu Ukraina, menlu negara-negara Eropa Barat dan AS.
Menlu juga perlu melakukan pembicaraan dengan menlu berbagai negara di Asia, Afrika, Eropa Timur, hingga Amerika Latin mengingat apabila saling serang yang terjadi di Ukraina dibiarkan terus akan menjadi cikal bakal PD III.
Saatnya sekarang bagi Indonesia untuk tampil dalam rangka ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Oleh:
HIKMAHANTO JUWANA
Guru Besar Hukum Internasional UI; Rektor Universitas Jenderal A Yani
KOMPAS, 9 Maret 2022