Serba Aneh Alasan Ringankan Hukuman Edhy

Sumber Gambar: Harian Mistar
Putusan kasasi yang memangkas hukuman Edhy Prabowo kian menguatkan tren pengurangan hukuman di Mahkamah Agung. MA sudah berulang kali memotong hukuman maupun membebaskan terdakwa korupsi.
Pegiat antikorupsi menganggap putusan kasasi Mahkamah Agung atas kasus suap Edhy Prabowo menguatkan tren buruk pemberantasan korupsi. Sebab, dalih hakim kasasi Mahkamah Agung meringankan hukuman Edhy justru sesungguhnya menjadi faktor terjadinya kasus suap izin ekspor benih lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan itu.
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yuris Rezha Kurniawan, mengatakan pertimbangan hakim kasasi Mahkamah Agung yang menilai Edhy berkinerja baik saat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan justru mencederai semangat pemberantasan korupsi. “Publik akan menilai Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga yang memperberat langkah negara untuk memerangi korupsi,” kata Yuris, Kamis, 10 Maret 2022.
Senin, 7 Maret lalu, tiga hakim Mahkamah Agung membacakan vonis kasasi kasus suap Edhy Prabowo. Ketiga hakim kasasi itu adalah Sofyan Sitompul (ketua), Gazalba Saleh (anggota), dan Sinintha Yuliansih Sibarani (anggota). Sofyan dan Gazalba memutuskan memangkas hukuman Edhy dari 9 tahun menjadi 5 tahun penjara karena dianggap berjasa kepada nelayan dengan mengizinkan ekspor benur. Keduanya merujuk pada Peraturan Menteri Kelautan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Benih Lobster, Kepiting, dan Rajungan, yang isinya mengatur pencabutan larangan ekspor benih lobster. Adapun Sinintha berbeda pendapat atau dissenting opinion.
Meski mengurangi hukuman Edhy, ketiganya tetap menyatakan Edhy terbukti bersalah karena menerima suap terkait dengan izin ekspor benih lobster. Edhy menerima suap Rp 25,7 miliar terkait pengurusan izin ekspor benih lobster. Uang itu diperoleh melalui Andreau Misanta Pribadi dan Safri (keduanya staf khusus Edhy); Amiril Mukminin, sekretaris pribadi Edhy; Ainul Faqih, staf pribadi istri Edhy, Iis Rosita Dewi; serta Siswadhi Pranoto Loe, pemilik PT Aero Cipta Kargo.
Hakim kasasi tetap menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengenai pembayaran uang pengganti dan hukuman tambahan. Edhy tetap divonis membayar uang pengganti Rp 9,68 miliar dan US$ 77 ribu. Hakim kasasi juga mencabut hak politik Edhy untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun.
Yuris Rezha Kurniawan mengatakan vonis kasasi terhadap Edhy ini semakin menguatkan tren pengurangan hukuman kasus korupsi di tingkat Mahkamah Agung. Selain Edhy, MA sudah berulang kali mengurangi hukuman, bahkan membebaskan, terdakwa korupsi.
Misalnya kasus korupsi alat kesehatan di Banten dengan terdakwa Tubagus Chaeri Wardana, adik Atut Choisiyah, mantan Gubernur Banten. Mahkamah Agung mengurangi hukuman Wawan dari 7 tahun menjadi 5 tahun penjara pada 2021. Selanjutnya, Mahkamah Agung membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung dalam kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada 2019. Padahal, di tingkat banding, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional itu divonis 15 tahun penjara.
Hukuman advokat Lucas dalam kasus merintangi penyidikan perkara korupsi Eddy Sindoro—Presiden Komisaris Lippo Group—juga dipangkas dua tahun penjara di tingkat kasasi pada 2019. Saat Lucas mengajukan peninjauan kembali, MA membebaskan Lucas karena dinilai tak terbukti merintangi penyidikan.
Hukuman dua terdakwa korupsi e-KTP, Irman dan Sugiharto—keduanya mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri—juga dikurangi di tingkat kasasi pada 2020. Hukuman Irman dikurangi dari 15 tahun menjadi 12 tahun penjara dan Sugiharto dari 15 tahun menjadi 10 tahun penjara.
Mahkamah Agung juga berulang kali menolak kasasi kasus korupsi yang diajukan oleh penegak hukum. Salah satunya adalah kasasi jaksa pada KPK atas vonis bebas mantan Direktur Utama PT PLN, Sofyan Basyir, dalam kasus korupsi PLTU Riau 1 pada 2020.
Dua hakim Mahkamah Agung yang menangani kasus Edhy Prabowo, yaitu Sofyan Sitompul dan Gazalba Saleh, ikut menangani sejumlah perkara korupsi di atas. Misalnya Sofyan Sitompul adalah anggota majelis hakim yang menolak kasasi KPK atas vonis bebas Sofyan Basir dan membebaskan Lucas lewat peninjauan kembali.
Kemudian Gazalba Saleh menjadi anggota majelis hakim peninjauan kembali perkara Rohadi, mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Hukuman Rohadi disunat dari 7 tahun menjadi 5 tahun penjara pada 2021.
“Kami menilai bahwa tren pemotongan vonis koruptor oleh MA ini bisa menurunkan martabat hakim itu sendiri,” kata Yuris. “Jika ini terus berlanjut, tentu akan ikut menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.”
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, sependapat dengan Yuris. Kurnia juga menyoroti tren pemotongan hukuman di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali, termasuk dalam kasus Edhy Prabowo. Dia mengatakan argumen hakim terhadap putusan kasasi Edhy sangat absurd.
“Jika memang Edhy bekerja baik dan telah memberi harapan kepada masyarakat, tentu ia tidak diproses hukum oleh KPK,” kata Kurnia.
Menurut Kurnia, majelis hakim seolah-olah mengabaikan ketentuan Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menegaskan adanya pemberatan hukuman bagi seorang pejabat negara yang melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan, maupun sarana yang diberikan kepadanya.
Juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro, tak merespons konfirmasi Tempo saat dihubungi mengenai kritik ini. Adapun pengacara Edhy Prabowo belum berhasil dikontak. Dalam persidangan, Edhy berulang kali membantah terlibat dalam kasus suap izin ekspor benur tersebut.
Juru bicara Komisi Yudisial, Miko Ginting, mengatakan lembaganya akan mempelajari lebih dulu putusan kasasi Edhy Prabowo tersebut. Ia menegaskan, koridor kewenangan Komisi Yudisial adalah menjaga kode etik dan pedoman perilaku hakim. Karena itu, sepanjang ditemukan dugaan pelanggaran perilaku, Komisi Yudisial dapat menindaklanjutinya. Di samping itu, Komisi Yudisial juga berwenang menganalisis putusan yang berkekuatan hukum tetap.
“Putusan bisa jadi pintu masuk untuk menelusuri dugaan pelanggaran perilaku hakim, tapi bukan untuk menyatakan benar atau tidaknya putusan karena itu jalurnya upaya hukum,” kata Miko.
Adapun KPK berharap putusan Mahkamah Agung, termasuk dalam kasus Edhy Prabowo, seharusnya mampu memberi efek jera, mencegah perbuatan serupa terulang, serta mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. “Putusan majelis hakim seyogianya juga mempertimbangkan hakikat pemberantasan korupsi sebagai extra ordinary crime,” kata juru bicara KPK, Ali Fikri.
EGI ADYATAMA | ROSSENO AJI | KHORY ALFARIZI
Sumber: Koran Tempo 11 MARET 2022