Koran Tempo: “Wawancara Korban Kerangkeng Bupati Langkat, Saya Seperti Sudah Melihat Neraka”

Sumber Gambar: kompas.com

Untuk pertama kalinya, korban kasus kerangkeng Bupati Langkat buka suara. Korban bercerita soal penyiksaaan yang mereka alami, menunjuk pelakunya serta peran masing-masing, termasuk Terbit Rencana Perangin Angin dan anaknya, DPA.

Joko—bukan nama sebenarnya—angkat bicara soal lembaran gelap dalam hidupnya: menghuni kerangkeng Bupati Langkat. Dia menjadi satu dari 656 korban penjara rumahan yang berdiri sejak 2010 di pekarangan rumah Terbit Rencana Perangin Angin, di Desa Raja Tengah, Langkat, Sumatera Utara, itu.

Selama lebih dari dua jam, Joko bercerita secara detail soal penyiksaan yang ia alami ketika menjadi tahanan di rumah Terbit. Dari pencabutan kuku sampai saat dia melihat korban meninggal. Namun banyak bagian dari keterangan Joko yang tidak dapat dipublikasikan untuk menjaga kerahasiaan identitasnya, seperti yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Keselamatan Joko terancam karena pelaku kasus penyiksaan yang juga berujung kematian ini masih belum tersentuh hukum.

Selama setahun lebih di kerangkeng, Joko mengatakan penyiksaan dan kerja paksa menjadi agenda hariannya. Mantan pecandu sabu itu kebagian kerja di kebun dan pabrik pengolahan sawit milik keluarga Terbit. Rekan-rekan tahanannya ada yang kerja di kebun, ada juga yang menjadi kuli untuk membangun rumah Ketua Partai Golkar Kabupaten Langkat periode 2015-2020 tersebut.

“Kerja terus Senin sampai Minggu. Dapat hasil, tidak. Dapat gaji, tidak,” ujar Joko kepada wartawan Tempo, Imam Hamdi dan Rosseno Aji, kemarin, 20 Maret.

Untuk memastikan keakuratan cerita Joko, Tempo juga mewawancarai tiga korban lain. Jawaban mereka saling menguatkan. Berikut ini petikan wawancaranya.

*Mengapa Anda ditahan di rumah Bupati Terbit Perangin Angin?*

Karena masalah narkoba. Saya kecanduan sabu sampai tidak terkontrol dan menjual harta milik keluarga. Saya diminta keluarga untuk rehabilitasi.

*Kapan Anda pertama kali masuk kerangkeng?*

Pada xxxx. Pertama masuk langsung dicambuk slang kompresor. Ada 50 kali. Yang mencambuk dua orang, TS dan US.
Mereka sebagai apa?
Dia kalapas (kepala lembaga pemasyarakatan) satu dan dua. Tinggal di dekat kereng. Dia juga pembina.

*Bagaimana reaksi penghuni lain saat melihat Anda disiksa?*

Saat masuk juga digebuki oleh penghuni lain. Ini seperti perkenalan. Dipukuli dengan perintah yang mengawasi.

*Anda juga diminta kerja di kebun sawit milik Terbit Perangin Angin?*

Setelah satu bulan baru dipekerjakan. Pertama bekerja menyortir buah sawit dari truk. Yang layak, turun. Yang tidak, dibawa pulang.
Selama di tahanan bekerja di pabrik?
Dua bulan saya di pabrik, lalu digeser lagi ke ladang sawit untuk panen. Saya bagian mukul buah sekitar tiga bulan. Setelah itu, saya kabur karena tidak kuat.

*Bisa kabur?*

Di akhir bulan enam, saya kabur bersama 14 orang. Kami kompak sama besker (pemegang kunci) untuk membuka pintu. Sebab, dia juga sudah 1 tahun 5 bulan bekerja di sana, tidak diperbolehkan pulang. Jam empat dibukalah pintu dan kami lari dari belakang kerangkeng, menyeberang sungai.

*Ke mana?*

Saya pulang ke rumah yang jaraknya 30 menit naik sepeda motor. Kami jalan kaki murni. Kaki kena duri, kaca, karena enggak pakai selop. Apa saja sudah tidak dirasakan, yang penting selamat.

*Apa reaksi keluarga Anda?*

Sampai di rumah ketemu orang tua, mereka terkejut. Kok belum selesai rehab bisa keluar? Saya bilang ke keluarga itu bukan rehab. Itu tempat penyiksaan. Kerja tidak ada liburnya. Sakit pun disuruh kerja.

*Orang-orang Terbit tidak mencari Anda?*

Saya minta ke orang tua agar bilang ke sana, jangan cari saya lagi. Dari komunikasi keluarga, katanya sudah aman. Jadi, saya di rumah saja. Tapi dua pekan kemudian, saya dijemput kembali.

*Siapa yang menjemput?*

Aparat yang bekerja di sana. Saya dijemput sekitar jam 21.00 atau 22.00. Sampai sana jam 23.00. Saya dihantam tidak berhenti sampai subuh. Kaki dan tangan kiri-kanan bengkak semua. Sampai azan subuh pun terus dihantam saya. Juga disuruh makan bawang bombai yang besar sama Ajinomoto supaya muntah. Saya dua kali nembak (muntah). Dua hari kemudian, DPA turun ke kereng.

*Apa yang dia lakukan?*

Dia menanyakan siapa yang lari? Saya jawab, “Saya, Bang.” Dia tanya lagi, “Lari, kau?” Saya mau bilang apa lagi. Saya diam saja. Lalu dia minta mata saya dilakban dan saya dibawa keluar. Di samping kereng, saya dicambuk pakai slang dan sapu. Kaki, tangan, dan punggung saya ditetesi plastik yang dibakar.

,,*Siapa yang melakukan?*

Aparat keamanan yang datang bersama DPA. DPA yang suruh. Kuku jempol kaki saya dipukul pakai martil sampai lepas dua-duanya. Setelah itu baru lakban penutup mata saya dilepas. Saya disuruh buka baju terus dicampakkan di kolam untuk mandi, lalu digosok sabun. Rasanya perih karena habis dibakar, kena slang, dan macam-macam. Tidak lama dari itu, saya demam.

(Dia kemudian memperlihatkan bekas luka bakar dan cambuk di sekujur punggungnya.)

*Rekan yang kabur bersama Anda tertangkap juga?*

Cuma tiga, termasuk saya. Ketiganya sama perlakuannya. Kalau dapat (tertangkap), memang setengah mati.

*Bupati Terbit Perangin Angin ikut memukuli?*

Dia cuma sering melihat-lihat untuk memantau.

*Mungkinkah kekerasan dilakukan tanpa sepengetahuan Terbit?*

Dia pasti tahu. Dia yang punya kerangkeng. Anak buahnya membantai kami. Otomatis, itu pasti suruhan dia. Dia harus ditindak. Terutama anaknya, DPA.

*Anda melihat langsung DPA menyiksa tahanan?,*

Tidak. Ada teman saya yang badannya ditempel besi panas. DPA yang menyuruh anak buahnya melakukan itu. Dia lalu melihatnya. DPA juga seperti (punya) hobi menyuruh anak buahnya melepas kuku tahanan. Seperti yang saya alami, digetok pakai martil sampai terlepas. Bayangkan sakitnya jika jari kaki tersandung saja sudah sakit.

*Anda menyadari ada tahanan yang meninggal?*

Ya. Namanya Suryanto Ginting. Saat masuk, dia memang terlihat kurang sehat. Sama seperti saya, dia disiksa. Dilakban matanya, lalu dibawa ke samping kereng.

*Dia disiksa karena kabur?*

Tidak. Karena kasus narkoba, dimasukkan sama keluarga. Dia ditanya soal mengkonsumsi sabu, tidak mengaku. Dia berkeras cuma minum tuak.

*Anda melihat penyiksaannya?*

Tidak, karena saya ada di dalam kereng. Saya kerja di pabrik sawit dari setengah delapan pagi sampai setengah enam sore. Jam 18.00 sampai kereng. Jadi, begitu sudah disiksa di samping kereng, dicampakkan di kolam ikan. Saya melihat saat dia masuk kolam karena posisinya di depan kereng. Setelah diceburkan, dia tidak nimbul lagi. Lalu dia diangkat dan sepertinya dibawa ke puskesmas. Kemudian kami diberi tahu bahwa dia meninggal.

*Sebelum kasus kerangkeng Bupati Langkat mencuat, warga Langkat tidak tahu soal penyiksaan itu?*

Tidak tahu karena dirahasiakan. Kalau mengadu, habislah saya. Saya bisa dimasukkan ke kereng lagi, dibantai lagi. Cukup sudah.

*Secara total, berapa lama Anda ditahan di kerangkeng Bupati Langkat?*

Aturannya, kalau sudah setahun, sudah boleh pulang. Di surat, begitu. Tapi, karena saya ada cacatnya, jadi ditambah tiga sampai empat bulan. Sakit di sana masih ada di alam pikiran saya. Saya trauma. Saya seperti sudah melihat neraka.

 

Sumber:

https://koran.tempo.co/read/nasional/472576/wawancara-korban-kerangkeng-bupati-langkat-saya-seperti-sudah-melihat-neraka

Koran Tempo, 21 MARET 2022

You may also like...