Hati-hati Menunda Pemilu

Sumber Gambar: rakyat.com

Wacana presiden tiga periode dan penundaan pemilu, setelah sempat timbul tenggelam, belakangan ini kembali mencuat. Pandemi Covid-19 menjadi alasannya.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia yang pertama kali mengungkapkannya. Dia mengatakan, sejumlah pengusaha berharap Pemilu Presiden 2024 diundur. Namun, wacana ini belakangan tenggelam setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan jadwal pelaksanaan pemilu, yaitu Februari 2024.

Wacana ini kembali mencuat setelah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengangkatnya kembali, disusul Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan sejumlah politisi lainnya. Sebaliknya, sejumlah partai tegas menolak, sebut saja Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Polemik di publik pun tak terhindarkan.

Penundaan pemilu di saat pandemi bukan hal tabu. Analisis Institute for Democracy and Electoral Assistance selama 21 Februari 2020 hingga 21 Februari 2022, setidaknya 80 negara dan wilayah di seluruh dunia memutuskan untuk menunda pemilihan nasional dan subnasional karena Covid-19. Sebaliknya, 160 negara dan wilayah memutuskan untuk mengadakan pemilihan nasional atau subnasional meski ada kekhawatiran terkait dengan Covid-19. Rasionalitas penundaan adalah faktor yang terpenting, apakah benar-benar karena aspek kedaruratan dan menjaga keselamatan rakyat atau semata-mata untuk melanggengkan kekuasaan demi segelintir orang atau oligarki.

Di negara demokrasi, memilih dalam pemilu adalah hak konstitusional. Melalui pemilu, warga bisa berpartisipasi memengaruhi kebijakan publik dalam bentuk memilih pemimpin dan anggota parlemen. Partisipasi politik warga dalam pemilu pascareformasi pun selalu tinggi. Pada Pemilu 1999, partisipasi pemilih mencapai 93 persen. Partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 mencapai 81 persen. Meniadakan atau menunda pemilu berarti berurusan dengan setidaknya 80 persen pemilih.

Pada saat pandemi kian mengarah menjadi endemi, usulan penundaan pemilu akan mudah dibaca sebagai upaya politisi machiavelian untuk melanggengkan kekuasaan yang saat ini duduk di eksekutif ataupun legislatif. Niccolo Machiavelli dalam karyanya, Il Principe, mengajarkan, ”Jika ingin kekuasaan, ambillah. Jangan malu-malu, jangan terikat prinsip atau moral. Tujuan menghalalkan cara.”

Sejarah reformasi pun mencatat, upaya melanggengkan kekuasaan mengandalkan dukungan semu bisa berujung pada akhir cerita sad ending, bukan happy ending. Kata-kata manis ”orang dekat” dalam tempo beberapa hari, dengan mudah bisa berbalik menjadi hujatan, dan berujung pada pelengseran.

Ahli sejarah Britania Lord Acton pada abad ke-19 telah mengingatkan, ”Kekuasaan cenderung merusak dan kekuasaan mutlak merusak secara mutlak.” Karena itulah, sistem demokrasi membatasi kekuasaan, melalui pemilu yang teratur. ●

 

Sumber : https://www.kompas.id/baca/tajuk-rencana/2022/02/28/hati-hati-menunda-pemilu

You may also like...