Dilema Politik “Big Data” Menko Luhut

Sumber Gambar: satukanindonesia.com
Presiden Donald Trump mengamuk ketika tidak ada kesepakatan dengan Kongres Amerika Serikat terkait anggaran pembangunan tembok di perbatasan Meksiko. Janji kampanye pada Pemilu 2016 yang akan habiskan puluhan miliar Dollar AS itu harus terwujud jelang memasuki tahun politik 2020.
Berbagai langkah perang pun diambil oleh pemerintahan Presiden Trump, mulai dari menghentikan pelayanan (shutdown) selama tiga puluh hari lebih, terlama dalam sejarah pemerintahan Amerika Serikat, hingga menggencarkan kampanye penggalangan opini publik. Di dalam kisah-kisah pertarungan ini, beberapa lembar cerita terselip, yakni mengenai big data.
Publik Amerika Serikat masih belum lupa dengan mitos soal Cambridge Analytica, yang memanen data pribadi pemilih dari media sosial, lalu memanfaatkannya untuk melakukan kampanye yang menyasar langsung pada level individual (micotargeting). Tujuannya memanipulasi kesadaran pemilih lewat berbagai pesan kampanye yang sudah disesuaikan dengan berbagai rancangan permodelan psikologis.
Tak terkecuali langkah yang diambil oleh tim kepresidenan Trump dalam mengupayakan kebijakan tembok perbatasan ini. Pendukung-pendukungnya terus menerima informasi tentang keadaan darurat penyusupan imigran ilegal beserta narkoba. Lalu, orang-orang yang belum memiliki sikap dijejali informasi yang membuatnya semakin bimbang. Sementara, pihak penentang Trump dipertontonkan pernyataan-pernyataan absurd dari pentolan Partai Demokrat yang menolak kebijakan tersebut. Pada derajat tertentu, Trump pun dapat dikatakan berhasil menekan lawan politiknya.
Beberapa waktu belakangan, Menteri Kordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan juga harus berurusan dengan big data. Argumennya mengenai data 110 juta orang yang mendukung penundaan pemilu, berdasarkan big data, menjadi salah satu faktor yang memicu kegaduhan, yang kemudian diikuti oleh aksi mahasiswa di banyak daerah.
Pesan yang kontroversial diucapkan oleh seseorang yang juga kontroversial. Pastinya, keriuhan pun tidak dapat dihindari. Rasanya agak tidak mungkin, Menko Luhut tidak memiliki kalkulasi atas pernyataan yang diucapkannya. Dengan big data yang dimiliki, Menko Luhut seharusnya tahu kisi-kisi penilaian publik selama ini terhadap pernyataan-pernyataannya.
Esensi penggunaan big data adalah upaya untuk mendengarkan opini publik, sekaligus mengenal lebih dalam dan menyeluruh karakteristik dari populasi. Big data tentunya akan mempermudah pemerintah untuk membangun pesan politik yang lebih meyakinkan kepada kelompok yang sudah teridentifikasi karakteristiknya. Apalagi, kebijakan yang ingin dibuat memiliki muatan substansi yang sangat sensitif, seperti isu penundaan pemilu.
Lepas dari nyata atau fiktif big data milik Menko Luhut ini, kemelut politik belakangan tidak lepas dari ketidakmampuan pemerintah dalam memahami perilaku publik. Pemerintah malah menjadi bagian dari permainan sulap dengan trik-trik kuno yang sangat mudah terbongkar, seperti deklarasi dukungan perpanjangan yang melibatkan berbagai pihak.
Dengan jumlah sampel yang begitu besar, pemanfaatan big data idealnya dapat memberikan penjelasan yang lebih presisi. Dengan data yang memadai, Menko Luhut pasti dapat membuat ramalan terhadap reaksi penolakan penundaan pemilu yang begitu keras, proyeksi mengenai aksi demonstrasi yang terjadi, dan bahkan melihat tendensi yang berujung pada tindak kekerasan, seperti apa yang dialami oleh influencer Ade Armando.
Pada titik yang lebih ekstrem, hasil pengolahan big data juga mungkin saja bisa merekomendasikan Menko Luhut untuk ikut atau tidak ikut berbicara dalam isu tertentu. Informasi yang begitu besar pasti mampu menghasilkan kesimpulan yang lebih terukur.
Publik pun tidak bisa terhindar dari suudzon berjemaah. Tentunya, tidak bisa disalahkan bila ada pihak yang menilai big data Menko Luhut sebagai gosip politik semata. Ditambah lagi, Menko Luhut tidak memberikan transparansi terhadap data tersebut.
Ada baiknya kembali pada esensi bernegara, sumpah Presiden Jokowi dan Menko Luhut sebagai pejabat publik merupakan tanggung jawab kepada seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya kepada 110 juta yang ada di big data. Maka, prinsip tersebut harus menjadi dasar dalam menghasilkan sikap dan pernyataan publik.
Dalam pengelolaan negara, alat ukur demokrasi bukanlah sekadar besar-besaran jumlah dukungan. Justru, negara harus berani menerobos tembok tirani mayoritas yang menghalangi penyelenggaraan keadilan. Kekuasaan harus diletakkan pada tempat yang patut, yakni untuk melindungi citizenship dengan akal, nalar, dan kebijaksanaan.
Partisipasi dalam pemilu merupakan hak yang harus dilindungi. Maka, penundaan terhadap hak tanpa melalui prasyarat yang diamanahkan dalam perundang-undangan jelas merupakan sebuah rencana yang tidak tepat. Untungnya sejauh ini, Presiden Jokowi sudah menyatakan jaminan pelaksanaan Pemilu 2024 sesuai dengan tanggal yang sudah ditetapkan.
Di tengah pengelolaan negara yang penuh unsur irasional, perhatian Menko Luhut terhadap big data sebenarnya sangat perlu diapresiasi. Namun yang harus diingat, prinsip-prinsip kewarganegaraan juga tidak boleh diabaikan.
Yang jauh lebih penting daripada big data, pemerintah haruslah memiliki big commitment untuk melindungi hak setiap warganegara. Presiden Jokowi adalah pemimpin seluruh rakyat Indonesia, tentu beliau tak mau dianggap sebagai The President of big data.
Oleh:
Arie Putra
co-founder Total Politik, host Adu Perspektif detikcom X Total Politik
DETIKNEWS, 19 April 2022
Sumber; https://news.detik.com/kolom/d-6039803/dilema-politik-big-data-menko-luhut.