Ketua MK, Antara Integritas dan ”Court Packing”

Sumber Gambar: jawapost.com
Relasi dekat hakim konstitusi bisa menjadi celah masalah yang disebut ”court packing”, yang akan berimbas terhadap kesetiaan badan peradilan pada UUD 1945. Pada masa mendatang, ini bisa menurunkan kualitas demokrasi.
Rencana pernikahan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dengan adik kandung Presiden Joko Widodo ramai-ramai ditolak oleh kalangan masyarakat sipil karena rawan konflik kepentingan. Kelompok masyarakat sipil menuntut Anwar Usman mengundurkan diri karena ketakutan integritas Ketua MK dan kesatuan lembaga MK akan terancam.
Gelombang penolakan ini justru dijawab santai oleh Anwar Usman. Dia mengatakan bahwa integritasnya tidak akan menghalanginya berlaku adil karena, menurut dia, putusan yang adil tidak bergantung kepada keluarga seseorang (Kompas.com, 28 Maret 2022).
Padahal, wajar saja jikalau masyarakat mempertanyakan integritasnya setelah menikahi adik kandung Presiden Jokowi. Relasi dekat dengan keluarga penguasa bisa menjadi celah dari masalah berupa court packing, yang akan berimbas pada kesetiaan badan peradilan kepada Undang-Undang Dasar 1945. Kerisauan masyarakat ini jelas karena usaha court packing ini akan memiliki pengaruh luar biasa terhadap komitmen negara pada demokrasi konstitusional.
Kerisauan masyarakat ini jelas karena usaha ’court packing’ ini akan memiliki pengaruh luar biasa terhadap komitmen negara pada demokrasi konstitusional.
Court packing adalah usaha untuk mengatur komposisi hakim pada lembaga yudikatif, bertujuan untuk memenuhi misi-misi partisan. Court packing dilakukan oleh elite politik, utamanya otokrat, dalam rangka mendukung legitimasi tujuan partisan dengan mengisi jabatan hakim dengan orang-orang yang memiliki kedekatan politik dengan elite tersebut sehingga dengan memanfaatkan relasi tersebut, kebijakan-kebijakan yang kental akan agenda politik, tetapi tidak mencerminkan demokrasi, akan tetap dilegitimasi oleh pengadilan dan tidak dibatalkan (Michael Nelson, 1988).
Pemanfaatan relasi politik antara hakim dan elite terjadi di beberapa negara, contohnya Polandia. Pada 2015, Partai Hukum dan Keadilan Polandia (PiS) sebagai partai penguasa pemerintahan mengisi jabatan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Polandia dengan individu-individu yang memiliki kedekatan dengan partai tersebut (Lech Garlicki, 2016). Meski praktik di Indonesia tidak demikian, tetapi ada inti yang dapat dilihat oleh para elite; adanya kedekatan politik dengan hakim untuk mengendalikan pengadilan demi melemahkan hukum.
Adanya kedekatan dengan keluarga politisi bisa menjadi jembatan awal dari usaha court packing karena dapat terjadi pembicaraan di belakang layar atau di luar mahkamah untuk memanipulasi pendirian hakim. Bermula dari situ, tentu hal ini akan mempengaruhi independensi hakim, apalagi hakim konstitusi yang akan berurusan dengan undang-undang yang merupakan produk proses politik sehingga harus menangani yudisialisasi politik. Apabila pemerintah memiliki agenda yang hendak dituju, tetapi mengesampingkan rambu-rambu konstitusi, maka hal yang dilakukan oleh pemerintahan otokrat adalah memastikan pengadilan dipegang untuk tetap berada di sisi mereka dan melegalkan agenda mereka.
Kekhawatiran ini juga memiliki dasar yang jelas bahwa Ketua MK akan lebih lagi menguntungkan pihak pemerintah. Berdasarkan studi kasus CSIS Indonesia bertajuk ”Analisis Kontekstual terhadap Dua Putusan Mahkamah Konstitusi” (2022), dengan memetakan hakim konstitusi menggunakan ”judicial behaviour”, ada tiga hakim konstitusi yang berkarakter ”strategic-soldier”, yang memilih untuk sejalan dengan pemerintah dan berperan sebagai prajurit penjaga kebijakan pembentuk undang-undang, terutama pada pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hal ini bukan berarti mereka adalah boneka pemerintah, masing-masing mereka tetap bergerak independen, tetapi akan lebih memilih untuk senada dengan para pembentuk undang-undang,
menutup kemungkinan bagi MK untuk mengeluarkan terobosan atau landmark decision, seperti MK di era Jimly Asshidiqie dan Mahfud MD.
Ditambah lagi, rekam jejak seorang hakim konstitusi yang dikenal sebagai hakim konstitusi yang menjadi prajurit cabang-cabang kekuasaan di saat dirinya menjabat sebagai Ketua MK, lalu sempat dijerat sanksi etik akibat kedekatannya dengan politisi makin menjadi sorotan, bahwa tidak hanya Ketua MK yang dipertanyakan integritasnya, tetapi juga hakim-hakim anggotanya (Stefanus Hendrianto, 2018). Selain itu, ketentuan masa jabatan hakim konstitusi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 terkesan memberikan insentif kepada hakim sehingga ada ”balas budi” yang dilakukan kepada pembentuk undang-undang karena diuntungkan dalam menduduki jabatannya.
Kualitas demokrasi
Oleh karena itu, kedekatan demikian wajar saja menimbulkan kekhawatiran akan tidak adanya pahlawan yudisial dan kemungkinan pengadilan tunduk pada kekuasaan politik yang berpotensi tidak mematuhi konstitusi. Usaha court packing untuk membangun kedekatan antara hakim dan elite politik atau mengisi jabatan hakim dengan orang-orang yang sudah memiliki ikatan tersebut pada masa mendatang bisa menurunkan kualitas demokrasi konstitusional kita karena akan makin mudahnya agenda politik yang tidak demokratis untuk dilegitimasi. Hal ini dapat menjadi salah satu fenomena constitutional retrogression, atau menurunkan kualitas demokrasi konstitusional dengan prosedur yang konstitusional (Azis Huq dan Tom Ginsburg, 2018).
Kekhawatiran court packing ini tentu bukan masalah yang tidak bisa diselesaikan atau sudah menggerogoti tubuh MK sebab masih ada harapan pada hakim-hakim konstitusi lain yang dapat menunjukkan bahwa MK merupakan lembaga independen dan menyatakan kesetiaannya pada UUD 1945. Mengutip lagi studi kasus CSIS bahwa ada hakim-hakim yang tergolong sebagai legalist-heroes. Beberapa kali mereka menunjukkan sikap berani untuk tetap teguh pada teori-teori dan norma-norma hukum untuk memelihara demokrasi konstitusional. Merekalah yang akan menyeimbangkan pertimbangan hukum agar tidak kental akan sisi strategis untuk memberi legitimasi apa saja yang dilakukan pejabat politik.
Selain itu, publik dapat mendorong ditingkatkannya transparansi seleksi hakim konstitusi pada masa mendatang. Masyarakat wajib menuntut akuntabilitas seleksi sehingga dapat melihat informasi yang relevan dari calon hakim konstitusi pada masa mendatang demi memastikan tidak ada riwayat atau jejak yang menunjukkan adanya kedekatan dengan kekuatan politik, terutama kelompok politik dominan. Hal ini demi memastikan kualitas hakim yang nanti menjabat sehingga tidak hanya didominasi oleh karakter strategic-soldier saja, yang berpotensi lebih tinggi untuk ”dipegang” oleh kekuasaan politik mayoritas.
Kemudian, pertanyaan integritas hanya dapat dijawab oleh Anwar Usman. Anwar yang bertanggung jawab untuk membuktikan bahwa kedekatannya dengan keluarga politisi tidak akan memengaruhi dirinya sebagai penjaga konstitusi. Peran Majelis Kehormatan MK juga dibutuhkan di sini untuk memastikan tidak ada interaksi yang berpotensi melanggar kode etik di belakang layar. Walaupun demikian, solusi yang paling aman agar terhindar dari polemik adalah mundur dari jabatan Ketua MK agar menutup segala celah dari dimanfaatkan oleh elite untuk mengendalikan pengadilan.
Oleh:
Azeem Marhendra Amedi
Peneliti pada Departemen Politik dan Perubahan Sosial di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia
Kompas, 20 april 2022
Sumber
https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/04/18/ketua-mk-antara-integritas-dan-court-packing