Pembelaan Terpaksa dalam Hukum Pidana

Sumber Gambar: CNN Indonesia

PENGHENTIAN penyidikan yang dilakukan Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) atas perkara Murtade alias Amaq Sinta, 34, yang diduga telah membunuh dua dari empat orang begal di Jalan Raya Desa Ganti, Lombok Tengah, layak untuk mendapat apresiasi dari publik.

Dalam gelar perkara khusus yang dilakukan Polda NTB diperoleh kesimpulan bahwa yang dilakukan Amaq Sinta ialah perbuatan “membela diri” atau dikenal dengan istilah Pembelaan Terpaksa (Noodweer), sebagaimana dimaksud Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Meski demikian, perjalanan kasus ini sempat disorot dan diwarnai aksi sekelompok masyarakat yang memprotes penetapan tersangka terhadap Amaq Sinta, yang bahkan sempat ditahan Polres Lombok Tengah, sebelum kasusnya diambil alih oleh Polda NTB.

Beberapa kasus serupa ternyata tidak selalu mendapat perlakuan hukum yang sama. Sebut saja, kasus ZL, 17, yang dihukum satu tahun pembinaan oleh Pengadilan Negeri Kepanjen Malang karena menganiaya begal yang hendak melecehkan teman perempuannya hingga tewas.

Ada juga, kasus Irfan Bahri, 19, yang sempat menjadi tersangka karena menewaskan dua orang begal di Bekasi, yang cukup beruntung karena dihentikan penyidikannya.

Bahkan, ia mendapat penghargaan, tak lama setelah kasusnya mendapat atensi dari Presiden Jokowi. Makna pembelaan terpaksa Dalam KUHP, dikenal dua bentuk self defense, yaitu Pembelaan Terpaksa (Noodweer) yang diatur Pasal 49 ayat (1) KUHP, dan Pembelaan Terpaksa yang Melampui Batas (Noodweerexces), yang diatur Pasal 49 ayat (2) KUHP.

Keduanya berasal dari postulat Necessitas Quod Cogit Defendit, artinya keadaan terpaksa melindungi apa yang harus diperbuat. Setidaknya, terdapat tiga syarat Pembelaan Terpaksa.

Pertama, perbuatan tersebut dilakukan dengan terpaksa untuk mempertahankan atau membela yang sangat perlu dilakukan karena tidak ada jalan lain.

Kedua, pembelaan tersebut dilakukan untuk mempertahankan kehormatan dalam konteks kesusilaan, atau harta benda, baik milik sendiri maupun orang lain secara proporsional.

Ketiga, harus ada serangan seketika yang melawan hukum atau melawan hak dari orang yang melakukan pembelaan tersebut. Pembelaan Terpaksa (Noodweer) merupakan Alasan Pembenar yang menghapus elemen “Melawan Hukum” dari perbuatan orang yang membela dirinya.

Misalnya, jika ada begal yang menodong kita dengan pisau, hukum pidana membenarkan tindakan kita untuk melawan penodong tersebut. Misalnya, dengan cara seketika menendang tangan penodong hingga pisaunya terjatuh, padahal menendang termasuk penganiayaan (mishandeling).

Adapun perbedaannya dengan Pembelaan Terpaksa yang Melampui Batas (Noodweerexces) terletak pada syarat adanya “keguncangan jiwa yang hebat”, dalam bentuk kecemasan, rasa takut, dan kemarahan hebat, yang mengubah serangan tersebut menjadi pembelaan diri yang berlebihan sehingga menjadi suatu alasan pemaaf yang menghapus elemen kesalahan (schuld), dari orang yang membela diri secara berlebihan tersebut.

Misalnya, ada dua sejoli yang hendak dibegal sepeda motornya dan bukan hanya itu juga akan dilecehkan kehormatannya oleh para pelaku, kemudian para pelaku mendapat perlawanan yang hebat dan membabi buta dari kedua korban, hingga para pelaku begal tersebut tewas.

“Keguncangan jiwa yang hebat” dalam Noodweerexces dapat berupa kecemasan, ketakutan, dan kemarahan hebat, yang harus diterangkan oleh psikiater, yaitu untuk menerangkan hubungan kausal antara keadaan jiwa dan Pembelaan Terpaksa yang Melampui Batas, sedangkan mengenai penilaian kausalitasnya sepenuhnya merupakan otoritas hakim.

Dukungan moril bagi Polri Menilik 8 poin makalah yang disajikan Listyo Sigit Prabowo pada waktu menjalani fit and proper test sebagai calon tunggal Kapolri, berjudul Transformasi Menuju Polri yang Presisi, sebagai Akronim Prediktif, Responsibilitas, & Transparansi Berkeadilan, telah memberi secercah harapan agar Polri makin maksimal dalam melindungi dan mengayomi masyarakat.

Ketegasan yang ditunjukkan Kapolri belakangan ini untuk membenahi Korps Bhayangkara termasuk mengevaluasi personelnya layak didukung, baik oleh internal maupun eksternal Polri.

Namun, penyelesaian kasus-kasus yang viral di masyarakat jangan hanya menjadi “pemadam kebakaran”, sebagaimana tagar #No Viral No Justice.

Kualitas penegakan hukum yang diemban Polri sebagai “pintu gerbang” Sistem Peradilan Pidana Terpadu, sangat berpengaruh terhadap citra pemerintahan saat ini sehingga perlu mendapat perhatian khusus dan porsi evaluasi yang lebih besar, guna mencegah terjadinya fenomena tidak dihormatinya hukum (lawlessness).

Sambil menunggu dilakukannya pembaruan hukum, profesionalisme penyelidik dan penyidik Polri perlu ditingkatkan, dengan dibekali pemahaman hukum dan HAM yang komprehensif sehingga setiap laporan/aduan masyarakat dapat diselesaikan bukan terpaku pada paradigma jumlah (kuantitas) perkara yang ditangani, melainkan kualitas penanganan perkaranya.

Paradigma ini harus dianggap sebagai privilege oleh Polri, untuk melakukan terobosan-terobosan hukum yang baru, yang kini telah memulai langkah yang baik dengan menerbitkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Urgensi pembaruan KUHAP Untuk memastikan keseimbangan antara crime control model dalam menanggulangi kejahatan dan due process of law yang menjamin proses hukum yang adil dalam sistem peradilan pidana terpadu, diperlukan pembaruan hukum atas UU No 8 Tahun 1981 (KUHAP), yang belum pernah direvisi sejak 41 tahun silam.

Wacana hadirnya Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) dalam Rancangan KUHAP untuk menggantikan fungsi praperadilan (Habeas Corpus) yang selama ini dinilai hanya sebagai “koreksi administratif” dari penyidikan diharapkan dapat menjalankan 1. “Fungsi Penelitian” atas penyidikan secara cermat (judicial scrutiny), 2. Pengawasan terhadap upaya paksa (penangkapan, penahanan, penyitaan, penyadapan, dll), dan 3. Memberikan masukan atau koreksi untuk kelancaran dari penyidikan.

Mengutip pandangan advokat senior, Luhut Pangaribuan, Kewenangan HPP seharusnya tidak bersifat post factum seperti praperadilan, karena apabila demikian, penetapan tersangka dan penahanan masih tetap atas pertimbangan penyidik sendiri (diskresioner).

HPP juga idealnya berwenang memberi masukan BAP kepada penyidik, sebagai keterangan dari alat bukti dengan standar diindikasikannya telah ada “bukti permulaan” yang cukup.

Pembaruan KUHAP kini telah menjadi suatu urgensi bukan hanya untuk membenahi sistem peradilan pidana terpadu kita yang sering mengalami fenomena-fenomena seperti kasus di atas, melainkan juga untuk memastikan adanya proses check and balances di antara aparat penegak hukum untuk menghadirkan kepastian hukum yang berkeadilan bagi masyarakat.

 

Oleh:

Albert Aries

Pengajar FH Trisakti dan anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki)

MEDIA INDONESIA, 21 April 2022

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/487383/pembelaan-terpaksa-dalam-hukum-pidana

You may also like...